NovelToon NovelToon
Mess Up! Lover!

Mess Up! Lover!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Obsesi / Anime / Angst / Trauma masa lalu
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Cemployn

Mess Up!

Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.

Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 17 Kembali Ke Titik Awal?

“Ben, maaf sudah membuatmu menunggu!” seru Lya sambil setengah berlari keluar dari toilet. Napasnya sedikit terengah, tapi senyumnya tetap terukir saat menghampiri Ben yang masih berdiri di dekat sana.

Ben menggeleng pelan, menatapnya dengan senyum cerah. “Tidak lama, kok,” ujarnya lembut.

“Kalau begitu, setelah ini kamu mau ke mana, Lya? Aku yang akan mengikutimu kali ini.”

Ben melangkah mendekat, menggenggam tangan Lya sambil menipiskan jarak di antara mereka. Dari kedekatan itu, indra penciumannya menangkap aroma lembut yang asing—bukan wangi pelembut pakaian yang biasa ia kenali dari Lya.

”Kau menggunakan parfum, Lya?” tanya Ben sejurus kemudian.

” “Tidak, tuh…” jawab Lya pada awalnya, lalu terdiam sejenak. Ia baru teringat—di toilet tadi, Lulu sempat memberinya sebuah botol aroma untuk menenangkan diri.

Perlahan ia merogoh tasnya dan menemukan botol kecil itu masih di dalam. Rupanya, Lulu sengaja meninggalkannya.

“Kurasa yang kamu cium ini,” ujar Lya sambil memperlihatkan botol tersebut.

“Hehhh… aromanya menenangkan, ya?” Ben menatapnya tulus sambil tersenyum. Aroma lembut itu memang menyeruak samar, membawa kesan ringan seperti bunga yang baru mekar setelah hujan. ”Tapi aku tidak tahu kau sering membawa botol aroma seperti ini—

“LYA!”

Suara lantang itu memotong ucapan Ben seketika. Ia refleks menoleh, matanya mencari sumber suara yang baru saja memanggil nama kekasihnya dengan lantang. Sebelumnya, sekilas Ben menangkap ekspresi Lya—wajahnya menegang, seperti menahan sesuatu antara terkejut dan kesusahan.

Ben segera teringat—perempuan itu. Sosok asing yang sempat menatapnya tajam sebelum masuk ke toilet tadi. Ingatan itu muncul begitu jernih hingga matanya refleks membesar. Ia menoleh bergantian antara Lya dan perempuan yang kini berdiri tak jauh dari mereka.

Tanpa sepatah kata pun, perempuan itu melangkah mendekat. Lebih tepatnya, hanya menuju Lya. Ia menggenggam kedua tangan Lya dengan gemetar, lalu mengangkatnya hingga sejajar dengan wajahnya sendiri.

Ekspresi perempuan itu memelas; matanya bergetar, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar air mata.

“Apa karena aku perempuan? Kau jadi tidak bisa menerimaku? Kenapa? Bukankah itu tidak masalah?!”

Suara perempuan itu bergetar, campuran antara marah dan sedih. “Aku bisa memperlakukanmu lebih baik daripada dia! Orang yang sembarangan mengajakmu nonton film horor sadis dan bahkan tidak peduli ketika kau muntah-muntah di toilet tadi!”

Ben terdiam. Setiap kata yang keluar dari mulut perempuan itu menancap pelan di kepalanya. Ia menatap Lya — mencari penjelasan, menuntut jawaban tanpa perlu suara.

“Lulu!” bentak Lya, suaranya memecah udara dan sejenak meredam kekacauan kecil di antara mereka. “Bisakah kita bicara nanti saja?” pintanya dengan nada memohon, mencoba menenangkan situasi.

Namun Lulu menggeleng keras. Genggamannya pada tangan Lya justru semakin kuat, seolah takut kehilangan pegangan terakhir.

“Aku mau sekarang! Ayo kita bicara sekarang, Lya! Setelah ini aku nggak akan mengganggumu lagi, hmm?” suaranya gemetar, tapi tegas.

