NovelToon NovelToon
Antara Jiwa, Cinta Dan Pembebasan Malaka

Antara Jiwa, Cinta Dan Pembebasan Malaka

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Poligami / Dikelilingi wanita cantik / Perperangan / Ilmu Kanuragan
Popularitas:267
Nilai: 5
Nama Author: Dimas riyana

Pagi yang cerah di suatu pulau bagian utara Jawa, desiran ombak dan suara burung-burung pagi sudah menghiasi dermaga, beberapa nelayan yang baru pulang melaut sedang memilah-milah hasil tangkapan, seorang pemuda yang tegap dan gagah terlihat sibuk dengan perahu cadiknya.
“hoooyyy... Wahai laut, hari ini aku akan mengarungimu, aku akan menjadi penjaga laut Kesultanan, kan ku berantas semua angkara murka yang ingin menjajah tanah Jawa, bersiaplah menerima kekuatan otot dan semangatku, Hahahaha..
”Rangsam berlayar penuh semangat mengarungi lautan, walau hanya berbekal perahu cadik, tidak menurunkan semangatnya menjadi bagian dari pasukan pangeran Unus. Beberapa bulan yang lalu, datang Prajurit Kesultanan ke pulau Bawean, membawa selembar kertas besar yang berisi woro-woro tentang perekrutan pasukan Angkatan laut pangeran Unus Abdurrahman, dalam pesan itu tertulis bahwasanya pangeran akan memberantas kaum kuning yang selama ini sudah meresahkan laut Malaka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dimas riyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SERANGAN DAN WANARA

Kapal bintara terus merangsek mendekati musuh, dengan terus menembakkan peluru, prajurit bintara terus membidik dengan senapan mereka, jarak antara kapal bintara dan musuh mungkin tinggal dua ratus meter, jarak yang lumayan untuk memberikan daya rusak. Musuh tetap membalas, namun kapal Jung milik pangeran unus begitu besar, begitu kokoh, dengan lapisan kayu papan yang bersusun, menjadi sukar sekali ditembus.

Sementara itu di pihak Portugis, mereka tidak menyangka akan berhadapan dengan kapal sebesar ini, pasukan Portugis sedikit gentar, namun semua itu dapat di redam oleh kapten mereka, Alfonso illois, “ jangan takut!!! , kita ini bangsa yang kuat, kalian semua berasal dari tempat yang jauh, jika bukan karena kalian orang-orang hebat, tidak mungkin kalian masih hidup sampai saat ini !!”

Kapten itu tetap tenang dibalik seorang nakhoda, memandang kapal-kapal bintara dengan tajam, rupanya tidak main-main mereka orang Jawa, itulah yang ada di benak illois, sepanjang ia hidup, baru kali ini melihat kapal yang sangat besar, entah bagaimana cara membuatnya, hingga peluru meriam mereka tidak bisa menembus lambung kapal. Di sampingnya, seorang jurusan tulis sibuk mendokumentasikan kejadian saat ini, “hey piere, sebaiknya kau pikirkan keselamatanmu, tulisanmu itu tidak berguna bagi nyawamu”. Si juru tulis tidak menghiraukan, hanya sedikit ia menjawab, “kelak tulisanku ini akan berguna bagi kita dalam menghadapi mereka”. Kapten illois hanya tersenyum kecut meremehkan.

Sejenak matanya terbelalak, satu kapal Portugis tenggelam, dan satu lagi berhasil dikuasai musuh. “SIAALAAN !!!”

Selama ini mereka belum pernah berhadapan dengan bangsa Asia seperti mereka, biasanya bangsa Asia mudah ditaklukkan, bodoh dan terbelakang, tapi ini sangat mengejutkan, mereka menyerang terlebih dahulu, dan mereka memiliki kapal seperti monster. Dalam pengalamannya di Karibia, Alfonso pernah menumpas bangsa Indian dengan mudah, tidak ada perlawanan yang berarti, mudah saja, karena orang-orang Indian hanya berbekal busur dan tombak. Bangsa Jawa memang berbeda, rasanya sama saja melawan orang-orang Turki, Alfonso masih duduk terdiam mengawasi, kali ini satu lagi kapalnya hilang ditelan laut.

