Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Kunci di Tangan Yanzhi
Beberapa instruktur mendengus, suasana jadi lebih berat. Tetua Fan mengangkat tangannya, memotong.
"Cukup. Jade Asap Hitam boleh kalian bawa pulang. Tapi sisa retakan segel, urusan siapa? Kalau penjara tua di bawah lembah bangkit lagi, apa kalian siap membayarnya?"
Hening.
Yanzhi menunduk, menahan bisikan Roh di kepalanya yang tertawa pelan.
‘Bagus. Semakin banyak mulut mendengar, semakin besar retaknya.’
Tetua Fan bersandar, menatap Han Ye dan Yanzhi bergantian.
"Jaga mulut kalian. Kalau ada yang berani bongkar kabar ini ke sekte luar, kalian bukan cuma buang nama Tianhan, kalian akan saya kubur sendiri di dasar lembah."
Suasana aula makin berat. Tetua Fan menatap tajam, jari-jarinya menekan permukaan meja batu.
"Lu Ming, kau dampingi tim Jalur Timur. Bawa beberapa murid. Tutup sisa jalur di dalam lembah. Pastikan tak ada yang celaka."
Lu Ming menunduk, tapi bahunya sedikit menegang.
"Tetua… mohon izin bicara. Han Ye dan Yanzhi memang murid inti Jalur Timur. Tapi kalau di lembah masih ada kabut racun dan sisa segel retak… saya khawatir keselamatan mereka—"
Tetua Fan menoleh pelan. Matanya dingin.
"Kau ragu pada muridmu sendiri, Lu Ming?"
Lu Ming buru-buru menunduk lagi. Suaranya merendah, tapi nadanya masih mencoba membela.
"Bukan ragu, Tetua. Hanya… kalau bisa, biarkan murid lain membersihkan puing. Biarkan mereka berdua pulih—"
Tetua Fan mengetuk meja batu tok tok tok.
"Tidak ada waktu pulih. Mereka yang lihat dengan mata kepala, mereka yang tutup mulut, mereka juga yang tanggung jawab. Atau kau mau turun sendiri, Lu Ming?"
Ruangan jadi senyap.
Lu Ming terdiam, bahunya turun perlahan.
"… Baik, Tetua."
Di kepalanya, Roh Yanzhi tertawa malas.
"Lihat? Peduli apa dia padamu. Sekte kebanggaanmu? Hah. Begitu ada bahaya, mereka tinggal saling dorong ke jurang."
Yanzhi mendecak pelan, nada malas.
"Kalau aku tenggelam, kau juga ikut. Jadi diamlah, jangan sok bijak."
Rohnya terkikik.
"Tenggelamkan aku, kalau bisa."
Di luar aula, angin es berdesir. Dan di balik diam Yanzhi, retakan itu terus merambat.
......................
Langit di atas jalur Timur suram, kabut turun makin tebal. Rombongan kecil Sekte Tianhan melangkah pelan di antara batu-batu lembab. Di depan barisan, Han Ye berjalan setengah langkah di samping Yanzhi. Bahu mereka hampir bersentuh, tapi tak ada yang bicara.
Lu Ming memeriksa barisan di belakang, suaranya tegas menembus kabut.
"Jangan terpisah. Kabut di jalur ini tak sama seperti kemarin."
Beberapa murid hanya mengangguk. Cahaya lentera biru di tangan mereka bergetar, seolah hendak padam disapu angin dingin.
Yanzhi merapatkan jubahnya. Pecahan segel di lengan dalamnya berdenyut pelan, hawa panasnya merambat ke pundak.
Suara Roh terdengar di benaknya, lirih namun jelas.
"Tempat ini tak banyak berubah. Masih bau busuk, sama seperti dulu."
Yanzhi (mata menajam, suaranya pelan, menahan dingin):
"Kau bicara seolah pernah mondar-mandir di sini. Dulu kau apa, hah? Penjaga? Atau malah Iblis?"
Roh (suara pelan, seolah tersenyum):
"Kalau kubilang aku dulu ‘tuan rumah’ di tempat ini, kau percaya?"
Yanzhi (kaget, mendelik, suaranya nyaris membentak pelan):
"Apa maksudmu tuan rumah? Jadi kau benar iblis?! Siluman kabut? Atau apa? roh penjaga yang kabur?!"
Roh (nada geli, santai):
"Tenang. Kalau aku mau menelanmu, kau sudah jadi abu sejak dulu."
Yanzhi (mendesah tertahan, gigi terkatup, nada masih rendah tapi terbata kesal):
"Bagus… aku menampung iblis di tubuhku sendiri. Kalau Lu Ming atau Han Ye tahu, kepalaku habis di altar sekte!"