Lya terpaku. Matanya melirik ke arah Ben, yang kini berdiri dengan raut wajah campuran antara bingung dan terluka. Ia tahu, rahasia kecil yang tadi ingin disimpannya harus segera diluruskan. Hal ini sukses membuat otaknya berputar dua kali, sulit untuk memilih antara Ben atau Lulu.

” “Sepertinya dia punya sesuatu yang penting untuk dibicarakan, Lya…”

Ben akhirnya menyela, suaranya pelan namun tegas. Ia tahu Lya sedang kesulitan, dan memilih menawarkan jalan keluar dengan cara yang paling lembut yang ia bisa.

“Tapi…” Lya menatapnya ragu, bibirnya bergetar menahan sesuatu yang tak sempat diucapkan.

“Tidak apa-apa,” potong Ben lagi, kali ini disertai senyum yang lembut—meski di mata Lya, senyum itu tampak dipaksakan. “Aku akan menunggu. Setelah itu… ayo kita bicara pelan-pelan, berdua saja, ya?”

Sebelum Lya sempat menenangkan atau menahannya, Ben sudah lebih dulu melangkah pergi. Langkahnya lebar, tapi berat, menyisakan gema yang perlahan menjauh. Kini, hanya Lya dan Lulu yang tertinggal di sana—bersama udara yang tiba-tiba terasa lebih sempit dari sebelumnya.

“Hmpp… setidaknya untuk hal ini dia lulus.”

Nada suara Lulu terdengar dingin, nyaris seperti ejekan. Dalam sekejap, wajah memelas yang tadi meneteskan emosi berubah total. Tak ada lagi air mata buatan—hanya tatapan angkuh yang mengikuti jejak kepergian Ben, seolah menilai kepergiannya bukan sesuatu yang berarti.

Perubahan sikap Lulu membuat Lya tertegun. Ia tahu temannya itu bisa gila—kadang terlalu ekstrem untuk dipahami—namun tetap saja, setiap kali melihat sisi itu muncul, Lya tidak pernah benar-benar terbiasa.

“Kau berpura-pura? Tidak benar-benar ada yang ingin dikatakan?” tanya Lya, suaranya terdengar menuntut meski ada nada bingung di dalamnya.

Lulu hanya tersenyum—senyum yang terlalu manis untuk situasi seperti itu. Ia merangkul lengan Lya, lalu menunduk sedikit hingga wajah Lya menempel di dadanya. “Aku tetap ingin bicara,” bisiknya lembut, “jangan marah, ya, Lya?”

Seperti biasa, Lya kehilangan daya untuk melawan. Setiap kali Lulu memakai nada dan sentuhan semacam itu, semua keberaniannya seolah terserap habis. Ia hanya bisa menurut, membiarkan Lulu menariknya menuju kursi kosong di lobby bioskop yang kini mulai sepi.

“Apa yang ingin kau katakan, Lulu?” tanya Lya, suaranya terdengar tergesa. Ada kecemasan yang samar di balik nada bicaranya — ia tak tenang membiarkan Ben sendirian, terlebih dengan kesalahpahaman yang baru saja terjadi. Ia tidak ingin membuat pria itu terluka lagi karena dirinya.

Lulu menatapnya lama, memperhatikan setiap gerak kecil yang ditunjukkan Lya. Dalam diam, ia menyadari sesuatu—temannya itu berubah. Lya yang sekarang tampak hidup, cemas, berperasaan. Bukan lagi sosok hampa yang dulu dikenalnya. Dahulu, ketika mereka bersama, Lya lebih menyerupai cangkang kosong: datar, berhati-hati, seolah selalu menjaga jarak dari siapa pun—bahkan dari Lulu sendiri.

“Lya, aku memang temanmu. Kita sudah berteman sejak SMA…”

Lulu berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum menatap Lya lurus-lurus. “Tapi meski begitu… kau tidak lupa, kan, bahwa aku menyukaimu? Aku tidak pernah menutupi orientasiku, Lya. Aku menyukaimu.”

Kata-katanya meluncur mantap, tanpa jeda untuk menarik kembali.

