NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:272
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 - Kabut yang Menyembunyikan Waktu

Sesampainya di kaki barat Gunung Barumba, deretan pohon menjulang tinggi menaungi hutan di bawahnya. Cahaya matahari hanya menembus di sela-sela daun, membentuk jalur-jalur cahaya yang menari di antara kabut lembap.

Hutan itu tampak asri, nyaris suci seolah tak pernah tersentuh tangan manusia.

Yarun’ru telah mengenakan jirah lengkap.

Pedangnya tergenggam erat, mata tajamnya menyapu sekeliling, selalu waspada terhadap kemungkinan yang tak terlihat.

Sementara Raka melilitkan tali anyaman pandan di kakinya hingga tulang kering, juga di tangannya sampai siku. Kulitnya dibaluri minyak ramuan dari kemiri, serai batu, dan getah damar penolak serangga sekaligus pelindung dari hawa lembab hutan yang pekat.

Sudah lama mereka berjalan dalam kewaspadaan, namun tak ada ancaman yang datang.

Hanya suara burung dan katak bersahutan, memantul di antara batang-batang pohon raksasa, seolah hutan itu sendiri sedang bernafas dalam tidur panjangnya.

Raka menatap langit di sela pepohonan, mencoba membaca tanda alam seperti biasa.

Namun di lereng Barumba, ia hanya melihat kabut yang enggan pergi.

“Jika tinggal di gunung,” ujarnya pelan, “menentukan musim jadi sulit.

Di dataran rendah, angin dan cahaya memberi petunjuk.

Tapi di sini, kabut bisa bertahan bahkan saat musim kesembilan tiba.”

Ia menarik napas panjang, menatap lembab yang menggantung di antara akar dan batu.

“Seharusnya kini udara mulai kering dan kabut menipis. Tapi gunung punya aturannya sendiri.”

Yarun’ru menoleh sambil menundukkan sedikit kepalanya, suaranya tenang namun tajam seperti uji.

“Bagaimana engkau bisa tahu musim, Raka? Bukankah engkau juga tinggal di gunung Salak, tanda-tanda langit pasti sama sulitnya dibaca.”

Raka tersenyum tipis, menatap kabut yang melayang di antara akar dan batu.

“Benar,” katanya,

“Di gunung tanda alam sering menipu.

Tapi di Salak, aku belajar mendengarkan, bukan sekadar melihat.

Burung, serangga, dan aliran embun memberi tahu lebih banyak daripada mata manusia.”

Raka tersenyum tipis menatap kabut yang menggantung di sela pepohonan.

“di gunung tanda langit sulit dibaca. Tapi alam tak hanya berbicara lewat langit, Yarun’ru.”

Ia menunduk, mengambil setitik embun di ujung daun.

“Burung tahu kapan udara mulai kering, serangga berhenti bernyanyi saat hawa berubah, dan embun” ia menatap tetes itu jatuh ke tanah, “embun selalu bicara paling jujur tentang musim.”

Raka lalu menatap sekeliling, seolah mendengarkan sesuatu yang tak terdengar oleh telinga biasa.

“Gunung mungkin menyembunyikan banyak hal, tapi bagi yang mau mendengar, bumi tak pernah diam.”

Raka menatap Yarun’ru sambil menautkan alisnya sedikit.

“Kalau begitu, bagaimana kau sendiri tahu musim?” tanyanya.

“Bukankah kau juga pernah tinggal di Gunung Asalga? Bukankah di sana tanda-tanda alam pun sama samar?”

Yarun’ru sempat terdiam, lalu tersenyum kecil.

“Aku hanya tahu dari apa yang kulihat,” jawabnya jujur.

“Kadang aku turun ke lembah untuk melihat arah angin, atau memanjat pohon tinggi agar bisa menatap langit.

Tapi ternyata, yang kau pahami jauh lebih dalam dari itu.”

Ia menatap Raka dengan rasa kagum yang tak disembunyikan.

“Engkau tak sekadar melihat alam, Raka. Engkau mendengarnya.”

Tiba-tiba Yarun’ru Beta menghentikan langkahnya. Tatapannya menegang, lalu dengan cepat ia berbalik, tangan kanan sudah siap menebas yang membahayakan nyawa.

Raka ikut menoleh, tapi di belakang mereka hanya ada kabut tipis dan pepohonan diam.

Tanah lembab itu pun tampak utuh tak ada jejak selain langkah mereka berdua.

“Kenapa begitu tergesa?” tanya Raka perlahan. “Seolah-olah ada harimau yang mengintai.”

Yarun’ru tidak segera menjawab. Matanya menyapu sekitar, napasnya dalam dan berat.

