Menurut Kalian apa itu Cinta? apakah kasih sayang antara manusia? atau suatu perasaan yang sangat besar sehingga tidak bisa di ucapkan dengan kata-kata?.
Tapi menurut "Dia" Cinta itu suatu perasaan yang berjalan searah dengan Logika, karena tidak semua cinta harus di tunjukan dengan kata-kata, tetapi dengan Menatap teduh Matanya, Memegang tangannya dan bertindak sesuai dengan makna cinta sesungguh nya yang berjalan ke arah yang benar dan Realistis, karena menurutnya Jika kamu mencinta kekasih mu maka "jagalah dia seperti harta berharga, lindungi dia bukan merusaknya".
maka di Novel akan menceritakan bagaimana "Dia" akan membuktikan apa itu cinta versi dirinya, yang di kemas dalam diam penuh plot twist.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNFLWR17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan dan Harapan
Di hari ini Alena sudah diperbolehkan pulang, dan sekarang Alena sedang mengemas barang-barangnya.
Alena diizinkan pulang sore hari, dan Nadia serta Mama Jeni sudah pulang duluan. Nadia harus ke sekolah, sedangkan Mama Jeni pulang karena ada pekerjaan yang harus dilakukan.
"Sudah, sayang?" tanya Jevan di depan pintu, yang langsung memerintahkan keempat bodyguard untuk membawa barang-barang.
"Udah, Ay," jawab Alena yang berjalan ke arah Jevan. Akhirnya, mereka berdua keluar dari ruangan yang diikuti keempat bodyguard sambil membawa barang-barang Alena, meskipun hanya dua tas pakaian saja.
Selama perjalanan keluar dari gedung rumah sakit, Jevan dan Alena hanya diam saja sambil saling bergandengan tangan.
Ketika sampai di parkiran, sudah terlihat mobil hitam terparkir rapi yang di sampingnya sudah ada Pak Dani, supir pribadi Jevan.
Bodyguard yang memegang tas langsung menaruh tas tersebut di dalam bagasi mobil.
Pak Dani segera membukakan pintu mobil untuk Jevan dan Alena. Setelah mereka berdua masuk ke dalam mobil, Pak Dani juga masuk dan menjalankan mobil meninggalkan rumah sakit.
Sementara itu, di belakang mobil mereka juga diikuti oleh keempat bodyguard untuk berjaga-jaga, jangan sampai kejadian kemarin terulang kembali.
Di mobil yang ditumpangi Jevan dan Alena, Jevan menyandarkan kepalanya di bahu Alena. Sesekali ia membawa tangan Alena yang digenggamnya hanya untuk dicium, sementara Alena hanya diam saja.
Entah kenapa Alena terpikirkan soal
kepulangannya nanti ke rumah orang tuanya.
"Ay, nanti dianterin ke rumahku ya. Soalnya tadi Ayah datang menjengukku dan berpesan agar aku pulang ke rumah dulu," ujar Alena. Jevan yang mendengar perkataan Alena langsung menegakkan tubuhnya, lalu menatap Alena bingung.
"Memang tidak apa-apa kamu balik lagi ke sana?" tanya Jevan khawatir.
"Iya, nanti kalau sudah selesai, baru aku balik ke apartemen."
Jevan hanya menyetujui jawaban dari Alena, karena dia sangat tahu bagaimana kondisi keluarga Alena.
Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya mereka sampai di permukiman elite, dan mereka tiba di depan rumah Alena.
"Oke, Ay, aku masuk dulu ya. Nanti barang-barang aku, kamu taruh saja di apartemenku," ujar Alena sebelum keluar dari mobil, sedangkan Jevan hanya menganggukkan kepala.
"Ini, tadi sebelum ke rumah sakit, aku singgah sebentar buat beli, hehehe. Soalnya ponsel milik kita berdua entah di mana. Makanya aku beli dua. Di dalam kontaknya, aku baru masukin nomor HP aku."
Jevan memberikan sebuah ponsel baru kepada Alena yang saat ini semakin terharu. Seandainya mereka sudah lulus, Alena pasti langsung melamar Jevan.