“Aku selalu berharap bisa menjadi orang yang mengubahmu… menyembuhkanmu, kalau bisa. Aku bahkan masuk jurusan psikologi karenamu,” lanjutnya, suaranya bergetar tapi masih penuh keyakinan. “Semua itu kulakukan karena aku ingin bisa membuka hatimu suatu hari nanti. Aku ingin… menjadi sandaranmu.”

“Harapanku itu… masih ada sampai sekarang,” bisik Lulu, suaranya nyaris bergetar di antara helaan napas. “Sampai detik ini, saat melihatmu di depan mataku… aku cuma ingin satu hal, Lya.”

Ia menatap Lya lekat-lekat, matanya dipenuhi sesuatu antara kerinduan dan luka.

“Aku ingin sekali… memilikimu.”

Lulu diam. Lya pun ikut tenggelam dalam diam yang sama.

Pernyataan cinta itu bukan hal baru baginya—ia sudah pernah mendengarnya, bertahun-tahun lalu. Mungkin saat upacara kelulusan SMA mereka, di tengah riuh tepuk tangan dan aroma bunga yang memenuhi udara.

Lya masih bisa mengingatnya dengan jelas. Wajah Lulu saat itu pun sama—memerah, gugup, namun tetap berani menatap dan mengucapkan kata-kata itu tanpa ragu.

Sejak hari itu, Lya tak pernah benar-benar menjawab. Ia tidak menolak, tapi juga tidak menerima. Ia hanya membiarkan Lulu menggantung di antara harapan dan kenyataan, seolah waktu sendiri yang akan menjawab semuanya.

Hingga akhirnya, Lya mulai menjaga jarak. Ia berhenti menghubungi Lulu sesering dulu, beralasan sibuk, padahal hanya ingin memberi ruang bagi dirinya sendiri dan bagi Ben. Namun di lubuk hatinya, Lya tahu—itu bukanlah cara yang pantas untuk menolak seseorang yang telah menunggu selama itu.

“Maaf, Lulu… aku tidak bisa membalas perasaanmu.”

Suara Lya terdengar pelan, namun tegas. Setiap katanya jatuh perlahan, seolah ia sendiri takut mendengarnya.

Lulu hanya tersenyum pahit. Kepalanya menunduk, bahunya bergetar tipis. Ia sudah menduga jawaban itu sejak awal, tapi tetap saja—mendengarnya langsung membuat dadanya terasa sesak.

“Tapi aku berterima kasih…” lanjut Lya, suaranya melembut. “Atas semua yang sudah kamu lakukan untukku. Aku benar-benar menghargainya.”

Ia mengulurkan tangan, mengusap kepala Lulu dengan lembut. Senyum hangat terbit di wajahnya—senyum yang tulus, yang belum pernah Lulu lihat sebelumnya. Dan justru karena ketulusan itulah, air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh juga.

“Lya bodoh…” racau Lulu di antara isak yang belum sempat reda. “Setidaknya, kalau kau sudah memilih orang lain… bersikaplah jujur juga pada orang itu.”

Lya terpaku, sementara Lulu melanjutkan dengan suara serak yang bergetar.

“Pria itu… kau tidak terbuka sepenuhnya padanya, kan? Kau pikir, dengan menceritakan masa lalumu saja sudah cukup, ya?”

Lya menunduk. Suaranya keluar nyaris seperti bisikan, rapuh. “Setelah ini… aku akan bicara padanya,” ujarnya lirih.

Lulu mengembuskan napas panjang, senyumnya samar—antara letih dan pasrah. “Kalau begitu, cepatlah pergi,” katanya pelan. “Aku sudah menahanmu terlalu lama di sini, bukan?”

Lya tak menjawab. Ia hanya menatap Lulu satu kali lagi — sekilas, namun cukup untuk melihat air mata yang tak berhenti mengalir di pipi temannya. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi semua terasa tidak berguna. Maka ia memilih diam, membiarkan langkah kakinya menjauh dari lobby bioskop.

“Hahhh…” dalam kesendiriannya, Lulu mengembuskan napas panjang. Air mata yang tadi mengalir kini mengering secepat embun pagi. Ia menatap arah kepergian Lya—jalur kosong yang kini hanya tersisa bayangan langkah terakhir temannya itu.

“Dia pergi tanpa ragu, ya…” gumam Lulu lirih, ujung bibirnya melengkung, entah senyum atau kepahitan yang disamarkan.