Tiba-tiba satu peluru senapan menembus dada nakhodanya, langsung tersungkur bersimbah darah, Alfonso tetap tenang dan dingin, ia berdiri mengambil alih kemudian kapal, kakinya menyingkirkan jasad nakhoda seperti hewan, matanya masih seperti elang, ia memberi komando kepada pasukannya.

“kalian bersiap, kita akan naik ke kapal yang paling besar”.

“kapten !! , apa kau sudah gila!?”

Alfonso tanpa basa-basi mencabut tarkul sari pinggangnya, tanpa ekspresi menembak anak buahnya yang protes tadi. “aku tidak butuh orang pengecut seperti dia, siapa lagi yang berani menentang perintah ku?”, semuanya terdiam, tak ada satu pun yang berani menjawab, mereka hanya bisa menelan ludah, seperti menghadapi singa marah di depan, namun jika mundur menjadi santapan buaya.

“HEY PELAUUUT...!!! MATILAH KALIAN DENGAN TERHORMAT..!!!”

Sorak-sorai bergemuruh diantara pasukan Portugis, Alfonso berhasil membakar semangat anak buahnya, semangat membunuh seorang pelaut Eropa, membakar jiwa pasukan Portugis, Alfonso tersenyum nanar, matanya seperti haus darah, memburu dengan tajam, kemudian kapal diputar, membuat kapal berbelok tajam dan miring membelah ombak, kini moncong kapal Portugis sudah sejajar dengan muka kapal Jung bintara, seperti domba yang ingin beradu kepala dengan gajah, Alfonso melaju tanpa ragu, pasukannya sudah bersiap dengan tali pengait, ingin mencoba kekuatan dari para prajurit Jawa.

Jarak antara Jung bintara dan galiung Portugis semakin berkurang, kedua kapal tidak henti-hentinya menembakkan meriam masing-masing, kedua kapal tetap pada jalur mereka, apalagi Portugis, masih dengan sombongnya memburu kapal bintara yang super besar, senyum kapten Alfonso semakin lebar dengan mata yang semakin memincing, “aku tidak takut seberapa besarnya kapal kalian, yang ku tau adalah, kalian hanya sekumpulan orang-orang terbelakang, yang hanya bisa berebut kekuasaan dengan bangsa sendiri, kalian tidak layak mengolah bumi ini, kalian hanya pantas menjadi budak kami, itupun adalah jabatan yang terhormat bagi kalian, dasar monyet-monyet berkulit coklat !!”.

“Pangeran, kapal itu semakin mendekat, bagaimana ini?” tanya seorang prajurit pada Rangsam. “kau jangan cemas, serahkan dirimu kepada Allah, itu yang sering kau sebut dalam sholat, sesungguhnya sholat ku, ibadahku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah rabb semesta alam”.

Pasukan pembajak bersiap, Rangsam sudah sedia dengan keris dan terkulnya, api jihad menyala di dada pasukan bintara dan Cirebon, hidup mulia atau mati syahid, hanya dua itu, dan itu adalah jalan yang terbaik. Sari jauh sebuah kapal Jung bermanuver, menyibak lautan, mengarah langsung ke galiung Portugis, mereka adalah regu bajul, namun dari arah yang sama ada yang membuntuti, sebuah fregat dengan empat tiang, lebih lincah dari galiung, melontarkan bom dari geladak, pangeran Unus tercengang, senjata apakah itu, sangat efektif sekali, melemparkan bom dari arah atas, langsung menuju sasaran, dalam beberapa menit kapal regu bajul karam, Rangsam yang melihat dengan mata dan kepalanya sendiri, Tiba-tiba sangat geram, ia melompat, berlari di atas air, menuju kapal musuh yang berhasil menenggelamkan regi bajul, kali ini Rangsam seperti bukan dirinya, sangat murka.

