Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.
Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISOE 18
Jeane memandang pria Amerika itu meninggalkan dirinya menuju api unggun. Dia sadar bahwa tidak ada yang menghalangi gerombolan itu memperkosa dirinya sekaligus tetap menuntut uang tebusan dari ayahnya. Dari yang telah diperagakan oleh Antonio, jelas sekali bahwa pria Amerika itu tidak akan melawan teman temannya hanya demi melindungi dirinya. Gerombolan perampok itu tidak bisa diharapkan untuk segan terhadap dirinya. Dengan keadaan dirinya yang nyeri di sana sini, Jeane tidak berdaya untuk menolong dirinya sendiri.
Makanan dibagikan dari panci besar yang digantung di atas perapian. Jeane merasakan kelaparan yang menggigit gigit perutnya karena sudah hampir dua puluh empat jam perutnya belum terisi apapun.
Kok lama ya? Ya, impian impian buruk selalu terasa berlangsung lama sekali, padahal impian buruknya baru saja dimulai, pikir Jeane.
Beberapa meter jauhnya dari dirinya, Jeane melihat Antonio duduk bersila di atas tanah, sedang menikmati makanan dari piringnya. Sebuah mug berisi kopi panas berada di atas lututnya. Jeane memandang pria itu dengan rasa lapar yang bergolak dari perutnya.
Sesosok tubuh jangkung berjalan ke arah Jeane dan ia segera mengenali orang itu yang tidak lain adalah pemimpin rombongan itu. Setelah dekat barulah Jeane melihat sepiring makanan dan secangkir kopi pada masing masing tangannya.
Dengan membungkuk, pria itu meletakkan piring berisi makanan di atas tanah di samping Jeane, kemudian berdiri tegak lagi. Rasa lapar yang amat sangat itu seakan akan membutakan Jeane terhadap pemandangan bubur buncis, sekerat daging dan sepotong roti keras itu. Tanpa berbicara ia menyodorkan ke dua tangannya yang terikat menjadi satu agar dilepaskan oleh pria itu. Tetapi pria itu cuma memandang dirinya dari atas, air mukanya tersembunyi dalam bayang bayang malam.
"Lepaskan ikatan ini," pinta Jeane.
Tetapi pria itu tidak bergerak. Dengan kesal Jeane menoleh kepada Antonio, "Tolong kau terjemahkan kepada pemimpinmu yang buta huruf ini bahwa aku tidak bisa makan dengan ke dua tanganku terikat."
Dengan penuh keraguan, Antonio mengangkat mukanya, memandang pada pria jangkung yang berdiri di samping Jeane. Sejenak terjadilah percakapan antara keduanya dalam bahasa Spanyol dan Jeane satu kali pun tidak pernah mendengar kata 'no' atau 'si' diucapkan oleh pemimpin rombongan itu. Sebelum Jeane dapat menyimpulkan bagaimana jawaban pria itu terhadap Antonio, dia sudah melangkah pergi.
Dengan penuh frustrasi, pandangan mata Jeane berpaling kepada Antonio. Pria itu bangkit berdiri dengan membawa piring dan mug dalam tangannya serta mulai berjalan ke arah Jeane. Setelah tiba dan duduk di samping Jeane, Antonio meletakkan piring dan mug nya di atas tanah lalu mulai melonggarkan dan melepaskan tali pengikat dari ke dua pergelangan tangan Jeane.
"Terima kasih," kata Jeane sambil menggerakkan jari jari dan pergelangan tangannya.
"Aku cuma menjalankan perintah," kata Antonio acuh tak acuh, mengangkat bahu dan memungut kembali piring dan mug nya.
Dengan tangan gemetar, Jeane mengikuti contoh Antonio. Selama beberapa menit kemudian, Jeane hanya fokus untuk mengisi perutnya yang kosong. Tidak ada secuil makanan pun tersisa di piringnya ketika Jeane menyelesaikan makanan itu dengan secangkir kopi. Jeane memegang cangkir metal itu dengan ke dua tangannya, menyesap isinya sambil memandang kepada api unggun yang perlahan lahan mengecil.
Antonio ternyata melakukan hal yang sama. Dalam penerangan api unggun yang mulai redup, wajah pria itu tampak lebih muda, sentuhan kesepian tampak dalam sorotan sepasang mata biru itu. Rasa ingin tahu Jeane bangkit kembali.
"Sebenarnya tempatmu bukan di sini, bukan bersama gerombolan itu," kata Jeane.
Sekilas pandangan Antonio pada Jeane tampak sinis dan mengejek. "Oh ya?"
"Kau berbeda dengan mereka."