Ia mengangkat bahu, seolah menertawakan dirinya sendiri, lalu bersandar di dinding lobby yang dingin.

“Air mataku pun akhirnya hanya kebohongan lain yang kubuat,” bisiknya pelan, nyaris seperti pengakuan pada udara. “Tapi tetap saja… rasanya sakit juga.”

***

Lya berjalan cepat, menyusuri lantai mall yang ramai, langkahnya terdengar tergesa di antara riuh suara pengunjung dan musik latar yang samar. Pandangannya berputar ke segala arah, mencari satu sosok yang sudah terlalu lama tidak ia temukan di antara kerumunan.

Ponselnya bergetar di genggaman—satu pesan masuk dari Ben.

“Aku di lantai atas. Dekat balkon kafe.”

Tanpa pikir panjang, Lya langsung berlari kecil menuju arah eskalator. Setiap anak tangga yang ia naiki terasa berat, seolah ada sesuatu yang menekan dadanya—rasa bersalah, cemas, dan takut bercampur jadi satu. Ia hanya ingin segera melihat Ben, memastikan bahwa lelaki itu masih menunggunya, dan masih mau mendengarkannya.

Tidak butuh waktu lama sampai langkah Lya membawanya ke lantai atas. Ia terus menajamkan pandangan, menelusuri setiap wajah di antara kerumunan orang yang berlalu-lalang. Napasnya terengah, dadanya naik turun cepat. Ia menoleh ke kanan, ke kiri—namun sosok yang dicarinya tak kunjung terlihat.

Jantungnya berdebar semakin kencang. Perasaan cemas menekan dadanya hingga ujung jarinya ikut bergetar. Tanpa sadar, tangannya terangkat ke leher, menekan kulitnya sendiri seperti berusaha meredakan sesuatu yang sesak dari dalam.

“Lya!”

Suara itu menembus bisingnya suasana. Seketika Lya menoleh, dan dalam waktu bersamaan, seseorang menggenggam lembut pergelangan tangannya—menghentikan gerakannya.

Ben berdiri di sana. Senyum lebar terukir di wajahnya, hangat dan tulus seperti biasa. Di tangannya, ia mengangkat sebuah boneka kelinci berukuran kepala manusia, menunjukkannya dengan antusias seolah kejadian sebelumnya tidak pernah terjadi.

Napas Lya kembali normal. Seketika dadanya yang semula terasa berat kini sedikit lebih lapang. Tapi di balik rasa lega itu, terselip rasa bersalah yang makin kuat—karena Ben masih bisa tersenyum, bahkan setelah tahu ada sesuatu yang ia sembunyikan.

“Ben… Ben! Maafkan aku!”

Suara Lya pecah di antara hiruk pikuk mall. Ia langsung memeluk Ben—erat, tanpa memberi ruang bagi lelaki itu untuk bereaksi lebih dulu.

“Ly–Lya?” Ben terbata, tubuhnya menegang sesaat. “Sedang banyak orang yang melihat, lho?” suaranya bergetar, separuh gugup, separuh bingung. Ia bisa merasakan tatapan-tatapan asing dari orang-orang yang lalu-lalang, tapi pelukan Lya terasa begitu kuat, begitu terdesak seolah ia takut kehilangan sesuatu.

”Aku tidak bisa menonton film yang kau pilih tadi! Orang-orang yang mati di dalamnya, aku tidak bisa melihat mereka! Mereka mengingatkanku pada Kak Anna, aku tidak suka itu!”

Ben terdiam. Tangannya perlahan terangkat, kemudian dengan hati-hati membalas pelukan itu—tidak menenangkan, tidak juga memaksa, hanya sekadar memeluk balik agar Lya tahu bahwa ia ada di sana.

”Terimakasih sudah mengatakannya padaku, Lya...” ujar Ben. ”Lain kali, aku akan lebih berhati-hati memilih film. Aku akan mengikutimu... jika kau masih ingin mengikutiku, maka akan kupilih film anak-anak saja.” Ben melontarkan candaan yang setengah serius, tapi hal tersebut membuat Lya terkekeh. Perempuan itu hanya mengangguk dalam pelukan yang semakin erat.