Sekejap suara teriakkan dan erangan terdengar, sangat memilukan, pasukan Portugis melepas nyawa, sudah jelas Rangsam mengantarkan mereka, berbekal keris, Rangsam menjelma seorang monster yang sangat kejam, tanpa belas kasihan. Tanpa ragu Rangsam memotong satu-persatu urat leher mereka, darah menyembur, usus terburai, bah amis dimana-mana. Dengan kejamnya Rangsam menusukkan keris di ubun-ubun musuh, kemudian membelah ke wajah hingga hidung terbagi dua.

Mata Rangsam sudah memutih, entah siapa yang ada di dalam tubuhnya. Dari belakang musuh mencoba menebas punggung Rangsam, dengan reflek yang cepat kerisnya mampu menahan, lalu ia lorotkan ke arah genggaman tangan musuh, alhasil tangan musuh cuil, tanpa ampun tusukan demi tusukan ia lesatkan, sangat gila Rangsam, entah kapan yang merasukinya.

Pangeran Unus merinding mendengar jeritan pilu dari pasukan musuh, Rangsam yang haus darah berlari menuju kapal kapten Alfonso, pasukan Alfonso terperanjat, tidak bisa dinalar, manusia berlari di atas air. Dalam hitungan detik Rangsam berhasil naik ke kapal Alfonso, ia melompat dari air, berpijak pada tapi kapal, kemudian menendang tiang layar, bruaaaaaakkkk.... Tiang patah, menimpa banyak prajurit Portugis, tembakan semua mengarah ke, Rangsam, seperti kera menghindari hujan, Rangsam lolos dari peluru-peluru Portugis. Namun sekarang mereka yang tidak bisa menghindar dari serangan Rangsam, dalam sekali tebas, kerongkongan mereka semuanya terlihat, kejang-kejang meregang nyawa, Melihat kejadian itu, sebagian besar pasukan Portugis melarikan diri, mereka menceburkan diri ke laut. Kini hanya tersisa beberapa yang ragu-ragu memegang senapan dengan gemetar, Rangsam seperti hewan buas, darah menetes dari ujung kerisnya, mata Rangsam putih, memburu darah di balik kulit pucat mereka.

Duaaaaaaarrr.......!!! Alfonso menembak anak buahnya, “maju kalian, jangan tunjukkan sikap pengecut di hadapanku !!!”.

Pasukan Portugis dengan terpaksa maju menyerang Rangsam, Rangsam pun dengan tanpa ragu berlari ke arah mereka, beeeet... Beeeeet....

Dua kali babat mereka langsung tumbang tak bersuara, batok kepala atas mereka terpisah, menyisakan leher dan rahang gigi bawah yang bersatu dengan tubuh. Alfonso yang menyaksikan kejadian itu gemetar, tak terasa ia kencing di celana.

Kini tinggal Rangsam dan Alfonso, satu lawan satu, Rangsam masih seperti binatang buas, menatap Alfonso penuh nafsu, seakan ingin mencabik-cabik daging merahnya. Dalam beberapa langkah tangan Rangsam berhasil mengkalungi leher Alfonso, Rangsam ingin mencongkel matanya, sepersekian detik keris sudah menyentuh bola mata Alfonso, dan....

Braaaaaaaaaaakkkkk....... Kapal pangeran Unus menabrak kapal kapten Alfonso.

“WANARAAAAAA....!!!! HENTIKAAAAAAN....!!!!!”

Rangsam menoleh pada paman adipati, kemudian paman adipati melompat dari kapal, bersalto di udara dan mendarat tepat di hadapan Rangsam, paman adipati langsung memegang kepala Rangsam, seketika Rangsam lemas dan terjatuh tak sadarkan diri.

Enam jam berlalu, ratusan kapal bintara melawan puluhan kapal Portugis, perang dimenangkan oleh bintara, namun separuh pasukan bintara gugur, dan separuh kapal bintara tenggelam, bukan pertempuran yang imbang sepertinya, bintara mengalami kerugian banyak, bahkan mereka belum menyentuh pelabuhan malaka. Kapten Alfonso illois menjadi tawanan perang.

“separuh kapal kita tenggelam pangeran, kapitan Adji syahid, kapitan Oerip terluka parah, sedangkan pangeran warangka belum siuman”

“berapa jumlah kapal dan pasukan yang tersisa?”

