"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."
Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.
Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.
Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.
Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch : Delapan Belas
Langkah kaki Raya terdengar ringan saat memasuki apartemen. Jemarinya sibuk membuka kancing blazer, tubuhnya sedikit menggigil karena sisa angin malam. Aroma kopi dari dapur membuatnya mengernyit—tanda Arka sudah pulang lebih dulu.
Namun yang menyambutnya bukan pelukan hangat atau senyum lelah dari pria itu.
Melainkan keheningan yang mencolok. Arka duduk di sofa, tubuhnya tegap, tangan bersedekap di dada, tatapannya tajam menusuk begitu pandangannya bertemu dengan Raya.
Raya menghela napas, merasakan hawa berbeda menyelimuti ruangan.
“Arka?” sapanya pelan, berusaha menjaga nada suara tetap netral.
Arka tidak menjawab. Hanya memandangi Raya seolah sedang menilai, seolah sedang menyusun ulang batas kepercayaan di antara mereka.
“Kenapa tidak beritahu aku jika kau masuk ke dalam tim Keenan,” katanya akhirnya, datar.
Raya membeku. Ia mengangguk pelan. “Proyek yang sedang dikerjakan butuh tambahan tenaga. Keenan menawari langsung, dan aku pikir—”
“Tanpa memberitahuku lebih dulu?”
“Aku tidak tahu kalau itu penting bagimu.”
Arka berdiri. Tatapannya semakin keras. “Tentu penting, Raya. Karena aku tidak suka melihatmu terlalu dekat dengannya.”
“Arka,” ucap Raya, kini suaranya terdengar lebih tajam. “Apa kau tidak merasa itu terlalu berlebihan?”
Arka menatapnya lurus. “Tidak. Sama sekali tidak!”
“Aku bekerja, Arka. Di kantor, tentu saja aku harus berinteraksi dengan banyak orang—termasuk Keenan.”
“Kalau begitu,” potong Arka, suaranya meninggi, “kau di rumah saja. Tidak perlu bekerja!”
Raya terpaku. Ia tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena terkejut mendengar usulan yang begitu absurd keluar dari mulut Arka.
“Jangan bercanda.”
“Aku tidak bercanda.” Arka melangkah mendekat. “Aku bisa membiayai hidupmu, Raya. Lebih dari cukup. Kau tidak perlu bekerja. Cukup berada di rumah dan menyambutku pulang.”
“Kau serius?” bisik Raya, matanya mulai memerah. “Aku ini apa, Arka? Boneka? Pajangan? Istri rahasia yang dikurung agar tidak tersentuh dunia?”
“Tidak. Kau adalah milikku,” desis Arka. “Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambilmu dariku.”
Raya menatap Arka lekat, tapi tidak menemukan sosok pria yang lembut dan penuh perhatian beberapa hari yang lalu seperti yang ia tunjukkan. Yang ada hanyalah lelaki yang mulai tenggelam dalam rasa takut kehilangan dan menjelma menjadi seseorang yang ia khawatirkan—terlalu mengekang.
“Kau takut kehilangan, tapi ini bukan caranya, Arka. Kalau kau mencintaiku, kau harus percaya.”
“Kepercayaan mudah diucapkan, tapi tidak semudah itu dijaga.”
“Kalau begitu,” Raya mundur satu langkah, suaranya bergetar, “aku akan tetap bekerja. Bukan karena aku ingin menentangmu, tapi karena aku ingin tetap menjadi diriku sendiri.”
Arka tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan keheningan menelan amarah dan luka yang tak terucap.
Raya berjalan menuju kamar, langkahnya cepat dan penuh amarah yang ditekan. Tapi di balik ketegasan ucapannya tadi, dadanya terasa sesak. Ia menutup pintu kamar pelan—bukan membanting, tapi cukup untuk menandakan bahwa ia ingin sendiri.