Roh (suara pelan, nadanya mengejek halus):
"Kalau kau patuh, kau hidup. Kalau terlalu banyak tanya… aku tak berjanji menjaga dirimu tetap utuh."
Yanzhi menarik napas, menggenggam gagang jubahnya lebih erat. Pandangannya sekilas menatap Han Ye di depan, memastikan tak mendengar.
"Kalau kau berani menyeret aku ke dalam masalah, aku pastikan kau kutuk seribu tahun terpasung di batu hitam, roh keparat!"
Roh (tawa kecil, dingin, samar):
"Berisik sekali. Jalan saja. Retakan di depanmu lebih lapar daripada mulutmu."
Han Ye sempat melirik Yanzhi.
"Apa kau bicara sendiri lagi?"
Yanzhi mengalihkan pandang, suaranya datar.
"Anggap saja begitu."
Han Ye menghela napas pendek, jemarinya menepuk gagang pedang.
"Kalau kau mulai aneh di dalam nanti, aku tak segan meninggalkanmu."
Yanzhi menatap Han Ye sambil tersenyum tipis, suara rendahnya hampir seperti ejekan.
"Kalau aku jatuh, kubawa kau sekalian."
Han Ye hanya mendengus. Di belakang mereka, suara ranting patah bercampur desah napas para murid. Kabut turun lebih padat, menyapu kaki sampai lutut.
Lu Ming mempercepat langkah, menoleh singkat.
"Jangan banyak bicara."
Yanzhi menghela napas, menajamkan pandang ke jalur batu di depan. Roh berbisik lagi, nadanya pelan, seolah membelai tengkuk.
"Mereka sibuk menutup pintu, padahal kunci sebenarnya sudah kau kantongi."
Yanzhi mendengus.
"Diamlah sedikit. Mulutmu lebih berbahaya dari kabut di sini."
Roh hanya menahan tawa, senyap di kepalanya.
Kabut retak di depan, menyingkap mulut lembah, retakan batu hitam yang menelan cahaya lentera, menunggu siapa pun masuk.
Yanzhi merasakan hawa panas di lengannya makin berat.
Dan di belakang, langkah para murid melambat, tak satu pun berani bicara lagi.
......................
Kabut di mulut lembah pecah pelan saat Lu Ming mengangkat lentera birunya tinggi-tinggi. Cahaya redupnya menyorot retakan batu, menyingkap ukiran kuno di dinding yang sudah tertutup lumut hitam.
Han Ye menghentikan langkah, menatap ke dalam.
"Masih sama. Jalurnya tak bergeser."
Ia menoleh pada Yanzhi. Sorot matanya menusuk, seolah menimbang banyak hal yang tak terucap.
"Jangan macam-macam di dalam."
Yanzhi tak menjawab. Jemarinya menekan lengan bajunya, merasakan pecahan segel di balik kulit.
Suara Roh muncul, serupa desir angin di telinga.
"Lihat. Mereka berdiri di depan gerbang, tapi kuncinya di tanganmu."
Yanzhi menunduk sedikit.
"Kau bicara terlalu banyak."
Lu Ming menunjuk Han Ye dan Yanzhi.
"Kalian berdua di depan. Kalau ada puing sisa, bersihkan. Aku awasi di pintu."
Han Ye mengangguk singkat. Ia mendahului masuk, diikuti Yanzhi setengah langkah di belakang. Kabut di dalam terasa lebih pekat, menempel ke kulit seperti air dingin.
Di tengah ruang sempit itu, altar batu rendah masih berdiri. Retakan di permukaannya samar berpendar biru, seolah bernafas pelan.
Yanzhi menatapnya sesaat. Pecahan segel di lengannya merespon, hawa panasnya menembus tulang.
Suara Roh kembali membisik.
"Sentuh lagi. Buka sedikit… biarkan rantai lama itu pecah."
Yanzhi mendecak dalam hati.
"Buka sendiri saja kalau bisa."
Han Ye meraba sisa puing di sisi altar. Tangannya kotor debu batu, sorot matanya dingin.
"Apa kau menyembunyikan sesuatu waktu itu?"
Yanzhi menoleh lambat.
"Kau mau percaya apa? Percayalah."
Han Ye mendengus, menatap retakan segel di altar.
"Kalau retakan ini melebar, Sekte Tianhan bisa hancur dari dalam."
Roh menahan tawa.
"Bagus sekali. Biar roboh. Siapa suruh membangun di atas tulang orang lain?"