“Bukan harimau,” katanya akhirnya. “Aku tahu rasa pandangan binatang dingin, tapi cepat hilang. Ini berbeda.”

Ia menghela napas, lalu menatap jauh ke balik pepohonan.

“Sudah lima tahun aku berkelana dan berpindah tempat. Rasa ini... adalah kehadiran manusia. Tapi entah dari mana.”

Yarun’ru menyipitkan mata, memandangi kabut di depan yang tampak lebih tebal dari sebelumnya.

“Bukankah kabut di musim kesembilan akan menipis?” tanyanya perlahan. “Mengapa di depan sana justru semakin pekat?”

Raka menatap arah yang sama, keningnya berkerut.

“Aku juga merasa aneh,” gumamnya.

Ia menarik napas dalam, mencium samar sesuatu di udara.

“Itu bukan kabut, Yarun’ru,” ujarnya akhirnya.

“Aku tak bisa membaca tanda ini... tapi rasanya seperti asap.”

Udara di sekeliling mereka tiba-tiba terasa lebih berat.

Kabut yang semula menggantung tipis kini perlahan berubah menjadi uap hangat, beraroma getir campuran antara getah damar dan kayu pinus terbakar.

Raka menatap sekeliling, tapi tak ada tanda api, tak ada bara.

Namun semakin lama, matanya terasa hangat, dan setiap napas yang ia hirup membawa rasa kantuk yang tak wajar.

Yarun’ru sempat menegakkan tubuh, menahan napas sejenak.

“Asap ini... bukan dari hutan,” bisiknya, suaranya serak seperti tenggelam di udara.

Raka ingin menjawab, namun suaranya tertelan kabut.

Kedua lututnya melemah, pandangannya bergetar.

Hutan yang semula penuh suara kini sepi total hanya detak jantung yang pelan, dan aroma hangat yang menidurkan.

Keduanya tumbang perlahan di tanah lembap,

dan kabut menutup tubuh mereka seperti tirai tidur bumi.

Kabut tetap bergulung lembut di antara akar dan batu.

Dari balik semak, sesuatu mulai bergerak pelan seperti rumput yang bernapas.

Muncul sosok manusia dengan tubuh terlilit rumput di punggungnya, seluruh tubuh di baluri lumpur hampir tak bisa dibedakan dari rerumputan di sekitarnya.

Dari batang pohon di depan Raka, selembar kulit bergetar pelan, lalu terbelah.

Keluar seorang lelaki berkulit penuh lumpur, tubuhnya menyatu dengan warna kulit pohon yang menempel di punggungnya.

Di atas sana, dari cabang-cabang tinggi, tiga sosok meluncur perlahan, wajah di baluri lumpur kuning, berselimut daun dan ranting kering.

Gerak mereka nyaris tanpa suara, hanya desis angin yang menyinggung ujung daun.

Mereka semua berhenti di sekitar dua tubuh yang terbaring diam di tanah lembap.

Tak ada kata yang diucap, hanya tatapan saling mengerti.

Satu di antara mereka menempelkan telapak tangan ke dada Raka.

“Masih hangat,” bisiknya pelan, suara serak seperti daun kering digesek angin.

Tiga di antara mereka kemudian mengangkat tubuh Raka dan Yarun’ru Beta dengan hati-hati, lalu menghilang di antara kabut, seolah-olah hutan menelan mereka kembali.

Raka terbangun perlahan.

Suara samar Yarun’ru Beta memanggil namanya seperti datang dari balik kabut pikirannya yang masih berat.

Ia mengerjap pelan.

Udara di sekitarnya lembab, berbau tanah basah dan akar tua.

Saat tangannya menyentuh dinding di samping, terasa dingin dan kasar campuran batu dan tanah yang lembab.

Ia mencoba bangkit.

Dinding di depannya tersusun dari ranting-ranting tebal yang diikat rapi, membentuk sekat seperti jeruji penjara.

Cahaya samar datang dari luar.

Raka menoleh di celah dinding, tampak jamur-jamur kecil berwarna hijau kekuningan tumbuh di batang kayu lapuk, memancarkan cahayanya naik turun seperti napas goa itu sendiri.

Di atas dinding dan langit langit goa, lumut-lumut basah memantulkan cahaya hijau lembut, menciptakan tarian bayangan hijau yang menenangkan sekaligus misterius.

Membuat ruangan itu tampak seperti hidup, bernafas perlahan di antara kabut uap hangat.

Raka menatap cahaya hijau di sekelilingnya, dan seketika ingat perjalanan sebelum tiba di Suku Latahna.

