Selama ini Tania hidup dalam peran yang ia ciptakan sendiri: istri yang sempurna, pendamping yang setia, dan wanita yang selalu ada di belakang suaminya. Ia rela menepi dari sorot lampu demi kesuksesan Dika, mengubur mimpinya menjadi seorang desainer perhiasan terkenal, memilih hidup sederhana menemaninya dari nol hingga mencapai puncak kesuksesan.
Namun, kesuksesan Dika merenggut kesetiaannya. Dika memilih wanita lain dan menganggap Tania sebagai "relik" masa lalu. Dunia yang dibangun bersama selama lima tahun hancur dalam sekejap.
Dika meremehkan Tania, ia pikir Tania hanya tahu cara mencintai. Ia lupa bahwa wanita yang mampu membangun seorang pria dari nol, juga mampu membangun kembali dirinya sendiri menjadi lebih tangguh—dan lebih berbahaya.
Tania tidak menangis. Ia tidak marah. Sebaliknya, ia merencanakan pembalasan.
Ikuti kisah Tania yang kembali ke dunia lamanya, menggunakan kecerdasan dan bakat yang selama ini tersembunyi, untuk melancarkan "Balas Dendam yang Dingin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Malam itu, ruang makan terasa membeku, bukan oleh AC, melainkan oleh ketegangan yang tak terlihat. Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring porselen, memecah keheningan yang canggung. Dika, Farah, Tania, dan Ibu Dika duduk di meja bundar, setiap orang memerankan peran mereka masing-masing.
Di sela-sela makan, Dika meletakkan sendoknya. Dia berdehem, mempersiapkan diri untuk konfrontasi yang diminta Farah.
"Tania," panggil Dika, suaranya mengandung otoritas yang jarang ia gunakan, dingin dan tegas.
Farah, yang mendengar nada itu, diam-diam tersenyum puas. Matanya bersinar penuh harap. Dia melirik ke arah Dika, yakin Dika pasti mau menegur Tania soal insiden jatuhnya tadi siang. Akhirnya Dika mau membela aku di depan wanita polos ini, pikir Farah penuh kemenangan.
Tania mengangkat pandangannya, menatap Dika dengan tenang, sepasang mata cokelatnya lurus ke mata Dika. Dia sudah tahu persis apa yang akan Dika sampaikan. Tapi sebelum Dika menyampaikannya, Tania lebih dulu memotong ucapannya dengan pertanyaan yang cerdas, seperti pisau tajam yang menyelinap masuk.
"Oh iya, Mas," sela Tania santai, dengan senyum tipis di bibirnya. "Ngomong-ngomong, kapan Farah akan pulang ke kampungnya?"
Mendengar pertanyaan itu, Dika langsung tersentak. Pertanyaan itu seperti pukulan telak yang tak terduga. Dia tergagap, tidak siap dengan pertanyaan balik itu. Dalam hatinya, ia menjerit, "Sial! Tania memojokkan ku!" Ia tidak ingin Farah keluar dari rumah ini, karena akan lebih berbahaya dan berisiko ketahuan Tania saat mereka bertemu nanti.
Dika yang sebelumnya memanggil Tania dengan tegas, seketika melunak. Nada suaranya berubah menjadi lebih lembut, penuh kepanikan yang terselubung. "Ehm... itu... masih belum tahu, Sayang. Mungkin masih lama," jawab Dika, mencoba tenang.
Farah yang melihat perubahan drastis itu, seketika merasa kesal. Wajahnya yang tadi tersenyum puas kini berubah masam, mengepalkan tangannya di bawah meja. Dika malah melunak? Farah semakin geram, apalagi saat dirinya melihat sekilas senyum Tania yang seolah mengejeknya, sebuah senyum tipis penuh kemenangan yang hanya terlihat sesaat.
Tania memberikan jeda sejenak, membiarkan keheningan mencekam sesaat, sebelum akhirnya melanjutkan kembali ucapannya, nadanya tetap santai namun penuh perhitungan.
"Sebenarnya, tujuan Mas bawa sepupu Mas ke rumah ini, itu apa?" tanya Tania, matanya menatap lurus Dika. "Rasanya nggak etis banget, Mas, ada wanita lain di dalam rumah. Ya, aku tahu Farah sepupu Mas Dika, tapi tetap nggak etis menurutku. Kalau adik Mas Dika, mungkin masih wajar, ya."
Wajah Dika langsung terlihat tegang, keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. Ibu Dika yang duduk di sampingnya pun merasakan jantungnya berdebar-debar karena pertanyaan menantunya yang tajam dan menusuk itu. Diam-diam, tangan Ibu Dika meremas serbet di pangkuannya, merasakan ada yang tidak beres. Sementara Farah menatap sengit Tania, rahangnya mengeras. Ia yakin Tania sengaja melakukan hal ini, memojokkan Dika di depan semua orang tanpa bisa dia balas.
