Masa remaja, masa yang penuh akan rasa penasaran, rasa ingin mencoba dan juga rasa yang sulit dimengerti bernama Cinta.
Ini adalah kisah Cinta enam orang remaja SMA, dengan segala problematika mereka yang beragam rasanya.
Pahit, asam dan manis seperti rasa Jeruk, Blueberry dan juga Cherry.
Yuk ikuti keseruan cerita mereka di sini. 🐢
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Writle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia.
...🍒🍒🍒...
Setelah kepergian Irsyam dari rumah kaca Ara cuma bisa mematung di tempatnya bingung harus berbuat apa.
“Kamu pacar anak saya?” Tanya pria berkacamata yang masih mengenakan setelan kantor itu kepadanya.
“Bu-bukan, saya teman sekelasnya.” Kata Ara sambil menunduk tidak berani menatap mata Papa temannya.
“Jangan takut, saya nggak gigit.” Kata pria itu tertawa.
Ara mendongkak menatap lawan bicaranya, netranya menatap fitur wajah yang hampir sama seperti yang dimiliki teman sekelasnya, hanya bedanya tak lagi muda ditambah senyum hangat kebapakan yang khas dimiliki orang tua mirip seperti Ayahnya Ara, sampai sesuatu tiba-tiba terlintas di benak Ara, pertanyaan tentang sebenarnya selama ini tingkah sang Ayah yang seolah menyayangi Ara itu benar adanya atau cuma acting belaka.
“Duduk dulu.” Ajak Andhanu Rifqi pada siswi teman sang Anak
Ara tersadar dari pikirannya yang sempat melanglang buana, ia membalas senyum itu kemudian kembali duduk di sofa yang ia tempati sebelumnya.
“Tuan, ini kopinya.” Tiba-tiba asisten rumah tangga di sana masuk dan menaruh segelas kopi di meja.
“Terimakasih Sumi.” Kata Pria itu sambil tersenyum ramah
Ara tidak bisa melihat intensi jahat dari gerak gerik pria berumur sekitar 50 tahunan di hadapannya, yang ia rasakan justru kehangatan dan kebaikan di setiap senyumnya. Namun ‘Mengapa Irsyam terlihat seperti tidak suka pada Papanya?’ Itulah yang ada di benak Ara
“Anak itu tidak pernah membawa teman ke rumah selain nak Fachri.” Kata tuan Andhanu tiba-tiba
“Saya pikir dia juga tidak punya empati yang cukup tinggi untuk membiarkan temannya bermalam di sini.” Kata pria itu lagi.
“Ah, terkait hal itu saya minta maaf karena telah merepotkan putra Anda dan lancang menginap di rumah Anda.” Kata Ara takut-takut
Meski suara yang dikeluarkan lawan bicaranya teramat lembut dan tidak membentak sama sekali, tetapi tatapan matanya seolah mengintimidasi, benar-benar orang-orang dengan nama Andhanu yang dikenal Ara, auranya tak terbantahkan semua.
“Haha jangan takut santai saja, justru saya mau melihat, orang seperti apa yang bisa membuat anak saya melakukan hal yang tidak seperti biasanya.”
Ara hanya diam tidak tahu mau menanggapi seperti apa ucapan Pria di hadapannya.
“Dia sudah tidak terlihat seperti manusia setelah kepergian Ibunya, jadi saya senang kalau dia mulai mau membuka diri kepada orang lain selain nak Fachri.” Senyum tulus mengakhiri kalimat tersebut. Lalu si empunya suara mulai mengangkat cangkir kopi dan menyesapnya pelan.
“Kopi, Kopi apa yang bisa berjalan?” Tanyanya lagi tiba-tiba
Ara yang bingung dengan pertanyaan tiba-tiba yang diajukan kepadanya hanya memandang penuh tanya
“Kopiting,.. Hahaha.” Kata Pria itu
“Ah? ha ha ha.” Balas Ara tertawa canggung pada akhirnya, karena kasihan juga kalau candaan khas bapak-bapaknya dibiarkan begitu saja.