Jamur dan lumut bercahaya yang sama persis pernah ia lihat di hutan lembap itu, membuatnya sadar bahwa alam purba ini menyimpan pola dan rahasia yang tak berubah meski jarak dan waktu berbeda.

Raka merasakan sesuatu yang aneh di pergelangan tangannya. Jari-jarinya menelusuri kulit, lalu matanya membulat. Gelang akar Sajar yang selalu menempel, kini hilang.

Yarun’ru menatapnya dengan tenang, suara beratnya memecah keheningan.

“Barang-barangmu telah disita,” katanya. “Apapun yang ada di tubuhmu selain pakaian yang kau kenakan, sekarang bukan milikmu lagi.”

Raka menelan ludah, sadar bahwa setiap perlindungan atau alat yang ia bawa kini berada di tangan orang lain, membuat suasana semakin menegangkan.

Yarun’ru Beta menarik napas panjang, nada suaranya sedikit mengeluh.

“Sepertinya aku kalah mudah dengan penduduk Gunung Barumba,” ujarnya. “Aku bahkan tak pernah sekalipun melihat mereka, dan sekarang barang-barang berharga hilang begitu saja.”

Raka menunduk, jari-jarinya menelusuri pergelangan tangan yang kini kosong.

Akar Sajar, yang dijaga baik-baik sejak diberikan oleh Sajar, kini lenyap.

Tanpa akar itu, ia menyadari sesuatu yang lebih berat: bahasa mereka cara berkomunikasi dengan suku Gunung Barumba terputus.

Tanpa akar Sajar, semua kata dan tanda yang ia kenal menjadi tak berarti.

Yarun’ru Beta menekan bahu dan tangan ke ranting-ranting tebal, suara retakan terdengar pelan saat ranting patah di beberapa titik. Dengan usaha keras, ia berhasil mendobrak jeruji itu dan keluar dari penjara ranting.

Ia tersentak sedikit tidak menyangka jalannya bisa terbuka secepat ini. Namun pandangannya segera mencari arah. “Jalur manakah yang harus kita lewati? Kanan atau kiri?” gumamnya sambil menatap kegelapan di depan.

Raka menelan ludah, matanya menelusuri bayangan yang bergerak di goa. Ia tak tahu jalan mana yang aman, tapi nalurinya mengatakan satu hal: ikuti Yarun’ru. Pengalamannya di luar hutan lebih banyak, instingnya lebih tajam. Tanpa ragu, Raka melangkah di belakang Yarun’ru, mempercayakan keselamatan yang sudah begitu banyak menaklukkan hutan.

Setelah menelusuri lorong-lorong goa yang gelap, mereka tiba di dinding penjara yang sama.

Kali ini, di dalamnya terdapat tiga tentara Lakantara yang masih hidup, tetapi wajah mereka pucat pasi, kulitnya seolah kehilangan warna karena lama terperangkap.

Ketiganya menatap Yarun’ru dan Raka dengan mata lelah, lalu satu dari mereka bersuara serak.

“Percuma keluar dari penjara ini,” katanya.

“Setiap lorong tidak berujung, seperti labirin hidup. Kami sudah mencoba berkali-kali.”

Raka menelan ludah, merasa dingin menjalar ke tulang.

“Setiap kali kami keluar,” lanjut tentara lain,

“ada yang memukul kepala kami dari belakang entah siapa, entah apa.

Saat tersadar, kami kembali di penjara yang sama. Begitu terus. Seolah goa ini memiliki nyawa sendiri, dan ia tidak ingin dilewati.”

Yarun’ru menatap lorong-lorong yang berkelok, napasnya tertahan.

“Gua ini... hidup,” gumamnya.

“Ia tidak hanya menyekap tubuh, tapi juga bermain dengan pikiran dan waktu.”

Raka merasakan bulu kuduknya berdiri.

Setiap bayangan yang menari di dinding, setiap cahaya jamur yang berdenyut, seakan mengawasi mereka, memberi tahu bahwa labirin ini bukan sekadar batu dan tanah, tapi sesuatu yang memiliki kehendak sendiri.

Salah satu tentara menatap Yarun’ru dan Raka dengan mata yang masih sembab.

“Kalian masih baru di sini,” ujarnya dengan suara serak.

“Aku... aku diperintah Rana sejak Tragedi Api Hijau, tapi aku tidak tahu sudah berapa lama aku terperangkap di sini.”

Yarun’ru Beta menelan ludah, wajahnya memucat mendengar pengakuan itu.

“Sekarang sudah 15 siklus berlalu,” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar, namun berat.

Tubuh tentara itu bergetar.

Tiba-tiba ia menjerit, suara pilu memecah keheningan lorong goa.