“kapal kita bersisa tujuh puluh armada, sedangkan total prajurit bintara dan Cirebon berkisar dua ratus orang”

“berapa orang yang terluka dan berapa yang masih bisa melanjutkan perang?”

“delapan puluh orang lebih terluka, dan sisanya masih bisa melanjutkan peperangan”

“baiklah Terima kasih kapitan keker, apakah ada tanda-tanda kedatangan regu walet ireng dan pasukan Palembang?”

“belum terlihat pangeran, dari tim pemantau belum memberikan informasi”

“baiklah, kita tidak boleh berharap kepada makhluk, kita tetap berharap kepada Allah, jangan takut, Allah bersama kita, buktinya Allah memberi kemenangan sementara, walau kita belum bisa membebaskan malaka dari Portugis, Insyaallah, setelah ini kita dapat membebaskannya”.

“trimakasih pangeran, lalu, bagaimana dengan tawanan perang kita?”

“perlakukan dia dengan baik, tunjukkan adab kalian kepada tawanan, ikuti apa yang diajarkan Rasulullah SAW, cari sedalam-dalamnya informasi darinya, itu dapat membantu kita besok dalam penyerangan ke Malaka”.

“baik pangeran”.

Rangsam masih tidak sadarkan diri, pangeran adipati Wigardakusuma berada di samping Rangsam tidur, matanya terlihat sedih, dan ada penyesalan yang sangat mendalam, seperti ada sesuatu yang ia ketahui. Sementara itu Rangsam bermimpi, di alam mimpinya Rangsam terus berlari di sebuah gurun yang berbatu, matahari terlihat ada sembilan buah, bukan main panasnya. Rangsam terus berlari tidak tentu arah, menjauh dari sengatan panas. Rangsam menjumpai sebuah gua yang besar dan megah, langit-langit gua yang sangat tinggi, bertabur berlian berkelap-kelip, Rangsam terus masuk ke dalam, sungguh megah gua itu, Rangsam melihat ada celah yang sempit, ia masuk celah itu, semakin lama semakin merunduk, Rangsam terus berjalan masuk, hingga ia menemukan cahaya terang, dan bukan main, setelah keluar dari celah itu, Rangsam menjumpai ruangan yang lebih megah lagi, seperti aula raja, kerlipan berlian, emas dan banyak sekali harta di sana.

Namun keterkejutan itu belum berakhir, Rangsam melihat ada sesosok mahkluk yang sangat besar, sedang duduk di atas singgahsana yang megah, mahkluk itu sangat tinggi, kemungkinan delapan puluh hasta, memiliki bulu tebal putih, Kepalanya bermahkotakan zamrud dan rubi, dengan batang emas sebagai pengikatnya.

Rangsam memberanikan diri bertanya, “wahai makhluk ciptaan Allah, siapakah dirimu?”

“hoo hoo ha ha.., rupanya ada anak muda yang tersesat” suaranya menggema di seluruh gua.

“siapa kau dan dimana aku?” Rangsam mengulangi pertanyaannya.

“Hoo hoo ha ha.., HAI ANAK MUDA!! , tidakkah kau menunjukkan sedikit sopan santun mu di hadapanku, aku ini wanara, raja kera dari gua sela amerta, kau sedang berada di daerah kekuasaanku, maka dari itu...... JAGA SIKAPMU!!!...”

“Baiklah tuan wanara, apakah kau bisa jelaskan mengapa aku bisa di sini, dan kenapa aku harus berhadapan denganmu?”

“hoo hoo ha ha.., Hai putra wiyakrakusuma, kau sudah menggunakan jasaku, dan kau harus memberikan imbalan kepadaku”.

“dari mana kau tau nama ayahku?, jasa apa?, aku tidak berhutang pada siapapun?”

“DASAR TIDAK TAU DIUNTUNG!!!!, aku sudah membantumu berperang, sekarang aku meminta hak imbalan darimu”. Mahkluk itu tampak marah sekali pada Rangsam, matanya menyalak merah, gigi taringnya beradu rapat antara atas dan bawah, pertanda sangat geram sekali.

