Tak pernah terbayangkan dalam hidup Selena Arunika (28), jika pernikahan yang ia bangun dengan penuh cinta selama tiga tahun ini, akhirnya runtuh karena sebuah pengkhianatan.
Erlan Ardana (31), pria yang ia harapkan bisa menjadi sandaran hatinya ternyata tega bermain api dibelakangnya. Rasa sakit dan amarah, akhirnya membuat Selena memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka dan memilih hidup sendiri.
Tapi, bagaimana jika Tuhan mempermainkan hidup Selena? Tepat disaat Selena sudah tak berminat lagi untuk menjalin hubungan dengan siapapun, tiba-tiba pria dari masalalu Selena datang kembali dan menawarkan sejuta pengobat lara dan ketenangan untuk Selena.
Akankah Selena tetap pada pendiriannya yaitu menutup hati pada siapapun? atau justru Selena kembali goyah ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna_Ama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18.
Erlan bergegas melangkahkan kakinya keluar dari gedung pengadilan. Tapi, setelah berpamitan pisah dengan pengacaranya dan hendak masuk kedalam mobil. Tiba-tiba ponsel yang ada didalam sakunya bergetar.
Erlan segera merogohnya dan melihat siapa yang menghubunginya. Terlihat nama 'Dr.Lingga' teman sejawatnya itu terpampang jelas dilayar ponsel nya.
Tanpa pikir panjang, Erlan segera menggeser tombol hijau lalu menempelkan benda pipih itu ditelinga kirinya.
"Ya halo Ngga?" sapa Erlan terlebih dahulu
“Erlan! Kamu kemana aja hampir seminggu ini? Kita semua bingung, Lan. Rumah sakit heboh karena kamu tiba-tiba pergi tanpa pamit dan gak kasih keterangan apapun,” suara Dr. Lingga terdengar cemas di ujung telepon.
Erlan terdiam sejenak, menatap jalanan di depannya. Rasanya ada beban di dadanya yang tak bisa ia ungkapkan. “Aku sibuk Ngga. Banyak hal yang harus diurus,” jawabnya singkat, nada suaranya terdengar dingin dan sedikit tegang.
“Apa maksudmu sibuk sampai nggak ngabarin siapa-siapa? Kamu tahu kan itu nggak profesional namanya. Bisa-bisa bagian administrasi ngomel sama kita semua, Lan. Bahkan… beberapa pasien di ICU nunggu tanda tanganmu,” ujar Lingga lagi, sedikit meninggikan suara, jelas menahan kekesalannya.
Erlan menghela napas panjang, menunduk menatap ubin konblok seolah mencari jawaban di situ. “Aku ngerti, Ngga. Tapi aku… ada urusan pribadi yang nggak bisa ditinggal. Aku nggak mau masukin orang lain ke masalahku,” jawabnya pelan, hampir berbisik.
“Urusan pribadi? Erlan, kita bisa saling mengerti, tapi meninggalkan rumah sakit tanpa kabar itu… nggak bisa ditolerir. Kamu tahu bisa kena sanksi, kan? Bahkan… pemecatan juga bisa terjadi kalau diulang,” tegur Lingga, nada bicaranya serius tapi tetap mengkhawatirkan.
Erlan mengangguk walau Lingga tak bisa melihatnya. Ia meremas ponselnya sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku tahu. Tapi aku nggak bisa. Semua ini… terlalu berat. Aku cuma butuh waktu sebentar untuk pikirin semuanya.”
Hening sejenak hingga suara Lingga kembali terdengar , nada bicaranya menenangkan tapi tetap tegas.
“Erlan… pastikan kamu kembali secepatnya. Jangan bikin masalah lebih besar lagi. Semua pasien nunggu tanda tanganmu, termasuk beberapa yang kritis.”
Erlan menelan ludahnya, menatap mobil yang berada di sisi jalan. Ia tahu ia harus segera kembali ke realita, tapi pikirannya tetap melayang pada satu nama yaitu Selena.
“Ya… aku akan kembali. Jangan khawatir, Ngga,” jawab Erlan
Setelah itu, sambungan telepon pun terputus. Erlan menghela nafas panjang seraya mengusap kasar wajahnya, mencoba sedikit merilekskan pikirannya.
kemudian, ia memasukkan kembali ponselnya kedalam saku celana dan bersiap masuk kedalam mobil. Belum sempat ia membuka pintu mobilnya, ponselnya kembali berdering. Nama “Vera” muncul di layar benda pipih itu.
