Shanum dan Wira Wiguna sudah menikah selama 6 tahun dan memiliki seorang anak bernama Mariska namun kebahagiaan mereka harus diuji saat Niar, mertua Shanum yang sangat benci padanya meminta Wira menikah lagi dengan Aura Sumargo, wanita pilihannya. Niar mau Wira menikah lagi karena ingin memiliki cucu laki-laki yang dapat meneruskan bisnis keluarga Wiguna. Saat itulah Shanum bertemu Rivat, pria yang membuatnya jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serpihan Ingatan Masa Lalu
Keributan yang diciptakan Niar membuat suasana di kantor pengacara menjadi sangat tidak kondusif. Shanum hanya bisa menangis, sementara Niar terus memaki dengan kata-kata yang menyakitkan. Pengacara Shanum, Pak Chandra, bertindak tegas. Ia tidak bisa membiarkan keributan ini terus berlanjut.
"Nyonya, saya sudah peringatkan Anda. Ini kantor hukum, bukan tempat Anda membuat keributan," kata Pak Chandra, suaranya dingin dan penuh wibawa. "Saya minta Anda keluar dari kantor saya sekarang juga. Atau saya akan panggil keamanan."
Niar menoleh, matanya menyalang. "Kau pikir kau siapa?! Berani-beraninya mengusirku?! Aku ini Nyonya Wiguna! Kau akan tahu akibatnya!"
"Saya tahu siapa anda," balas Pak Chandra, tidak gentar. "Dan saya tahu Anda sudah melanggar ketenangan di kantor ini. Keluar sekarang."
Mendengar itu, Niar geram. Ia tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Ia membuka mulutnya, bersiap untuk mengeluarkan makian lain, namun Pak Chandra sudah lebih dulu bertindak. Ia menelepon bagian keamanan.
Tak lama kemudian, dua orang satpam berbadan tegap datang. Mereka menatap Niar dan keributan yang ia buat.
"Bawa dia keluar," perintah Pak Chandra tegas. "Dan pastikan dia tidak kembali."
Niar membelalakkan matanya, tidak percaya. "Jangan sentuh aku! Aku akan menuntut kalian semua! Lepaskan aku!" teriak Niar, mencoba melawan.
Namun, tenaganya tidak sebanding dengan dua satpam itu. Mereka segera menarik paksa Niar dari ruangan itu. Niar meronta, berteriak, dan mencoba melepaskan diri. Satpam menyeretnya keluar dari kantor, mengabaikan makian dan rontaannya.
Niar yang sudah berada di luar kantor, terus histeris dan meronta. "Lepaskan aku! Bajingan! Aku akan membuat kalian semua dipecat! Aku akan menuntut kalian!" teriak Niar, suaranya melengking.
Niar memandang Pak Chandra dan Shanum di balik pintu kaca, matanya dipenuhi dendam. Ia mengeluarkan sumpah serapah pada mereka semua. "Dengar! Kalian semua akan hancur! Aku bersumpah! Aku tidak akan membiarkan kalian tenang! Wanita sialan! Kau akan menyesal seumur hidup!"
Sumpah serapah itu menggema di seluruh lorong kantor, membuat Shanum dan Pak Chandra terdiam. Shanum menunduk, gemetar, hatinya terasa sakit. Ia tahu, Niar tidak akan pernah menyerah. Dendam Niar terlalu besar. Setelah satpam berhasil menjauhkan Niar, Pak Chandra menoleh ke arah Shanum, menghela napas panjang.
"Maafkan keributan ini, Bu Shanum," ucap Pak Chandra. "Saya janji, saya akan pastikan proses perceraian Anda berjalan lancar."
Shanum hanya mengangguk, tidak bisa berkata-kata. Hatinya hancur, namun ia tahu, ia sudah berada di jalan yang benar. Ia harus lepas dari semua drama ini.
****
Hari pernikahan Wira dan Aura semakin dekat. Sheila sibuk mondar-mandir di dalam kamar Wira, memastikan setiap detail sempurna, sementara Wira hanya duduk terdiam. Ia merasa ada yang aneh, ada kekosongan yang tidak bisa ia jelaskan. Tiba-tiba, mata Wira tertuju pada sebuah bingkai foto yang sedikit miring di atas lemari. Ia beranjak, ingin memperbaikinya.
Saat ia menyentuh bingkai itu, secara tak sengaja Wira menjatuhkan sebuah foto yang terselip di belakang lemari. Foto itu jatuh ke lantai, tersembunyi di bawah meja rias. Wira membungkuk dan mengambilnya. Ia membalik foto itu, dan jantungnya berdegup kencang. Itu adalah potret dirinya, bersama seorang wanita berwajah sendu yang ia rasa familiar, dan seorang anak kecil yang tersenyum riang. Wira melihat potret ia bersama Shanum dan Mariska.
