Laluna: 'Aku mengira jika suamiku benar-benar mencintaiku, tetapi aku salah besar. Yang mengira jika aku adalah wanita satu-satunya yang bertahta di hatinya'.
Jika itu orang lain, mungkin akan memilih menyerah. Namun, berbeda dengan Luna. Dengan polosnya Dia tetap mempertahankan pernikahan palsu itu, dan hidup bertiga dengan mantan muridnya. Berharap semua baik-baik saja, tetapi hatinya tak sekuat baja.
Bak batu diterjang air laut, kuat dan kokoh. Pada akhirnya ia terseret juga dan terbawa oleh ombak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon retnosari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luna sadar
Tanpa Aroon sadari, jika Luna tengah menahan agar tidak menangis. Namun, ia tak bisa melakukannya hingga akhirnya luruh juga.
“Aroon.” Suara itu, suara di mana Aroon langsung menoleh setelah beberapa saat menyembunyikan wajahnya.
“Lun, kamu sadar? Luna, aku tidak salah lihat, “ Kan?”
Luna menggeleng, itu artinya apa yang dilihatnya nyata.
“Aku akan memanggil dokter dan memintanya untuk memeriksamu,” ucap Aroon dengan perasaan tak karuan.
Namun, sebelum langkahnya meninggalkan ruangan. Luna menahan lengan Aroon.
“Bisakah aku memelukmu?”
Bingung, ada yang tak bisa dijelaskan oleh Aroon. Meski ia sendiri ingin memeluk Luna, tetapi kenyataannya wanita itu masihlah istri orang.
“Lun aku—,”
Tidak peduli seberapa Aroon menolak permintaan wanita itu. Luna—dengan suara gemetar, getir kepiluan sedikit terobati.
Beberapa saat.
“Maaf, aku terlalu terbawa oleh suasana.” Kata Luna seraya mengusap air matanya.
“Tidak apa-apa, tapi dokter juga perlu mengetahui kondisimu. Biarkan aku memanggil agar tubuhmu bisa segera diperiksa,” ucap Aroon, tersenyum dan mengusap rambut Luna dengan penuh kelembutan.
“Uhm.”
Pelukan itu pun akhirnya dilepaskan. Aroon dengan segera keluar membawa kabar bahagia ini.
“Aroon, apa benar kamu menyukaiku? Apa yang kamu lihat dari wanita bodoh sepertiku.” Seraya membatin, pandangan Luna fokus pada bunga itu.
Apa yang dia ingin bertentangan dengan hasilnya. Kecewa, tetapi pada akhirnya ada seseorang yang secara perlahan mengobati lukanya itu.
Lima menit telah berlalu, dokter datang bersama dengan perawat. Meminta semua orang yang ada di tempat, untuk sementara memintanya keluar.
Aruna dan Aroon, dengan sopan pergi dari ruangan tersebut. Membiarkan dokter memeriksa keadaan Luna. Bersyukur karena ternyata Tuhan begitu begitu menyayangi Luna, memberinya pilihan untuk memilih kembali ke mana ia harus pulang.
Di luar.
“Paman, Aruna sudah bangun. Sedangkan aku benar-benar memintanya agar tidak terlihat lagi,” ucap Aruna tiba-tiba.
“Biarkan Luna memilih kembali jalannya, kita tidak dapat memaksanya. Meski lelaki itu dengan terang-terangan berselingkuh, tetapi ia juga peduli dengan Luna.”
“Aku hanya ingin dia bahagia, tanpa harus merasakan beribu-ribu tusukan, meski itu sebuah jarum.”
“Paman!” panggil Aruna karena lelaki itu hanya terdiam, entah apa yang sedang ia pikirkan.
“Paman!” ulang Aruna.
“Ah, iya, ada apa?”
Wajah bingung yang diperlihatkan, membuat Aruna menyadari jika ada yang salah dari pamannya—Aroon.
“Apa ada masalah?”
“Tidak.”
Seulas senyum terangkat dari sudut bibir Aroon. Ingatannya beralih beberapa menit lalu, di mana Laluna secara tiba-tiba memeluknya.
“Apa hanya perasaanku saja dan Luna sudah lebih dulu bangun sebelum aku datang?” Dalam hati Aroon terus bertanya-tanya. Meski begitu ia cukup senang karena itu adalah momen langka yang tak akan dilupakannya.
Terdengar derit pintu, itu artinya dokter sudah selesai memeriksa keadaan Laluna. “Dok, bagaimana kondisi Luna?” tanya Aroon.
Dokter itu pun tersenyum. “Kondisi pasien cukup bagus, hanya saja perlu istirahat. Untuk sementara jangan memperbolehkannya terlalu banyak bergerak, agar kaki serta tangannya bisa segera pulih.” Jawab dokter setelahnya.
“Baik Dok,”
“Kalau begitu kalian boleh masuk.”
Setelah mendengar ucapan dokter. Aruna dan Aroon masuk.
“Lun, akhirnya kamu bangun juga. Aku sudah setengah mati merindukanmu,” ujar Aruna seraya memeluk tubuh Luna dengan hati-hati.
“Ingat, aku tak akan mati begitu saja.” Jawab Luna dengan sedikit nada sombong.
“Cih, sombong sekali. Setidaknya aku tidak jadi kehilanganmu,” ucap Aruna dengan perasaan penuh haru.
Namun, yang tidak disadari oleh Aruna jika Luna melemparkan tatapan kepada Aroon. Sehingga mata keduanya saling bertemu, kini. Perasaan aneh tengah menjalar di tubuh Aroon hingga lelaki tersebut dibuat gugup.
“Run, bisakah aku makan rawon? Aku lapar.”
Mendengar Luna kelaparan, Aruna pun langsung membenarkan posisinya. “Lun, aku akan membawakanmu. Kalau begitu aku pergi,”
“Run, biarkan aku yang pergi. Kamu tetaplah di sini untuk menemani Luna,” pinta Aroon, karena tidak mungkin membiarkan Aruna pergi begitu saja.
“Paman, tapi kamu tidak tahu tempatnya.”
Aroon pun terdiam.
“Benar, bahkan aku tidak tahu tempatnya ada di mana.” Dalam hati Aroon pun bergumam.
“Run, kirim saja alamatnya padaku. Biarkan aku yang pergi,” ujar Aroon.
“Tidak, Paman tak akan tahu selera Luna. Jadi, Paman temani Luna.”