Tidak semua cinta datang dua kali. Tapi kadang, Tuhan menghadirkan seseorang yang begitu mirip, untuk menyembuhkan yang pernah patah.
Qilla, seorang gadis ceria yang dulu memiliki kehidupan bahagia bersama suaminya, Brian—lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Namun kebahagiaan itu sekejap hilang saat kecelakaan tragis menimpa mereka berdua. Brian meninggal dunia, sementara Qilla jatuh koma dalam waktu yang sangat lama.
Saat akhirnya Qilla terbangun, ia tidak lagi mengingat siapa pun. Bahkan, ia tak mengenali siapa dirinya. Delvan, sang abang sepupu yang selalu ada untuknya, mencoba berbagai cara untuk mengembalikan ingatannya. Termasuk menjodohkan Qilla dengan pria bernama Bryan—lelaki yang wajah dan sikapnya sangat mirip dengan mendiang Brian.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari sosok yang hanya mirip? Dan mungkinkah Qilla membuka hatinya untuk cinta yang baru, meski bayangan masa lalunya belum benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lesyah_Aldebaran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Empat
"Kita mulai pelajarannya," ucap Brian datar sambil membuka bukunya. Tatapannya langsung tertuju pada Qilla yang masih bersandar di bangku dengan mata terpejam.
"Bangun, woy. Pak Brian ngeliatin lo," bisik Arion pelan sambil menyenggol lengan Qilla.
"Berisik lo, jangan ganggu gue, sialan!" Sahut Qilla kesal tanpa membuka mata.
"Arion, tolong bangunkan Qilla," titah Brian datar.
"Qilla lagi sakit, Pak," jawab Arion cepat.
Brian hanya diam. Dalam hatinya, dia sudah menduga pasti ini semua efek dari semalam. Minuman, mabuk, dan kegiatan lain yang berlangsung selama berjam-jam lamanya sampai membuat Qilla pingsan.
"Baiklah, Arion, antarkan Qilla ke UKS," titah Brian.
"Baik, Pak." Saat Arion hendak membantu Qilla berdiri, tapi Qilla tersenyum tipis dan menggelengkan kepala, menolak bantuan itu.
"Gue bisa sendiri, Arion. Lo fokus aja belajar, nggak usah sok jadi pahlawan," ucapnya santai sambil terkekeh kecil.
"Sialan lo, Qill," gerutu Arion kesal. Gin dan Harris hampir tidak bisa menahan tawa mereka, wajah Arion yang jengkel sangat lucu.
Saat Qilla bangkit dan melangkah keluar kelas, tatapan Brian mengikutinya dengan mata yang tak berkedip, tanpa ekspresi apa pun.
"Pastikan kamu istirahat di UKS, tidak diizinkan pulang," ucap Brian dengan nada tegas saat Qilla melintas di hadapannya.
Qilla menatap gurunya dengan tatapan sinis sebelum berlalu, meninggalkan kesan dingin di udara. Siswa-siswi lain merasa seperti diselimuti hawa dingin menyaksikan adegan itu.
Dalam hati mereka bertanya-tanya. “Gila, kenapa Qilla bisa seberani itu sama Pak Brian?”
Qilla menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang UKS dengan malas, membiarkan kelelahan membungkusnya. Ruangan itu sunyi, hanya suara kipas angin di langit-langit yang berputar pelan, menciptakan suasana yang tenang namun membosankan.
"Ugh, kepala gue kayak mau meledak," gumamnya sambil memejamkan mata, berusaha meredakan sakit yang menusuk.
Beberapa menit kemudian, pintu UKS terbuka perlahan, dan sosok Ibu Azizah, penjaga UKS, masuk dengan membawa kotak P3K dan segelas air yang tampak dingin.
"Qilla, kamu kenapa lagi, Nak?" tanya ibu Azizah lembut.
"Pusing, bu. Kayaknya masuk angin," jawab Qilla sambil memutar bola matanya malas. Bohong dikit nggak apa-apa, pikirnya.
Ibu Azizah meletakkan segelas air di meja kecil di samping ranjang, lalu menatap Qilla dengan pandangan penuh perhatian.
"Ibu lihat kemarin kamu sempat pulang ya, Nak? Kenapa? Kok buru-buru pulangnya?" tanyanya sambil menempelkan punggung tangan ke kening Qilla, memastikan suhu tubuh muridnya itu.