"Makasih ya. Aku sudah tidak tahu mau bilang bagaimana lagi. Intinya, makasih sudah jadi rumahku."
Jevan yang melihat Alena akan menangis langsung menarik Alena ke dalam pelukannya.
"Iya, sayang. Makanya kamu harus bahagia apa pun yang terjadi."
Lalu, Jevan mendorong pelan bahu Alena agar bisa menatap wajah Alena yang sekarang sudah basah dengan air mata. Dia hanya tersenyum hangat sambil menghapus sisa air mata di pipi Alena menggunakan jempolnya secara lembut.
"Udah, sana. Jangan sampai aku culik kamu," canda Jevan, langsung merapikan rambut Alena.
"Oke, kamu hati-hati ya. Sampai ketemu di sekolah. Titip salam sama Papa dan Mama kamu." Alena langsung membuka pintu mobil, lalu keluar. Tapi, Alena masih berdiri menunggu mobil Jevan pergi.
"Masuk aja, sayang. Kamu masuk dulu baru aku pergi," ujar Jevan dari dalam mobil sambil melihat melalui kaca mobil.
Alena yang mendengar itu langsung melambaikan tangannya sambil tersenyum. Setelah itu, Alena langsung berbalik badan dan melangkah masuk ke dalam area rumah.
Setelah melihat Alena sudah masuk ke dalam rumah, Jevan langsung memberikan kode ke supirnya agar segera pergi.
Dan mobil Jevan meninggalkan rumah Alena, menuju apartemen mereka.
Alena membuka pintu rumah, yang dia lihat dan rasakan hanya kehampaan saja. Dulu, rumah ini pernah menjadi rumah yang penuh keceriaan. Dulu, Alena dan abangnya berlarian sambil tertawa, sementara orang tua mereka hanya tertawa melihat tingkah laku anak-anak mereka.
Alena melangkahkan kakinya menuju tangga, dan naik satu per satu anak tangga. Padahal baru beberapa minggu Alena meninggalkan rumah ini, tapi sudah banyak perubahan.
Saat sampai di lantai dua, Alena melangkah menuju kamarnya. Dia membuka dan mendorong pelan pintu kamar. Ternyata kamarnya belum dibersihkan, atau mungkin tidak pernah dibersihkan?
Alena hanya mengembuskan napas kasar. Lalu, ia mulai membersihkan debu-debu yang ada di kamarnya.
Beberapa menit kemudian, Alena sudah selesai membersihkan kamarnya, dan sekarang sedang berbaring di kasurnya sambil menatap langit-langit kamar.
"Ternyata masih ada. Aku kira sudah lepas."
ujar Alena melihat satu stiker bulan yang bisa bercahaya di ruangan gelap.
Saat itu, Alena, Rio (abangnya), dan Ayah mereka yang memasangnya saat Alena TK, karena saat itu Alena takut gelap. Makanya Alena merengek untuk tidur bersama abangnya, hanya saja kasur tempat tidur abangnya tidak muat dua orang.
Sehingga ide Ayahnya untuk memasang stiker-stiker itu untuk menemani Alena saat lampu kamar mati atau dimatikan.
Dari puluhan stiker, sekarang tertinggal satu saja. Itu pun sudah tidak bercahaya dan terlihat sudah usang.
Saking mengingat masa-masa indah tersebut, tanpa sadar Alena tertidur.
Ketika Alena sudah tertidur nyenyak, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka pelan. Muncul wanita paruh baya yang masih terlihat cantik elegan. Ia melangkah masuk dan menuju ke tempat tidur yang di atasnya ada Alena tertidur lelap.
"Ternyata sudah besar, Anak Bunda," kata wanita itu, yang ternyata Bunda Alena.
Ia sekarang duduk di pinggiran kasur lalu membelai kepala Alena dengan lembut, sedangkan Alena tidak merasa terganggu, malah ia tersenyum di dalam tidurnya.
"Wah, Anak Bunda sepertinya lagi mimpi indah, sampai tersenyum begini," kata Bunda Alena yang sudah mengusap pelan wajah Alena.