Yanzhi berbisik pelan, nyaris tak bersuara.
"Diamlah. Kau bukan dewa di sini."
Han Ye sempat melirik Yanzhi, keningnya berkerut. Tapi sebelum sempat bertanya lagi, suara Lu Ming terdengar dari mulut lorong.
"Cepatkan. Kabut makin tebal di luar. Selesaikan penutupnya, kita keluar sebelum senja."
Yanzhi mendekat ke altar, jemarinya hampir menyentuh retakan. Hawa panas dan dingin berganti menari di ujung kulitnya. Roh mendesis pelan, seolah menekan telinga batinnya.
"Lihat betapa rapuhnya segel ini. Sekali kau mau… satu tarikan napas cukup merobeknya."
Yanzhi menahan napas, menatap retakan biru di batu itu.
"…Aku belum sebodoh itu."
Han Ye menoleh, nadanya rendah tapi dingin.
"Kalau kau macam-macam, aku potong tanganmu di sini."
Yanzhi tertawa kecil, tanpa suara. Jemarinya hanya menepuk altar perlahan, menipu. Dalam hatinya, suara Roh menggema, geli tapi dingin.
"Bagus. Simpan. Nanti waktu yang lebih tepat akan datang."
Kabut di ruang itu berputar pelan, seolah menunggu siapa yang lebih dulu membuka gerbang tua.
Kabut di celah batu mulai bergerak, seolah ada napas asing yang berhembus di perut lembah.
Lu Ming berdiri di mulut lorong, sorot matanya tajam menembus remang cahaya lentera.
Ia sempat menoleh ke dalam.
"Han Ye, Yanzhi! Cukupkan. Segel di permukaan sudah dipasang, sisa jalur lama kita tutup lain waktu."
Han Ye mengusap debu di telapak tangannya. Pandangannya singgah ke Yanzhi yang masih berdiri di altar.
"Kau dengar? Jangan berdiri membatu."
Yanzhi mendengus, setengah membetulkan kerah jubahnya.
"Kalau retak lagi, jangan suruh aku turun pasang segel lagi."
Suara Roh berdesir, kali ini bagai bisikan tipis.
"Cepat atau lambat… gerbang akan kau buka dengan tanganmu sendiri."
Yanzhi memejamkan mata sekejap.
"…Tutup mulutmu."
Han Ye bergerak lebih dulu keluar lorong. Yanzhi mengikuti di belakangnya, langkahnya pelan, membiarkan sisa hawa dingin altar merambat di telapak kakinya. Di luar, kabut makin turun, embun tipis menempel di ujung rambut.
Lu Ming menunggu di sisi mulut lorong, tatapannya sempat singgah ke mata Yanzhi. Ada kecurigaan samar, tapi ia memilih bungkam.
"Turun perlahan. Kabut di jalur timur pekat. Jangan pisah langkah."
......................
Suara ranting patah tiba-tiba terdengar di sisi kabut. Yanzhi menoleh cepat, samar, di balik kabut hitam, siluet dua sosok berdiri menempel batu. Wei Ren. Dan Bai Lin di belakangnya, bahu menunduk, mata tak berani menatap.
Lu Ming langsung menajamkan mata.
"Wei Ren? Siapa yang perintahkan kau ke sini?"
Wei Ren tertawa kecil, tangannya terangkat seolah tak bersalah.
"Ah, Senior Lu Ming. Kabut terlalu tebal di luar, saya hanya khawatir teman-teman tersesat. Jadi saya bantu…"
Yanzhi mendengus, matanya menatap Han Ye sambil setengah berbisik.
"Musang sok pahlawan. Kabut begini malah dipakai mondar-mandir."
Roh di kepalanya tertawa kecil, nadanya geli.
"Tenang saja. Mulutnya sendiri yang akan menyeretnya ke jurang."
Lu Ming melangkah satu tapak ke depan, suaranya menekan.
"Wei Ren, jalur segel bukan tempat main. Kau tak dapat izin turun ke sini. Kembali ke atas, sekarang."
Wei Ren hanya menunduk setengah, senyum liciknya tetap menempel.
"Baik, Senior. Saya hanya khawatir. Hati-hati, ya. Kabut lembah… suka memakan rahasia."
Han Ye menahan langkahnya, matanya menembus Wei Ren seperti pisau.
"Keluar sebelum aku seret lehermu."
Wei Ren tersenyum, mundur perlahan, bahu Bai Lin terseret di belakangnya.
Kabut menelan langkah mereka.
Yanzhi sempat menatap lorong gelap, pecahan segel di lengan jubahnya berdenyut pelan.
...****************...