Novel Keduabelas 🩶
Namaku Jennaira. Kisah ini adalah tentang aku yang menikah dengan seorang pria sempurna. Bertahun-tahun aku menganggapnya seperti itu, sempurna. Namun setelah menikahinya, semua berubah. Penilaianku terhadapnya yang asalnya selalu berada di angka 100, terus berubah ke arah angka 0.
Benar kata pepatah, dont judge a book by its cover. Penampilannya dan segala kemampuannya berhasil menghipnotisku, namun nyatanya hatinya tak seindah parasnya dan aku terlambat menyadarinya.
Unofficial Sound Track: Pupus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Air Mata
Bibir Gaga melmat bibir Alleta dengan beringasnya. Ia tak peduli bahwa wanita yang sedang dicumbunya sudah menjadi milik pria lain. Diabaikannya juga gaun pernikahan Alleta yang adalah bukti nyata dari pernikahan Alleta dan suami yang baru saja dimulai namun sudah ternoda oleh perbuatan tak pantas dari Gaga.
Tangan Gaga mengunci tengkuk Alleta sehingga Alleta tak bisa berkutik. Yang kulihat, lama kelamaan Alleta yang asalnya memberontak malah menyambut apa yang Gaga lakukan terhadapnya.
Ciuman Gaga tak berhenti, bibirnya turun menuju leher jenjang Alleta. Pergerakannya memberitahuku bahwa apa yang dilakukan Gaga tidak akan berhenti sampai di situ.
Pemandangan gila itu menyayat-nyayat hatiku. Kata-kata dingin Gaga saja mampu membuat hatiku terluka yang menyisakan sakit. Apalagi ini? Hingga berkali-kali, tetes demi tetes, air mataku terjun bebas melintasi pipiku tanpa dapat aku cegah.
Saat itu aku mulai ragu, apakah aku bisa menerima Gaga yang hatinya masih tertaut begitu kuatnya kepada Alleta? Di hari pernikahan Alleta, yang seharusnya Gaga menyerah dan merelakan mantan kekasihnya itu, ia malah melakukan ini. Seakan ia ingin menegaskan bahwa ialah pemilik Alleta yang sesungguhnya.
Gaga malah membentuk ikatan tak kasat mata pada hubungan mereka. Alleta boleh saja menikahi pria lain, namun nyatanya Gaga tak keberatan menjadi yang kedua, berada di sisi Alleta dengan jubah tak terlihat.
Gaga tidak keberatan mengubah cinta tulusnya kepada Alleta selama ini menjadi hubungan kotor dan egois seperti ini.
Saat itu aku sadar, nyatanya kisah ini adalah tentang Gaga dan juga Alleta. Aku hanyalah pemeran pendukung yang hanya menjadi benalu dalam hubungan mereka.
Hingga ketika Gaga menurunkan celananya, juga menyingkap gaun putih Alleta ke atas, aku tak mampu melihatnya lagi. Saat hendak pergi, mataku dan mata Gaga bertemu. Dia melihatku yang menyaksikan perselingkuhan yang tengah diperbuatnya.
Temu tatap yang berlangsung hanya beberapa detik, namun aku mampu menangkap tatapan Gaga yang seakan mengatakan, inilah aku. Inilah diriku. Jika kamu masih bersedia menikah denganku, ini bukan yang pertama dan terakhir. Kamu akan melihat perselingkuhanku dengan wanita tercintaku, ratusan kali lagi nanti.
Aku sudah tidak kuat. Ku bawa kakiku berlari keluar dari hotel mewah itu. Dengan isak tangis yang tak mau berhenti, aku berdiri di tepi jalan, berharap ada angkutan umum atau taksi yang lewat. Namun tak ada yang berhenti. Hingga sebuah motor trail berhenti di hadapanku. Pengendara itu membuka kaca helm full facenya dan ku lihat kedua matanya membulat sempurna.