“ Hoooyyy monyet besar, aku tidak pernah menyuruhmu membantuku, tanpa bantuanmu pun aku bisa menghabisi mereka, sebenarnya kau lah yang telah lancang kepadaku”

Wanara semakin kesal kepada Rangsam ia berdiri dari singgahsananya, kemudian turun, berjongkok di hadapan Rangsam, lubang hidungnya sebesar kepala Rangsam, menghembuskan angin yang membuat Rangsam gelagapan.

“Tajam sekali lidahmu anak muda, kau tidak tau siapa aku, aku harus mengajarimu sopan santun dan cara berterimakasih”.

Seketika tangan kera besar itu mengayun, tangan yang begitu besar ingin menghantam Rangsam seperti seekor nyamuk, dengan cepat Rangsam menghindar, melompat dan bertengger di atas tumpukan berlian. Suara gemuruh menggema saat tangan besar wanara menghantam lantai gua.

“Kurang ajar, braninya kau mempermainkanku!!”

Kera besar itu semakin marah, matanya memburu Rangsam, taringnya terlihat, dihiasi liur yang liar, hasrat ingin membunuh dirasakan oleh Rangsam, mahkluk macam apa ini, Rangsam belum pernah bertemu mahkluk seganas ini, aura kekuatan yang nyaris tak terbatas, kalau saja Rangsam tidak berbekal ilmu kanuragan, pasti ia sudah pingsan dari tadi.

“JANGAN LARI KAUUU !!!!! “

Rangsam berlari menuju celah tempat ia masuk, ia terus berlari sambil merunduk, namun celah itu bukan halangan bagi kera besar yang marah, sekali pukul terbentuk lubang besar. Rangsam berlari lagi menuju luar gua, kini ia sudah berada di luar, ia lari menjauhi gua, namun beberapa saat saja si kera besar sudah keluar.

“monyet itu sudah gila, apa yang ia inginkan dariku”

Rangsam berlari di bawah terik sembilan matahari, kera besar masih mengejarnya.

“jika aku tertangkap, bisa tamat riwayat ku, aku harus melawan”.

Rangsam tiba-tiba berhenti berlari, dan kera besar itu pun berhenti mengejar, mereka berdua berhadapan, sungguh lawan yang sangat tidak seimbang.

“hey monyet besar, apa yang kau inginkan dariku?!!!”

Kera besar itu mengaum keras, air liur menyembur dari celah gigi-gigi yang besar.

“Aku ingin kau mengabdi padaku.. Hoo Hoo.. Ha ha...”

“tidak sudi aku mengabdi kepada makhluk sepertimu, aku manusia merdeka”

“hoo hoo ha ha... Kalau begitu, kau lebih memilih mati..!!”

Kera besar menyerang Rangsam, mencoba menepuknya lagi seperti nyamuk, Rangsam terus menghindar, lompat dari satu batu ke batu lain. “kalau begini terus, aku tidak bisa mengalahkan kera besar ini”.

Saat tangan kera besar menepuk tanah, di situ kesempatan Rangsam, ia memanjat lengan si kera, dengan cepat merangkak ke wajahnya, satu pukulan melesat mengenai mata kiri si kera, si kera mengerang kesakitan, Rangsam berayun di bulu wajah kera, memasuki lubang telinganya, ia mengaduh kesakitan, Rangsam terus menghajar bagian dalam telinganya yang lunak, darah mengucur seperti mata air, kera besar itu berteriak sekencang-kencangnya, Rangsam tanpa ampun, beberapa menit kemudian tubuh kera besar itu tumbang memeluk tanah.

Rangsam sadar dari pingsannya, di tepi tempat tidur sudah ada paman adipati, wajahnya penuh keringat, tangannya menggenggam keris yang sudah tidak bersarung.

“paman..., sedang apa paman dengan keris itu?”

“pangeran warangka, kau sudah siuman, syukurlah”.

“aku tadi bermimpi, mimpiku sangat nyata”.

“ya, paman tau itu, banyak yang ingin paman jelaskan kepadamu”

“apakah ada hubungannya dengan keris milik ayah yang sekarang ada dalam genggaman paman?”.

“ya, benar sekali, mimpi yang kau alami tadi ada hubungannya dengan keris ini”.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!