Erlan terdiam sejenak, menatap layar itu tanpa ekspresi, lalu akhirnya mengangkat panggilan telepon tersebut.
“Halo?” suaranya datar.
"Mas... aku jatuh...” suara Vera di seberang telepon terdengar panik, disertai helaan napas berat. “Tadi di depan rumah, licin... perutku sempat kena benturan, aku takut...”
Erlan menatap kosong ke depan, rahangnya mengeras. “Udah ke dokter?”
“Belum... aku nunggu Mas pulang...” jawab Vera lirih dari seberang telepon
“Ya udah, panggil sopir. Suruh antar kamu ke rumah sakit sekarang. Nanti aku nyusul.”
“Tapi, Mas—”
Belum sempat Vera menyelesaikan ucapannya, Erlan langsung memutus sambungan telepon itu. Ia menatap ponselnya sebentar, lalu menghembuskan napas pelan. Kemudian, bersandar di mobil, memejamkan kedua matanya, mencoba menenangkan diri.
Di pikirannya, wajah Selena kembali terbayang-bayang, ekspresi raut datarnya tadi, senyum tipis yang dipaksakan, dan caranya menggenggam map itu justru semakin membuat dada Erlan terasa terhimpit sakit.
Berkali-kali Erlan menarik nafas dan menghembuskannya demi menetralkan perasaan sesak itu, setelah dirasa sedikit tenang barulah ia masuk kedalam mobil dan duduk dibalik kursi kemudi.
.
.
POV Erlan Adinata On.....
Sungguh, demi apapun tak pernah terbayangkan jika rumah tangga yang ku bina bersama orang yang kucintai seketika hancur karena ulah ku sendiri.
Sejujurnya, bukan karena aku tak lagi mencintai Selena Arunika—istriku. Justru aku amat sangat mencintainya. Tapi, ada sesuatu yang selalu menghantui ku, sesuatu yang tak pernah kuakui bahkan pada diriku sendiri.
Selena, dengan segala keanggunan dan kecerdasannya, dengan latar belakangnya yang serba sempurna sebagai putri tunggal keluarga kaya, membuatku merasa kecil. Di sampingnya, aku sering merasa kurang, sering merasa tak cukup.
Tak cukup pintar, tak cukup kaya, tak cukup sempurna untuknya. Semua hal yang ia miliki dari kecantikan, kepintaran, kedewasaan itu membuatku takut gagal sebagai suami.
Rasa takut itu membesar setiap kali kami membicarakan masa depan, tentang anak, tentang keluarga yang akan kami bangun. Aku takut aku tak mampu memberikan nya yang terbaik, takut suatu saat aku mengecewakannya. Aku takut menanggung beban hidup yang seharusnya kuberikan padanya. Dan di situlah aku mulai menjauh, diam-diam, mencari kenyamanan di tempat lain.
Vera hadir di hidupku saat aku paling rapuh. Dia tak menuntut, tak menilai, bahkan ketika aku gelisah dan penuh kebingungan.
Bersamanya, aku merasa aman, merasa bisa menjadi diriku sendiri tanpa takut menanggung bayangan kesempurnaan Selena. Dan tanpa sadar, rasa nyaman itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dari cinta, atau setidaknya rasa ketergantungan yang tak seharusnya ada.
Itulah alasan mengapa aku tak ingin Selena hamil. Bukan karena aku tak mencintainya, tapi karena rasa insecure ku padanya terlalu besar. Aku takut, takut gagal, takut membuatnya menderita.
Sementara dengan Vera, rasa takut itu tak seberat bersama dengan Selena. Aku merasa bisa menghadapi kenyataan, bisa memikul tanggung jawab, dan entah kenapa aku percaya, di sisinya aku bisa menjadi ayah tanpa ketakutan yang menekan seperti saat bersama dengan Selena.
Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya kasar seraya menundukkan kepala. Luka ini, rasa bersalah ini, semuanya ada karena pilihanku sendiri.
Dan meski aku tahu apa yang kulakukan salah, aku tak bisa memutar kembali waktu. Aku harus menghadapi semua konsekuensinya dan tetap menjalani hidupku di tengah bayangan Selena yang selalu hadir di setiap langkahku.
Dan, Selena berhak untuk bahagia...
POV Erlan Adinata Off...
.
.
.
Jangan lupa dukungannya! Like, vote dan komen... Terimakasih ❤️🎀
seperti diriku jika masalah keungan tipis bahkan tak ada bayangan
Maka lampirku datang 🤣🤣🤣
dan sekarang datang