"Maafin Bunda, ya. Sudah tidak main bareng sama kamu, tapi Bunda harap kamu selalu bahagia. Oh iya, Bunda pernah lihat kamu sama pacar kamu. Kayaknya, Bunda bahagia lihat kamu tersenyum dan tertawa bareng dia. Semoga kamu bisa bahagia sama dia ya, dan menciptakan keluarga yang bahagia tidak seperti keluarga kita. Bunda kangen banget bermain atau bercanda sama kamu dan Abang."
Bunda Alena mulai curhat sambil menatap Alena yang tertidur lelap. Ingin sekali ia memeluk anak-anaknya.
"Oh iya, kalau pacar kamu nyakitin kamu, nanti Bunda yang menyakitinya balik. Enak saja menyakiti anak perempuan Bunda. Tapi, saat Bunda lihat tatapannya ke kamu, itu tulus banget."
Tiba-tiba air mata Bunda Alena atau Bunda Tiara menetes jatuh. Dengan cepat, ia menghapusnya dengan tangannya.
"Bunda pergi dulu ya, takutnya Ayah kamu pulang malah bikin rumah ribut dan bikin kamu semakin tidak nyaman. Tenang saja, Bunda selalu awasin kamu dari jauh. Oh iya, mungkin ada seseorang yang akan menjaga kamu dari dekat."
Setelah mengucapkan curahan hatinya, Bunda berdiri lalu memperbaiki posisi tidur Alena dan tidak lupa memakaikan selimut.
Lalu, Bunda Tiara melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan hampir setengah delapan. Lalu, ia beranjak keluar dari kamar sang putri.
Pagi pun tiba. Sekarang Alena sedang duduk manis di ruang makan, menikmati sarapan. Hanya sandwich yang dia buat, dengan segelas susu.
Penampilan Alena saat ini menggunakan seragam, sedangkan lehernya ditutupi oleh hoodie dengan bagian lehernya sedikit besar. Lalu, ia mengikatnya agar lebih menutupi bekas cekikan yang masih terlihat.
Alena mendengar suara langkah kaki berat dan tegas menuju ruang makan, yang tidak lain yaitu Ayahnya.
Ia duduk dengan segelas kopi di tangannya, lalu melihat sebentar ke arah Alena.
Sedangkan Alena memberikan dua potong sandwich ke Ayah tanpa membuka suara.
Setelah selesai sarapan, Alena berdiri dari tempat duduk, lalu mengangkat gelas bekas susu yang diminumnya ke arah wastafel cuci piring.
"Ayah, aku ke sekolah. Selamat pagi." Ujar Alena.
"Hmmm, hati-hati," balas Ayahnya tanpa menoleh ke Alena.
Alena langsung keluar rumah, yang di mana supir pribadi Ayahnya sudah menunggu kedatangan Alena.
"Pak, kita berangkat." Alena langsung masuk ke dalam mobil, yang disusul Pak Supir, yang langsung menjalankan mobil menuju ke sekolah.
Akhirnya, Alena sampai di sekolah. Ia langsung bergegas keluar dari mobil.
"Pak, nanti tidak usah dijemput. Soalnya aku mau main sama teman-temanku."
"Oh iya, siap."
Alena langsung melangkah masuk ke dalam gedung sekolah. Banyak pasang mata yang melihat ke arah Alena, dan kebanyakan tatapan kasihan.
Kabar kasus Alena diculik sudah menyebar ke seluruh sekolah, dan bahkan disiarkan di berita TV.
Alena pun sampai di depan kelas, yang di mana sudah cukup ramai. Ketika Alena melangkah masuk, tiba-tiba ruang kelas menjadi sunyi, karena semua fokus ke arah Alena.
"Alena, my bestie, are you okay?" tanya Dewi yang langsung memeluk Alena.
"Iya, I'm fine, I'm okay. Teng... Neng... Neng..." jawab Alena dengan gurauan yang mengikuti sound viral di salah satu aplikasi.
"Hee, orang gue khawatir, lo malah bercanda," ujar Dewi yang cemberut.