“Saya cuma mau mencairkan suasana, kamu terlihat takut pada saya.” Kata Papa Irsyam kemudian
“Ah maaf pak kalau reaksi saya tidak sopan.”
“Tuh kan kamu itu meminta maaf terus, saya bukan seorang mafia yang bisa menghukum orang begitu saja cuma karena kesalahan sepele yang dilakukan pada saya, seperti di cerita-cerita novel yang kamu baca.” Katanya dengan ekspresi wajah yang dibuat murung.
‘Tuan Andhanu Rifki tahu dari mana kalau aku suka membaca novel? Apa dia benar-benar mafia yang punya kuasa untuk memata-matai kehidupan orang-orang yang terlibat dengan anaknya?’ Tanya sudut hati Ara, sampai tanpa sadar ia memandangi Papa temannya.
“Bukan, saya bukan mafia, saya pengusaha real estate biasa, saya tahu kamu suka membaca novel karena itulah yang biasanya dilakukan remaja seusia kamu.” Elak pria itu seolah bisa membaca pikiran Ara.
Ara yang merasa malu dengan pikirannya sendiri menunduk dalam-dalam
“Haha, menarik, kamu ini sangat mudah ditebak ya.”
Entahlah, entah intuisi Papa Irsyam yang tajam atau memang ekspresi Ara yang mudah ditebak, Ara tidak tahu hal mana yang benar, maka ia diam saja.
“Oh iya namamu siapa?” Tanya pria itu lagi.
“Shahara Konayuki.” Jawab Ara kembali mengangkat kepalanya
“Oh? Kamu bukan berasal dari Indonesia?”
“Saya lahir di Indonesia hanya saja Ayah saya berasal dari jepang.”
Pria itu tampak mengangguk-anggukan kepala sambil kembali menyesap cangkir kopi yang sudah mulai dingin di meja.
“Nama yang cantik, dimiliki oleh gadis yang cantik, pantas saja Irsyam suka.”
‘Blush’
Wajah Ara sontak memerah mendengar pujian tersebut
“Terimakasih, tapi saya bukan orang yang Syamsyi suka, saya hanya teman sekelasnya.”
“Oh begitu?”
“Iya.”
“Sepertinya Anak itu belum bisa melupakan cinta pertamanya.”
Pria itu tampak menghela napas sejenak lalu matanya seolah mengingat-ingat sesuatu, kerut halus terukir di keningnya sebelum ia bercerita
“Irsyam itu anak yang cerewet dan penuh rasa ingin tahu, dulu saat berumur 12 tahun dia sempat berkali-kali meminta cium pada saya, ibunya dan seluruh orang rumah yang ada, bahkan nak Fachri juga, tapi dia merengek setelahnya, karena katanya rasanya berbeda, tidak ada yang sama seperti bibir gadis yang diciumnya, haha konyol sekali ya?” Katanya tertawa.
Ara merasa dejavu setelah mendengar cerita masa kecil milik temannya itu, namun belum sempat Ara berpikir lebih jauh, lawan bicaranya kembali membuka suara
“Tapi kini dia tidak sedekat itu untuk menceritakan hal-hal pribadinya kepada saya, dan saya sudah tidak bisa memeluk atau menciumnya, dan sepertinya dia membenci saya, melihat saya saja dia tidak suka” Tambah Pria paruh baya itu lagi dengan senyum yang terlihat sendu.
Ara sedikit terharu mendengar penuturan pria itu, tapi ia tidak bisa membela salah satu Andhanu, karena ia tidak tahu cerita yang dialami keluarga itu.
“Maka saya senang kalau dia mulai ceria kembali, saya langsung pulang setelah mendengar dari Sumi tentang anak sudah banyak tersenyum, dia membawa teman-temannya ke rumah, bahkan rela terjaga semalaman menemani seorang teman.”