“Anakku… istriku… keluarga di Lakantara… bagaimana kabar mereka? Aku ingin pulang! Aku rindu!”

Tangisan itu bergema di lorong-lorong berliku, mencampur antara suara gema goa dan detak jantung mereka sendiri.

Raka menunduk, menahan dada yang terasa sesak.

Yarun’ru menatap tentara-tentara lain, yang mulai ikut menangis pelan, wajah mereka pucat dan lelah, seolah kehilangan waktu, rumah, dan masa depan membuat tubuh mereka rapuh, tapi jiwa mereka tetap terperangkap dalam penjara hidup goa ini.

Raka menatap tentara-tentara itu, alisnya berkerut.

“Bagaimana kalian bisa bertahan selama 15 siklus di sini? Bagaimana kalian makan dan minum?” tanyanya, suara penuh rasa ingin tahu dan kekhawatiran.

Salah satu tentara menghela napas panjang, matanya menatap ke lantai yang gelap.

“Setiap kali kami tertidur lelap,” ujarnya lirih,

“tiba-tiba makanan muncul di depan kami. Entah dari mana… kami tidak tahu. Talas, buah-buahan… bahkan air minum. Semua tersedia seolah goa itu sendiri memberi kami kehidupan.”

Raka menelan ludah, merasakan keanehan yang sulit dijelaskan.

“Seperti... goa ini hidup,” gumamnya pelan, menatap dinding yang gelap dan jamur bercahaya yang menari di udara.

Yarun’ru Beta hanya mengangguk, wajahnya serius.

Ia sudah merasakan sesuatu yang tak kasat mata di lorong-lorong goa itu kehidupan yang aneh, penuh rahasia, dan tak bisa dijelaskan dengan logika biasa.

Salah satu tentara Lakantara menunduk, suaranya hampir tak terdengar.

“Kami… kami merasa berdosa,” bisiknya lirih.

“Mungkin ini azab… karena membunuh para bayi saat kami berjalan ke arah barat. Bayi-bayi itu… yang kami temui…”

Raka menelan ludah, tatapannya tertuju pada tentara itu yang kini menangis pelan, wajahnya pucat pasi oleh penyesalan yang mendalam.

Yarun’ru Beta mendengar pengakuan itu, dadanya memanas.

Suaranya tegas dan penuh kemarahan.

“Kalian membunuh bayi tanpa dosa, dan kini kalian harus menerima akibatnya!” katanya, nada suara menggelegar di lorong sempit goa.

Namun, amarah itu bukan hanya untuk tentara.

Yarun’ru Beta merasakan imbasnya sendiri.

Sejak Tragedi Api Hijau, dirinya dikucilkan oleh desa-desa dan suku-suku sekitar.

Mereka menatapnya sebagai pelaku, meski ia tidak ikut membunuh.

Beban pengucilan dan stigma itu menjadi luka tambahan di hati Yarun’ru, sementara rasa bersalah tentara Lakantara terus menekan ruang goa yang gelap.

Raka menatap tentara yang menunduk, lalu menoleh ke Yarun’ru Beta. Napasnya tenang, suaranya lembut tapi penuh wibawa.

“Jangan biarkan kemarahan menutup hati kita,” katanya perlahan.

“Apa yang telah terjadi adalah tragedi… tapi menyalahkan diri sendiri selamanya hanya menambah beban, bukan menebusnya.”

Ia melangkah mendekat, menaruh tangannya di bahu tentara itu dengan lembut.

“Setiap jiwa memiliki jalan yang harus ditempuh. Kalian terperangkap di sini bukan hanya karena dosa atau azab, tapi karena alam ingin kalian belajar, merasakan, dan memahami hidup sebelum melangkah lebih jauh.”

Raka menatap Yarun’ru Beta, matanya penuh pengertian.

“Kemarahanmu wajar, Beta. Tapi kemarahan tidak akan memulihkan bayi-bayi itu. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah menjadi lebih bijak, menjaga mereka yang masih hidup, dan memastikan sejarah tidak terulang lagi.”

Tentara itu menunduk, mata yang tadinya dipenuhi air mata kini menatap Raka dengan sedikit lega, seolah ada secercah harapan di tengah gelapnya goa.

Raka menambahkan pelan, namun tegas:

“Kita bukan hanya memikul dosa masa lalu, tapi juga tanggung jawab masa depan. Jangan biarkan rasa bersalah menghalangi jalan kalian untuk menjadi lebih kuat dan lebih bijak.”

Raka tiba-tiba jatuh, tubuhnya menggigil hebat.

Kedua tangan menyilang di dada, seperti berusaha memeluk hawa dingin yang menusuk tulang.

“Raka!” Yarun’ru Beta menunduk panik.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!