"Hahaha, iya gue aman, kok," kata Alena yang langsung duduk di kursinya, yang diikuti oleh Dewi di samping.
"Maaf ya, gue tidak sempat jenguk lo di rumah sakit. Soalnya gue juga tidak enak badan karena kecapean." Dewi langsung mengapit tangan Alena dan langsung memeluk tangan tersebut.
"Iya, tidak apa-apa, kok." Alena hanya tersenyum ke sahabatnya ini.
"Sebagai tanda permintaan maaf gue, maka hari ini gue traktir lo di kantin. Gimana?" tanya Dewi yang sudah duduk tegak sambil melihat Alena.
"Oke, gas! Kalau gratisan mah," jawab Alena sedikit bersemangat.
"Yuhuuu, ada yang ngomongin traktiran, nih. Gue juga ya ditraktir," ujar Nadia yang baru saja datang.
"Iya."
Tidak lama kemudian, guru mereka masuk dan pembelajaran pun dimulai.
Waktu pun telah berlalu, mata pelajaran pertama telah selesai, maka masuk di mata pelajaran kedua, dan itu adalah Matematika.
"Matematika ilmu yang menyenangkan. Jangan takut belajar Matematika. 🎶 Ayo belajar Matematika dengan bahagia. Kalau kamu berlatih, pasti bisa. 🎶 Matematika itu tidak hanya menghafal rumus. 🎶" 🧠🔥
Masuklah Bapak Guru tercinta kelas XI IPA 2, sekaligus Wali Kelas mereka.
"Helo, anak-anak waliku. Gimana kabarnya, sehat?" ujar Guru tersebut setelah menaruh tas di atas meja guru.
"Sehat, Pak!" seru siswa siswi kelas XI IPA 2.
"Mantap! Karena sehat, maka mari kita dengarkan hasil dari Tes Harian minggu lalu. Masih ingat, kan?"
Mereka yang mendengar perkataan Sang Wali Kelas langsung menegang. Ada yang sudah menggigit kuku jari tangan mereka.
"Mampus, nilai gue berapa ini?" kata Dewi yang sudah memegang kepalanya.
"Dan kalian tahu, nilai yang paling tinggi, yaitu 60. Dan dia adalah si anak baru, Nadia."
Mereka yang mendengar nama Nadia disebutkan langsung melihat ke belakang, yang di mana Nadia sedang tersenyum bangga.
"Gimana sih kalian? Masa kalah sama anak baru?" sambung Guru mereka lagi.
"Namanya dadakan, Pak. Mana sempat belajar," timpal si Ketua Kelas.
"Wah, ini nih, salah satu contoh yang patut tidak ditiru. Oke, kamu Ketua Kelas, ambil ini dan bagikan ke teman-teman kamu."
Ketua Kelas yang mendengarnya langsung berdiri dan mengambil kertas hasil tes mereka itu.
"Itu nilai, apa harga Tomat sekilo? Minimal kek harga satu rak telur deh. Kalau tidak, beras karung yang 5 kg."
Sindir Wali Kelas mereka, yang melihat nilai anak didiknya yang di bawah rata-rata.
Mereka yang mendengar sindiran Wali Kelas mereka hanya diam tak berkutik.
"Apa-apaan tuh sindirannya," julid sang Sekretaris Kelas.
"Karena hari ini ada teman kita yang baru keluar rumah sakit akibat insiden tidak mengenakkan itu, maka hari ini kita free. Eits, jangan senang dulu! Kalian ada PR!"
Mereka yang ingin berteriak kesenangan malah terdiam lagi setelah mendengar kata "PR".
"Oke, Bapak pamit dulu ya. Soalnya nanti Bapak kirim di Grup. Dan jangan berisik! Kalau ketahuan kelas anak wali Bapak yang berisik atau bikin ulah, habis riwayat kalian."
Setelah mengatakan itu, si Wali Kelas langsung berdiri dan meninggalkan kelas.
Mereka yang melihat kepergian Wali Kelas mereka akhirnya bersorak senang.