‘Syamsyi menunggui aku semalaman?’ Batin Ara.
“Terimakasih.”
“Ah tidak perlu, seharusnya saya yang berterimakasih.” Kata Ara
Pria itu tersenyum mendengar jawaban Ara.
...🍒🍒🍒...
*Triririring
Suara notifikasi ponsel Ara menyela pembicaraan mereka berdua
“Ponselmu berbunyi, tidak apa-apa lihat saja.”
Setelah merasa mendapat izin, Ara pun melihat dering dari siapa yang masuk ke ponselnya dan nama Irsyamlah yang terpampang di sana.
“Terimakasih Pak, saya permisi.” Kata Ara sebelum mengangkat panggilan telepon hendak menjauh dari sana
“Angkat di sini saja.”
Ara tidak punya pilihan lain selain patuh dan kembali duduk di tempatnya.
[“Halo”] Kata Ara pelan
[“Inget, jangan dulu pulang, sebelum gue pulang”] Jawab suara di seberang sana tanpa salam pembuka
[“Iya aku belum pulang”] Balas Ara
[“Pak tua itu masih di situ?”]
[“Kalau yang kamu maksud itu Papamu, iya dia masih di sini.”] Ara berbicara sepelan mungkin namun ruangan itu begitu hening jadi tidak mungkin tuan Andhanu tidak mendengar ucapan Ara. Meskipun ekspresi tuan Andhanu seperti tenang-tenang saja, namun Ara yakin dia tahu kalau dirinya sedang dibicarakan.
[“Bukan Papa gue orang anaknya dia itu Luan bukan gue.”] Makin aneh saja ucapan si penelepon, Ara jadi semakin bingung dengan silsilah yang dimiliki keluarga satu ini. Karena tidak sanggup berkata-kata Ara bergumam saja
["Hmm"]
[“Diem di kamar, nggak usah ngomong apa-apa sama dia.”] Lanjut suara di teleponnya
[“Telat, aku udah ngobrol sama Papamu.”] Ara mencuri pandang pada tuan Andhanu, dan melihat senyum di wajah pria itu.
[“Ngobrolin apa aja?”]
[“Itu,..] Ara menggantungkan kalimatnya dan menatap pada orang di depannya yang tengah meletakan satu jari di depan mulutnya sendiri, membuat gestur yang seolah menyuruh Ara untuk tidak berbicara apa-apa
["Rahasia.”] Jawab Ara akhirnya.
“Uhuk-uhhhukk”
Ara refleks mematikan teleponnya lalu berjalan mendekat dan berniat mengusap-usap punggung Papa temannya yang tengah terbatuk itu, tapi tuan Andhanu membuat gestur agar Ara menjauh dan tidak mendekat kepadanya, Ara menurut saja namun ia tak sengaja melihat sapu tangan yang dipakai tuan Andhanu untuk menghalangi batuknya dan terdapat bercak darah di sana, kepalanya penuh dengan tanya namun ia enggan menyampaikannya.
Setelah batuknya mereda Ara menawarkan untuk mengambilkan minum pada Pria itu namun ia mendapat penolakan halus.
“Terimakasih sudah merahasiakan percakapan kita, dan tolong jangan bilang pada Irsyam tentang apapun yang kamu lihat barusan ya.”
“Saya mengerti Pak.”
Pria itu berdiri, tersenyum pada Ara
“Anggap saja rumah sendiri, setelah ini saya masih ada urusan di tempat lain lagi.”
Lalu kepala keluarga Andhanu itu pergi, Ara khawatir jadi ia mengikuti, takut-takut si tuan rumah terbatuk lagi atau bahkan mungkin tidak sadarkan diri. Ia mengikuti sampai ke pintu depan ternyata pria itu benar-benar tidak berbohong saat mengatakan punya urusan. Lagi-lagi Ara ditinggal sendirian.
...♡🍊🫐🍒♡...