"Ra, lo kenapa nangis di sini sendirian? Ayo naik."
Rita benar-benar malaikat bagiku saat itu. Tanpa menunggu aku naik ke jok belakang motor bergaya offroad itu. Setelah itu Rita membawa motornya hingga kami tiba di tempat kost ku. Aku pamit pada Rita dan berlari menuju kamar kost ku. Tak ku pedulikan Rita yang keheranan melihatku yang histeris seperti ini.
Tiba di kamar ku telungkupkan tubuhku di atas ranjang dan menangis lebih keras lagi. Meskipun aku tidak mau, namun Gaga yang menyentuh Alleta terus saja melukaiku. Tidak bisa, aku tidak bisa menahan semuanya. Ku biarkan air mataku menetes tanpa terkendali. Karena hanya itu yang bisa ku lakukan sekarang.
Hingga aku pun terlelap dan terbangun di malam hari. Kepalaku terasa sakit karena menangis cukup lama. Ku bawa diriku ke kamar mandi, ku basuh seluruh tubuhku dan setelah berpakaian, ku tunaikan kewajibanku. Air mataku kembali menetes di sujud terakhir.
Ku adukan semuanya pada Sang Pemilik-ku. Apa yang harus ku lakukan sekarang? Apa aku pantas menerima semua ini? Semua keluh kesahku ku ceritakan kepada-Nya, hingga perasaanku merasa lebih tenang.
Keesokan harinya, aku pun sudah memutuskan. Sebelum semuanya terlambat, aku akan mengatakannya pada Gaga. Kami pun bertemu di sebuah coffee shop. Ku bawa cincin pertunangan kami di dalam kotak cincin. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Gaga tiba dan duduk di hadapanku.
"Ada apa?" tanyanya to the point.
Aku pun menyodorkan kotak cincin itu kepada Gaga.
Gaga melihatku tajam. "Lo mau mutusin pertunangan kita?"
Aku pun mengangguk, menahan agar air mataku tak tumpah di depannya. "Aku gak bisa menikah kalau Gaga masih cinta sama Alleta."
Gaga menyeringai. Ia terdiam sesaat menciptakan keheningan di antara kami.
Lalu, tiba-tiba saja ia raih cincin milikku dari dalam kotak itu. Kemudian ia raih tanganku dengan paksa hingga aku tak bisa memberontak dan memakaikannya lagi di jari manisku. "Gue gak mau mutusin pertunangan ini."
Sontak aku yang sejak tadi menghindari bertemu tatap dengannya, menatap kedua matanya dengan keheranan. "T-tapi..."
Gaga meraih cincin pertunangannya dari dalam kotak itu dan memakainya di jari manisnya juga. "Ini permintaan Papa. Lo tega sama Papa kalau dia tahu kita putus setelah satu minggu bertunangan?"
"Tapi kemarin..."
"Lo berharap apa? Gue sama Alleta akan tetap kayak gini. Kita gak bisa pisah dan kita udah sepakat. Kita akan berada di dalam hubungan gelap ini. Karena lo udah lihat kita kemarin, jadi ini rahasia kita bertiga. Gue gak peduli dia nikah sama cowok lain. Tapi gue gak mau terlihat menyedihkan. Makanya gue butuh lo," ucap Gaga tanpa mempertimbangkan perasaanku.
"Butuh aku...? Buat..."
"Buat jadi pelampiasan gue," potongnya cepat. "Kalau dia punya suami, gue juga harus punya istri dong. Kalau dia lagi harus bareng sama suaminya. Gue juga pengen ada lo yang nemenin gue, sekalipun gue gak cinta sama lo. Ngerti maksud gue?"
Tanganku terkepal kuat. Baru kali ini aku merasa seperti ini pada Gaga. Bukan cinta, bukan rindu, apalagi bahagia. Bukan pula sakit hati, melainkan marah, kesal. Bagaimana bisa Gaga yang selama ini aku cintai bisa sejahat ini?