**
Pagi menyelinap pelan ke dalam apartemen, menghadirkan semburat jingga yang memantul di dinding krem. Aroma butter dan telur yang baru dimasak memenuhi udara, bersatu dengan wangi kopi hitam yang mengepul di meja makan. Raya berdiri di dapur dengan apron yang masih tergantung di pinggangnya, memandangi hasil masakan yang ia tata rapi: roti panggang dengan potongan alpukat, telur rebus setengah matang, dan sepiring kecil buah-buahan segar.
Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir keraguan yang masih tertinggal di dadanya sejak semalam. Lelah karena bertengkar. Lelah karena mencintai seseorang yang kadang begitu rumit.
Langkahnya ringan saat ia berjalan menuju kamar Arka. Ia berhenti di depan pintu yang tertutup rapat.
Tok. Tok.
“Arka?” panggilnya pelan, lalu menunggu. Tak ada jawaban.
“Arka, aku masuk, ya,” lanjutnya sambil memutar kenop pintu dan mendorongnya perlahan. Tak terkunci.
Kamar itu temaram. Tirai belum terbuka dan suasana masih remang. Di atas ranjang, Arka tertidur menyamping, wajahnya tertimbun di bantal seperti anak kecil yang keras kepala.
Raya tersenyum kecil melihat pemandangan itu. Ia melangkah mendekat, duduk di pinggir ranjang, lalu menunduk untuk menggoyang pelan bahu pria itu.
“Arka... bangun. Ini sudah pagi,” bisiknya lembut.
Tapi yang terjadi justru mengejutkannya.
Tanpa aba-aba, Arka bergerak cepat, menarik tubuhnya hingga terbaring di sampingnya. Lengan pria itu melingkar erat di pinggangnya, membuat Raya tak bisa ke mana-mana. Arka masih memejamkan mata, napasnya hangat menyentuh kulit wajah Raya, tapi pelukannya jelas penuh makna.
Raya menatapnya. Lama. Ada sesak yang tiba-tiba memenuhi dadanya.
Tanpa sadar, ia membelai rambut pria itu dengan jemarinya, lalu menunduk dan mengecup bibir Arka singkat—hanya sentuhan ringan, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar lebih kencang.
“Raya…” suara Arka akhirnya terdengar. Serak. Dalam. Masih setengah malas bangun. “Aku masih marah.”
“Aku tahu,” jawab Raya, matanya tetap terpaku pada wajah lelaki itu. “Dan aku akan membuatmu lebih marah lagi.”
Tanpa ragu, ia kembali menempelkan bibirnya pada Arka. Sekali. Dua kali. Lalu terus-menerus—seperti hujan gerimis yang jatuh tanpa aba-aba. Lembut, penuh permintaan maaf yang tak diucapkan. Dan perlahan, Arka membuka mata.
Tatapan mereka bertemu.
Di sana, kemarahan itu masih ada. Tapi mulai mencair, mulai runtuh oleh kelembutan yang tak bisa dibantah.
Saat Raya kembali mengecup bibirnya, Arka tiba-tiba menggigit bibir bawah gadis itu—tidak keras, tapi cukup untuk membuatnya meringis.
“Sakit…” desis Raya, memegangi bibirnya.
“Bagus,” sahut Arka pelan, dengan senyum tipis yang akhirnya terbit juga di wajahnya. “Biar kau tahu rasanya main-main dengan pria yang sedang marah.”
Raya mendengus geli, menampar pelan dada Arka. “Kau menyebalkan.”
“Tapi kau tetap datang padaku, pagi-pagi, sambil bawa cinta di balik sarapan,” gumam Arka, menunduk dan menempelkan dahinya ke dahi Raya.
Keduanya diam. Hening sesaat.
Pelukan itu berubah menjadi dekapan yang menenangkan.
“Arka,” bisik Raya, “aku boleh tetap bekerja?"
Arka tidak langsung menjawab. Ia hanya memeluk Raya lebih erat lagi.
“Dengan satu syarat.”
