Update tiap hari ~
Follow Instagram: eido_481
untuk melihat visual dari karakter novel.
Setelah begadang selama tujuh hari demi mengejar deadline kerja, seorang pria dewasa akhirnya meregang nyawa bukan karena monster, bukan karena perang, tapi karena… kelelahan. Saat matanya terbuka kembali, ia terbangun di tubuh pemuda 18 tahun yang kurus, lemah, dan berlumur lumpur di dunia asing penuh energi spiritual.
Tak ada keluarga. Tak ada sekutu. Yang ada hanyalah tubuh cacat, meridian yang hancur, akibat pengkhianatan tunangan yang dulu ia percayai.
Dibuang. Dihina. Dianggap sampah yang tak bisa berkultivasi.
Namun, saat keputusasaan mencapai puncaknya...
[Sistem Tak Terukur telah diaktifkan.]
Dengan sistem misterius yang memungkinkannya menciptakan, memperluas, dan mengendalikan wilayah absolut, ruang pribadi tempat hukum dunia bisa dibengkokkan, pemuda ini akan bangkit.
Bukan hanya untuk membalas dendam, tapi untuk mendominasi semua.
Dan menjadi eksistensi tertinggi di antara lang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eido, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuju Ke Kediaman Keluarga Qin
Feng Jian merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk dan mewah di kamar penginapan Anggrek Merah. Suasana malam terasa tenang, hanya suara serangga dan hembusan angin lembut yang menemani pikirannya yang perlahan mengendap. Tubuhnya sudah letih, tetapi dalam hatinya ada ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia memejamkan mata, membiarkan kantuk perlahan menyelimutinya. Malam itu, ia tertidur dengan damai, ditemani harapan tentang hari esok.
Ketika fajar menyibak cakrawala, sinar matahari pagi menembus celah jendela kamar, membasuh wajah Feng Jian dengan hangatnya. Ia bangkit dari tempat tidur, membersihkan diri sejenak, lalu segera bersiap. Hari ini bukan hari biasa hari ini, ia akan menghadap keluarga Qin.
Dengan langkah mantap dan hati yang tenang, Feng Jian meninggalkan penginapan dan menyusuri jalan kota yang masih diselimuti embun pagi. Saat mendekati tempat tinggal keluarga Qin, dari kejauhan ia sudah bisa melihat sosok seorang gadis berdiri menunggu.
Qin Aihan, mengenakan jubah anggun berwarna cerah, berdiri di tepi jalan dengan tatapan penuh harap. Rambutnya digelung rapi, dan senyumnya tampak lembut, sehangat matahari pagi itu sendiri.
Sepuluh menit telah ia tunggu, dan saat langkah kaki yang dikenalnya itu muncul di ujung jalan, mata Qin Aihan berbinar. Tanpa ragu, ia melangkah cepat, dan ketika Feng Jian cukup dekat, ia memeluk pria itu pelukan ringan namun penuh rasa yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.
“Aku senang kamu datang.” bisik Qin Aihan pelan, masih memeluknya sejenak sebelum melepaskan.
Feng Jian membalas senyum itu, lalu membiarkan dirinya dipandu masuk ke dalam tempat tinggal keluarga Qin sebuah bangunan dua lantai yang tidak terlalu mencolok, namun cukup besar dan nyaman. Meski bukan istana bangsawan, tempat itu memiliki nuansa kekeluargaan yang hangat. Beberapa penjaga dan pelayan memberi salam hormat saat Qin Aihan lewat, dan semuanya diam-diam melirik ke arah Feng Jian, pria yang sedang berjalan berdampingan dengan nona mereka.
Qin Aihan menggandeng tangan Feng Jian dengan lembut, membawanya melewati lorong dalam bangunan tempat tinggal keluarga Qin. Udara pagi mulai menghangat, dan di dalam ruangan utama yang tertata rapi, aroma teh melati perlahan memenuhi udara.
Di sana, duduk seorang wanita paruh baya berwajah bulat dengan pipi sedikit penuh, mengenakan jubah sederhana berwarna cokelat tua. Rambutnya yang diikat rapi memperlihatkan guratan ketegasan di wajahnya Nyonya Mei, atau yang lebih akrab disapa Bibi Mei oleh Qin Aihan.
Begitu melihat kemunculan Qin Aihan bersama seorang pemuda asing, Bibi Mei meletakkan cangkir teh dari tangannya. Tatapannya langsung jatuh pada pria yang berdiri di samping nona mudanya. Dalam sekejap, naluri tajam yang terasah dari pengalaman bertahun-tahun dalam dunia perdagangan dan pengawalan langsung terbangun.
Feng Jian membungkukkan sedikit tubuhnya sebagai tanda hormat. “Salam hormat, Nyonya Mei.”
Bibi Mei mengangguk pelan, namun sorot matanya belum berpaling. Ia menilai dengan sesama penampilan pemuda itu sungguh tak biasa. Wajah tampan tanpa cacat, mata tajam yang menyimpan ketenangan luar biasa, dan tubuh tegap yang mengisyaratkan kekuatan terpendam. Namun yang membuat Bibi Mei menyipitkan mata adalah jubah dengan pola naga emas di ujung lengan serta ikat rambut logam berbentuk kepala naga yang menyatukan rambut hitam panjang pria itu.