“Aku sempat cemas kita akan kembali ke titik awal,” ucap Ben pelan, suaranya sedikit bergetar, seolah kalimat itu sudah lama tertahan di dadanya. “Tapi aku lega… aku mencoba menunggu, Lya. Sungguh. Aku sangat berterimakasih padamu karena sudah mau terbuka padaku...”

”Maaf, aku masih belum terbiasa... tapi aku akan segera membiasakan diri, Ben. Kumohon, terus tunggu aku... Aku akan berusaha lebih keras.”

Ben mengangguk pelan, pelukan mereka terlepas lalu Ben menunduk untuk menyentuhkan keningnya ke kening Lya. Tidak ada kata lain yang perlu diucapkan—hanya keheningan lembut yang berbicara untuk mereka.

Mata Lya membesar, tak menyangka Ben menirukan gerakannya—menyentuhkan kening mereka dengan lembut. Pria itu masih menatapnya sambil tersenyum hangat. Aneh, tapi entah kenapa Lya justru tertawa kecil.

Di tengah hiruk pikuk sekitar, keduanya berdiri tanpa peduli pada siapa pun, seolah dunia menyisakan hanya mereka berdua.

.

.

.

To Be Continue

1
Iyikadin
Wahh dengan siapa tuchhhh, jadi kepo dech ahh
@dadan_kusuma89
Wah, repot ini, Ben! Sepertinya ada sesuatu yang harus kamu teliti lebih dalam tentang Lya.
@dadan_kusuma89
Sepertinya kamu bakal masuk rekor muri, Ben! Dari penolakan menuju penerimaan cuma butuh waktu beberapa detik😁
fσя zуяєиє~✿
saran driku, paragrafnya jgn kepanjangan, klo bisa minimal 4-5 baris aja, atau klo diperlukan bisa smpe 6 baris aja/Grin/
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
Cemployn: siappp sudah sayaa perbaikii Kakk terimakasihhhh uyy sarannyaaa 🫶
total 1 replies
Goresan_Pena421
Kaka boleh perbanyak dialog. kecuali dalam bab awal ini khusus perkenalan tokoh GPP. jadi di buatin biografi singkat semua tokohnya atau cerita tentang tokoh-tokoh nya itu GPP kalau mau full monolog mereka kka.
Goresan_Pena421: iya kak. ☺️ saya juga masih belajar 💪. tetap semangat ya Kaka.
total 2 replies
Muffin🌸
Iyaa nikahi saja kan dengan begitu dia bisa jadi milikmu selamanya hehe🙏🏻
Anyelir
alasan berubah pikiran apa ya?
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
"𝑺𝒆𝒌𝒖𝒏𝒕𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 🌹 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖, 𝑻𝒉𝒐𝒓. 𝑺𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕𝒎𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒈𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒘𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒎𝒖.
✿⚈‿‿⚈✿
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Wkwkwk emg kurg ajr shbqtmu itu mnt di geplak emang Wkwkwk
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Langsung kasih pengumuman ke semua orang ya klo km pacaran 😂😂😂
Shin Himawari
Lya ga salah sih nolaknya, cuman blak blakan bgt astagaaa kasian hati Ben terpoteq🤣
Shin Himawari
setaun nyimpen cinta sendirian yaaa🤭semangaat semoga lancar pdkt-in nya
kim elly
🤣🤣bahagia nya kerasa banhet
kim elly
mana ada yang ngga tertarik pacaran🤣
👑Chaotic Devil Queen👑
Yuk! Gw pegangin sebelah kanan, Eric sebelah kiri. Kita lempar dia ke RSJ 🗿
👑Chaotic Devil Queen👑
Yang penting hasil 🗿

Tapi... Dahlah bodoamat🗿
ηιтσ
really pov 1 took. mah nyimak
TokoFebri
aku tau kau trauma lya..
CumaHalu
aku kalau jadi eric juga akan bertanya-tanya sih Ben. bisa-bisanya orang berubah pikiran dalam hitungan detik😄
@dadan_kusuma89
Ya jelas kaget lah, Ben! Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba aja kamu nembak dia😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!