Suara Arka terdengar tenang namun tegas, membuat Raya menghentikan gerakan tangannya yang hampir bangkit dari pelukannya.
“Akan aku turuti, apa pun syaratnya,” jawab Raya cepat, nyaris tanpa berpikir panjang. Ia terlalu ingin memperbaiki segalanya. Terlalu takut kehilangan pria itu.
Arka menatap wajahnya, mata tajam itu menyiratkan ketegasan yang tidak bisa ditawar.
“Keluar dari tim Keenan. Dan jika dia mencoba mendekatimu… hindari.”
Raya memanyunkan bibirnya. Wajahnya memelas, seperti anak kecil yang baru saja dilarang bermain.
“Itu berat, Arka… Kami sedang mengerjakan proyek penting.”
“Kalau begitu,” Arka menyelipkan jemarinya ke helaian rambut Raya, nada suaranya dingin namun mantap, “aku akan keluarkan surat perintah. Kau batal magang di Xander Corp.”
Raya memekik pelan, setengah kaget, setengah sebal.
“Kau kejam sekali…”
“Keputusan tetap ada padamu,” sahut Arka ringan, seolah menyuruhnya memilih antara api atau jurang.
Raya menghela napas panjang.
“Baiklah,” ujarnya akhirnya, dengan pasrah. “Aku terima syaratmu. Tapi sekarang, bisakah kita turun? Aku sudah siapkan sarapan spesial untukmu.”
Ia berniat bangkit dari ranjang, namun belum sempat kakinya menyentuh lantai, Arka lebih dulu menariknya kembali. Sekali gerakan, tubuh Raya sudah terperangkap di bawah tubuh pria itu.
“Setelah ini.”
Bisik Arka di telinganya, suara rendahnya menggetarkan seluruh keberanian yang tadi sempat Raya kumpulkan.
Sebelum sempat membalas, lumatan hangat mendarat di bibirnya. Agresif. Dalam. Seakan menjadi peringatan sekaligus pernyataan hak milik.
Raya terkesiap. Tubuhnya menegang sesaat sebelum akhirnya pasrah dengan ritme yang diciptakan Arka. Ciuman itu meluruh ke rahangnya, turun ke leher hingga meninggalkan bekas merah yang mulai terlihat di kulit putihnya.
“Arka…” desahnya, tertahan di antara ciuman dan napas yang terengah.
“Aku ingin menandaimu,” ucap Arka lirih, suaranya nyaris seperti geraman. “Agar siapa pun tahu, kau milikku.”
Raya tak bisa berkata apa-apa. Yang bisa ia lakukan hanyalah membalas pelukan dan kecupan pria itu.
Lupa pada waktu. Lupa pada sarapan yang menunggu di dapur.
Saat akhirnya keduanya saling menatap dalam diam, ada tawa kecil yang lolos dari bibir Raya. “Kau tahu, tidak semua orang di kantor butuh bukti visual untuk tahu kalau aku milikmu…”
“Kalau begitu,” Arka mencium ujung hidungnya, “aku akan pastikan mereka tidak pernah punya alasan untuk meragukannya.”
Arka menatap Raya dengan pandangan yang dalam, seolah sedang menghafal setiap inci dari wajahnya. Tangannya menyusuri lekuk tubuh gadis itu dengan kelembutan yang membuat Raya terdiam dalam gugup dan antisipasi.
Tanpa terburu-buru, ia menanggalkan pakaian Raya, lalu membungkuk, menebar ciuman hangat di sepanjang bahu dan leher yang mulai memerah karena sentuhannya. Raya memejamkan mata, merasakan sensasi yang menyelinap lembut ke dalam kulit dan darahnya.
Tubuh mereka semakin menyatu dalam irama yang hanya mereka berdua pahami—perlahan, penuh penghayatan. Napas mereka saling bertautan, dan ketika desahan pelan lolos dari bibir Raya, Arka mempererat pelukannya, membiarkan waktu berhenti sejenak di antara mereka.
To Be Continued >>>
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........