Sekilas, keduanya terlihat seperti aksesoris biasa. Tapi pengalamannya yang telah melintasi puluhan lelang barang spiritual mengatakan sebaliknya itu bukan barang biasa.
Namun bukan hanya penampilan yang mencurigakan. Saat ia mencoba menyelami aura Feng Jian lebih dalam, Bibi Mei merasa seperti menabrak dinding besi yang tak terlihat. Ia tak bisa merasakan batas kultivasi pemuda itu, seolah-olah tubuh Feng Jian dipenuhi kabut spiritual yang tak dapat ditembus bahkan oleh seorang ahli Alam Pembangunan Fondasi sepertinya.
Tubuh Bibi Mei menegang sesaat. Sebutir keringat dingin meluncur di pelipisnya.
‘Tidak masuk akal... tak mungkin hanya Pembuka Qi biasa.' batinnya. ‘Tapi, aura itu... tak membahayakan, malah terasa tenang, seperti... naga tidur?’
Qin Aihan yang menyadari perubahan ekspresi Bibi Mei langsung mendekat. Ia tersenyum lembut dan memperkenalkan, “Bibi Mei, ini Feng Jian... orang yang aku ceritakan kemarin.”
Bibi Mei memaksakan senyum dan mengangguk pelan, menyembunyikan kegelisahan dalam dadanya. “Senang bertemu denganmu, Tuan Muda Feng.” katanya akhirnya. “Aihan jarang memperkenalkan seseorang kepada saya... dan lebih jarang lagi terlihat secerah ini.”
Feng Jian hanya membalas senyuman itu dengan tenang, seperti tahu bahwa ia sedang diam-diam dinilai dari segala sisi. Namun ia tak menunjukkan tekanan apa pun. Ia berdiri tenang, seolah angin dan badai dunia tak akan mampu menggoyahkannya.
Bibi Mei menarik napas pelan. Ia tidak akan bertanya lebih jauh hari ini. Namun satu hal sudah pasti dalam benaknya pemuda ini bukanlah orang biasa. Dan jika suatu hari dia berdiri di puncak dunia ini, ia tak akan terkejut.
Cahaya matahari pagi menyapu pelataran depan penginapan keluarga Qin, menyorot lembut ke permukaan dua kereta karavan yang telah siap berdiri tegak di sana. Roda-roda kayu yang diperkuat logam tampak baru saja dilumasi, berkilau samar dalam cahaya mentari. Para penjaga berpakaian seragam abu gelap berdiri tegap di sisi masing-masing karavan, ekspresi mereka serius dan penuh waspada. Angin pagi membawa aroma dedaunan basah dan embun yang perlahan menguap.
Bibi Mei, dengan rambutnya yang disanggul rapi dan jubah cokelat tanah yang membungkus tubuhnya, tampak sedang berbicara pelan dengan dua orang penjaga di dekat karavan kedua. Di tangannya, sebuah kotak kayu hitam dihias ukiran awan keemasan tampak dijaga erat. Di dalam kotak itu, tersimpan cincin penyimpanan tempat hasil dari penjualan Pill keluarga Qin yang telah melalui pelelangan tiga hari terakhir.
Sementara itu, Qin Aihan yang telah mengenakan jubah putih gading berbordir merah muda halus, menggandeng Feng Jian menuju karavan utama. Tatapan gadis itu terlihat cerah, dan senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Di sampingnya, Feng Jian tampak gagah dalam balutan jubah naga emasnya, tenang dan tak terusik oleh hiruk pikuk persiapan.
Kain tirai karavan utama disingkap pelan oleh pelayan perempuan, dan mereka berdua pun naik ke dalam. Interior karavan terbuat dari kayu aromatik berlapis pelapis peredam suara nyaman, hangat, dan cukup luas untuk dua orang duduk berdampingan tanpa merasa sesak. Qin Aihan duduk lebih dulu, lalu Feng Jian duduk di sampingnya. Ia menoleh sedikit, dan melihat betapa bahagianya ekspresi gadis di sampingnya.
Di luar, suara terompet peluit khas karavan terdengar.
“Semua siap." ucap salah satu penjaga.
Bibi Mei menaiki karavan kedua tanpa berkata banyak. Wajahnya tetap tenang, namun mata tajamnya tak pernah berhenti mengawasi sekeliling. Tugasnya belum selesai. Tidak sampai mereka semua tiba kembali di markas besar keluarga Qin dengan selamat.
Dua penjaga berpakaian tempur lengkap menunggangi kuda di depan dan belakang karavan utama, siap siaga dengan senjata mereka tergantung di pinggang dan bahu. Roda-roda pun mulai bergerak, menggerus jalanan berbatu di bawahnya dengan irama teratur.
Debu tipis mengepul di belakang mereka saat rombongan mulai meninggalkan jalan utama kota Nine Treasures Paviliun.
Sepuluh menit berlalu. Di depan, gerbang besar kota menjulang, dijaga oleh barisan penjaga kota dengan baju besi berwarna perak kebiruan.