Qilla tersenyum tipis, berusaha terlihat santai. "Umm... Kemarin Qilla lagi kurang enak badan, Bu," jawabnya, kembali menutupi alasan sebenarnya.
Ibu Azizah menggeleng pelan, nada suaranya lembut tapi khawatir. "Ya Tuhan, Qilla... Kamu itu harus jaga kesehatan. Ibu tahu kamu anaknya cantik, pintar, manis, imut juga. Tapi guru-guru lain pada ngeluh karena kamu susah diatur, bandel."
Qilla tertawa kecil, malu-malu. "Iya Bu, maaf ya," ucapnya pelan, lalu memejamkan mata sebentar, mencoba beristirahat.
Tak lama, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu UKS terbuka perlahan. Sosok Brian muncul di ambang pintu, membawa aura tenang dan dingin seperti biasanya.
"Permisi, Bu Azizah," ucap Brian sopan dengan nada tenangnya yang khas.
Ibu Azizah menoleh dan tersenyum hangat. "Oh, Pak Brian. Ini Qilla, katanya pusing, Pak."
"Saya tahu," jawab Brian singkat. Matanya langsung tertuju pada Qilla yang sedang berbaring dengan mata terpejam.
"Saya tinggal sebentar ya, Pak. Saya mau ambil salep buat siswa lain dan juga obat untuk Qilla," pamit Ibu Azizah, lalu meninggalkan ruang UKS.
Begitu suasana sunyi, Brian melangkah pelan ke sisi ranjang.
"Masih pusing, Qilla?" tanyanya lembut sambil mengusap kepala gadis itu dengan pelan.
Qilla tidak menjawab. Matanya masih terpejam, tapi napasnya tampak berat.
"Qilla?" ulang Brian, sedikit lebih pelan.
Perlahan, Qilla membuka matanya dan menatap Brian dengan kesal.
"Apa sih?! Ganggu banget, tahu nggak!" omelnya.
Brian tersenyum kecil, kemudian menarik kursi dan duduk di samping ranjang, menyilangkan tangannya dengan santai. "Saya hanya bertanya, masih pusing atau tidak."
"Ck! Masih harus ditanya? Jelas aja masih! Ini semua gara-gara kamu!" Qilla menggerutu. "Tadi aku sampai jalan aja susah. Bukannya bantuin, kamu malah cuek banget!"
Brian hanya tersenyum tipis, senyum yang hampir tidak terlihat.
"Iya, iya. Maaf ya, cantik. Jangan marah dong," ucapnya ringan.
"Ih, apaan sih kamu!" wajah Qilla memerah. "Seenaknya minta maaf doang! Terus gimana kalau aku... Hamil?!" bisiknya dengan suara rendah namun jelas.
Brian menatapnya, masih dengan ekspresi tenang. "Ya… Bagus dong," jawabnya dengan nada santai.
"Yak! Apanya yang bagus?! Aku masih kelas dua SMA, tahu! Aku nggak mau dikeluarin dari sekolah!" ucap Qilla, matanya menatap tajam kearah Brian.
Brian terkekeh pelan. "Kamu lupa ya, sekolah ini milik siapa?"
Qilla terdiam, sedikit kaget.
"Nggak akan ada yang bisa ngeluarin kamu. Dan kalau kamu hamil anak saya… Itu bukan masalah," lanjut Brian, berdiri dari kursinya. "Karena kamu adalah istri saya, Qilla."
Qilla tercekat. Benar, mereka memang sudah menikah. Namun jauh di lubuk hatinya, dia belum benar-benar siap menjadi seorang ibu. Masih ada rasa takut dan bersalah yang menghantuinya. Dia khawatir tak mampu merawat seorang anak dengan baik, terlebih dirinya masih duduk di bangku sekolah. Qilla tahu, tanggung jawab seorang ibu bukanlah hal kecil—itu adalah amanah besar yang menuntut kedewasaan dan kesiapan penuh, dua hal yang masih dia perjuangkan dalam dirinya.
"Istirahatlah, kamu butuh itu," ucap Brian, sambil melangkah menuju pintu.
Sesaat sebelum keluar, Brian menoleh sekilas. Tatapannya dalam, seperti menyimpan sesuatu yang tidak dia ucapkan.
Lalu Brian pergi, meninggalkan Qilla yang masih terdiam, kesal, cemas, dan bingung akan perasaannya sendiri.