"Mengapa?" Mulut pria itu mengerucut. "Karena aku dapat berbahasa Inggris?"
"Tidak. Bukan karena itu," dengan memiringkan kepala, Jeane memperhatikan pria itu. "Mengapa kau bisa bersama mereka? Aku tidak percaya bahwa semua ini adalah pilihanmu sendiri."
"Soalnya, kau tidak pernah mau percaya," pria itu membetulkan.
"Jadi kau bersama mereka atas kemauanmu sendiri?" Jeane bertekad untuk memperoleh jawaban yang tegas.
"Ya," tidak ada nada penyesalan sedikitpun dalam suara pria itu. "Mereka semua adalah teman temanku."
"Sekalipun mereka membunuh seseorang dan membuat dirimu ikut betanggung jawab?" Jeane tidak bisa menerima bahwa Antonio bersungguh sungguh dengan kalimat yang diucapkannya.
"Maksudmu, terbunuhnya suamimu? Ia terbunuh karena kebodohannya sendiri. Kalau saja ia tidak mencoba untuk mencabut revolvernya, ia tidak akan diganggu dan hanya akan kehilangan uangnya...... hanya itu". Sepasang mata biru itu berspekulasi. "Aku lihat bahwa kau tidaklah terlalu bersedih atas kematian suamimu.
Jeane tidak menghiraukan komentar terakhir itu. "Karena ia mempertahankan miliknya, berarti ia memprovokasikan kematiannya sendiri? Begitu, eh?" kata Jeane dengan nada menantang. Pandangan matanya dengan garang melesat pada pemimpin rombongan yang berdiri tidak terlalu jauh darinya. "Atau kau hanya menyuarakan kata katanya?" Bossmu, yang berbaik hati menyelamatkanku agar dapat menyerahkan diriku kepada babi keparat yang telah membunuh suamiku itu?" Jeane memajukan dagunya ke arah pria yang menjadi pemimpin rombongan itu.
Jeane tidak berusaha memelankan suaranya atau mencoba menyelimuti cemoohnya yang penuh penghinaan. Antonio menyesap kopinya dan tidak menjawab.
"Kenapa kau? Tidak bisa jawab? Kau takut sehingga kau tidak melawan sedikit pun ketika boss mu menyerahkan aku kepada bajingan yang menjadi temanmu itu? Aku tidak bisa menyalahkan dirimu, eh?" Jeane mengejek. "Yang kau lakuan cuma menjalankan perintah."
"Benar," jawab Antonio dengan tenang.
"Tidak perduli apakah kau menganggap itu benar atau salah," Jeane menambahkan dengan pedas. "Dia itu siapa? Penjelmaan iblis sendiri?"
"Di sini nama tidaklah penting," rupanya tidak mungkin Jeane memprovokasi Antonio agar menjadi marah. Pria Amerika itu tidak membela maupun menyalahkan boss nya. "Tadi sudah aku katakan, bukan? Sudahlah, lanjutkan meminum kopimu."
"Apa sih sebenarnya yang kau lakukan di sini, Antonio? Merendah dan memanggilnya boss?" Menghimbau Antonio rasanya juga percuma saja, tetapi itulah satu satunya harapan yang ada bagi Jeane. "Kau mesti menolongku. Kau orang Amerika, aku juga keturunan Perancis - Amerika. Kau tidak bisa membiarkan mereka melakukan apa saja terhadapku sebagaimana rencana mereka. Tolonglah aku." kata Jeane menahan isak. "Oh Tuhan! Apa kau tidak merasakan bahwa mereka sedang mengamati aku? Mengamati kita berdua?" Jeane menoleh ke arah gerombolan yang mengelilingi sisa sisa api unggun itu. Rupanya bukan hanya uang yang membuat mereka sebentar sebentar menoleh ke arah dirinya. "Kau tolonglah aku melarikan diri, tolong aku agar bisa lolos."
"Supaya kau bisa pergi kepada tentara dan polisi? Dan memberitahu mereka mengenai kejadian ini?" Antonio menertawakan permintaan Jeane. "Kau lupa bahwa aku juga bersama mereka. Tali gantungan tidak saja untuk mereka, tapi juga akan dipasangkan padaku."
"Aku bersumpah tidak akan mengatakan apapun kepada mereka. Tolonglah aku." Jeane memohon.
"Lupakan saja itu. Aku tidak akan melakukannya," kata Antonio sambil menghabiskan kopinya, seolah bersiap meninggalkan Jeane.
Air mata terasa panas di mata Jeane. Ia melebarkan matanya, hampir tidak berani bernapas karena takut napasnya akan berubah menjadi isakan.
"Tunggu!"