Wajah Shanum dan Mariska di foto itu terlihat begitu nyata, seolah ia pernah menghabiskan waktu bersama mereka. Tiba-tiba sekelabat ingatan Wira mengenai masa lalu muncul. Ada kilasan-kilasan kejadian di benaknya: senyum Mariska yang menggemaskan, tawa Shanum yang merdu, dan momen-momen hangat yang ia habiskan bersama mereka. Kenangan itu datang secara tiba-tiba, menuntut untuk dikenali.
Kepala Wira terasa sakit, sangat sakit. Ia memegang kepalanya, meringis, dan menjatuhkan foto itu. Kenangan yang muncul terlalu kuat, memaksanya untuk mengingat apa yang ia coba lupakan. Wira berlutut, memegang kepalanya dengan kedua tangan, dan mengerang kesakitan.
"Mas Wira! Kamu kenapa?" Sheila yang baru saja masuk ke kamar terkejut melihat Wira seperti itu. Ia melirik ke arah foto yang terjatuh di lantai, dan seketika ia mengerti apa yang terjadi. Matanya membelalak panik.
"Sakit... kepalaku sakit..." erang Wira, tubuhnya ambruk, tidak sadarkan diri.
Sheila tidak membuang waktu. Ia tahu, jika Wira mengingat Shanum, semua rencana mereka akan hancur. Dengan cepat, Sheila buru-buru mengambil foto itu. Ia menatap foto Wira yang tersenyum bersama Shanum dan Mariska. Rasa panik, takut, dan cemas bercampur aduk di benaknya. Ia tidak ingin melihat Shanum kembali. Dengan mata penuh amarah, Sheila menghancurkan foto itu. Ia merobek-robeknya menjadi serpihan kecil, lalu membuangnya ke dalam tempat sampah. Semua ini terjadi saat Wira tak sadarkan diri di lantai. Sheila kemudian berteriak memanggil Niar, panik. Ia berharap Niar tahu apa yang harus dilakukan untuk menghapus kembali ingatan Wira.
****
Perlahan, kelopak mata Wira terbuka. Kepalanya masih terasa berdenyut, namun kesadarannya kembali. Ia melihat Niar dan Sheila duduk di samping ranjangnya, wajah mereka terlihat khawatir. Mereka segera tersenyum saat melihat Wira siuman.
"Syukurlah, Nak. Kamu sadar," kata Niar, tangannya mengusap kepala Wira.
Wira langsung duduk, raut wajahnya tegang. Ia menatap Niar dan Sheila. "Foto... foto itu... bukan halusinasi. Wanita itu... aku mengenalnya."
Niar dan Sheila saling pandang, lalu Niar segera menggelengkan kepalanya. "Nak, itu cuma halusinasi. Kamu terlalu lelah. Kecelakaan itu membuat kamu begini," ucap Niar, suaranya dipenuhi nada prihatin yang dibuat-buat.
"Tidak, Ma!" Wira membantah dengan suara tegas. "Itu terasa sangat nyata! Aku melihat seorang wanita dan anak kecil. Mereka... mereka ada di pikiranku."
Sheila mengambil alih. "Mas Wira, itu wajar. Kata dokter, pasien dengan amnesia kadang mengalami halusinasi. Kamu jangan terlalu memikirkannya. Kamu harus fokus pada kesembuhan."
Wira yakin bahwa itu semua bukan halusinasi. Ia menatap Niar dan Sheila secara bergantian, mencari kebohongan di mata mereka. Ia tahu mereka menyembunyikan sesuatu.
"Beberapa waktu lalu, di kafe dekat pengadilan, aku bertemu seorang wanita," ujar Wira, matanya menusuk. "Dia menangis saat aku bertanya siapa dia. Kenapa? Kenapa dia begitu familier, tapi aku tidak bisa mengingatnya? Dan dia adalah wanita yang sama persis di foto itu."
Niar terdiam sejenak, lalu ia tersenyum sinis. "Ah, wanita itu? Kami sudah tahu." Niar memegang tangan Wira erat, seolah-olah ingin melindunginya. "Itu wanita yang sama. Dia orang gila. Dia pernah bekerja di sini, tapi dipecat karena sering mencuri. Setelah kau kecelakaan, dia datang lagi, mencoba memanfaatkanmu."
Wira mengerutkan dahinya, bingung. "Mencuri?"
Niar mengangguk dengan meyakinkan. "Iya. Dia mencoba memanipulasi kamu, membuat kamu percaya dia itu istri kamu. Makanya kami selalu mencegah kamu bertemu dengannya. Dia itu licik, Nak."
"Dia hanya mau uangmu," timpal Sheila, kompak mendukung cerita bohong Niar. "Jangan percaya padanya. Percayalah pada kami."
Mendengar cerita itu, Wira kembali merasa frustrasi. Hatinya bergejolak, namun ia tidak punya bukti untuk membantah. Di satu sisi, ia yakin ingatannya nyata. Di sisi lain, Niar dan Sheila berhasil menanamkan keraguan yang kuat di benaknya. Ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.