Belum juga mendengar jawaban Dika yang tergagap, Tania kembali melanjutkan ucapannya, melancarkan serangan berikutnya. "Mas berniat nyariin Farah kerjaan di sini?"
Dika tersentak. "Rencananya begitu, Sayang," jawabnya cepat, "tapi Mas bingung mau masukin Farah kerja di mana."
Tania tersenyum tipis, sebuah senyuman penuh arti. "Ngomongin soal kerjaan, aku mau minta izin sama Mas Dika, apa aku boleh bekerja?"
Dika terkejut sesaat, menatap tidak percaya ke arah Tania. Sekian lama Tania menjadi ibu rumah tangga, baru kali ini dia meminta ingin bekerja. Sesak napas Dika terasa, mengkhawatirkan dirinya akan kalah dengan Tania. Sebenarnya Dika pun mengakui kemampuan Tania yang luar biasa dalam menggambar, apalagi menggambar perhiasan.
Tapi tiba-tiba, Dika teringat: jika Tania bekerja, hubungannya dengan Farah di dalam rumah akan lebih aman. Farah pun akan aman dari kecurigaan Tania, karena Tania akan sibuk di kantor. Dika tersenyum tanpa sadar, sebuah senyum lega karena merasa menemukan solusi yang sempurna.
Tania bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran Dika. "Dasar bodoh," pikir Tania dalam hati, senyum tipisnya yang dingin dan penuh rahasia semakin terlihat jelas.
Dika tidak langsung mengiyakan permintaan Tania, dia berpikir akan merundingkannya dulu dengan Farah, untuk memastikan Farah juga setuju. "Biar Mas pikirkan dulu ya, Sayang."
Tania tidak lagi berbicara, dia kembali fokus pada makanannya, menyembunyikan senyum puasnya. Mereka melanjutkan makan malam dalam keheningan yang penuh strategi.
......................
Setelah makan malam yang tegang usai, kesunyian kembali melanda. Tania segera bangkit, mulai membereskan piring-piring kotor. Ibu Dika mengikutinya ke dapur, diam-diam memerhatikan gerak-gerik menantunya yang tampak tenang. Di ruang makan, Farah dengan enggan mulai membersihkan sisa makanan di meja, masih kesal karena dipermalukan Tania.
Di dapur, Tania dan Ibu Dika berdua saja. Suara gemericik air dari keran memecah keheningan. Tania mencuci piring dengan gerakan cepat dan efisien.
"Tania, Ibu mau tanya sesuatu," ujar Ibu Dika, suaranya pelan, penuh beban.
Tania menoleh dengan senyum ramah. "Iya, Bu? Mau Tania buatkan minuman hangat?"
"Bukan itu, Nak," balas Ibu Dika, menyentuh lembut lengan Tania. Wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam. "Soal kamu yang ingin bekerja tadi. Dika sudah setuju?"
"Belum, Bu. Mas Dika tadi bilang mau dipikirkan dulu," jawab Tania, kembali fokus pada piring di tangannya.
Ibu Dika menghela napas panjang, tatapannya menerawang. Air matanya mulai menggenang. "Bukan Ibu mau menghentikan langkahmu untuk meraih kesuksesan sendiri, Tania. Ibu tahu kamu wanita cerdas, calon desainer hebat. Tapi... Ibu merasa bersalah."
Tania menghentikan aktivitasnya, menatap ibu mertuanya. "Bersalah kenapa, Bu?"
"Ibu tahu semuanya, Nak," bisik Ibu Dika, akhirnya mengakui bebannya. "Ibu tahu Dika dan Farah... Ibu tahu ada yang tidak beres sejak awal. Ibu tahu Dika berbohong, tapi Ibu... Ibu terpaksa diam karena ancaman Dika." Ibu Dika terisak pelan. "Ibu merasa bersalah padamu, Nak, karena Ibu juga ada di rumah ini, tapi tidak bisa berbuat banyak."
"Ibu takut kalo kamu tidak ada di rumah ini, mereka berdua semakin menjadi."
Raut wajah Tania tetap tenang, tapi hatinya menghangat mendengar kejujuran dan kekhawatiran ibu mertuanya. Dia tidak menyangka Ibu Dika begitu terbebani.
"Mas Dika mengancam Ibu?" tanya Tania, suaranya pelan dan hati-hati.
Ibu Dika mengangguk, menyeka air matanya. "Dia bilang kalau Ibu buka mulut, dia akan mengusir Ibu dari rumah ini dan tidak akan menganggap Ibu sebagai ibunya lagi."
"Dia juga tidak akan menafkahi Ibu lagi, kalo bukan Dika, siapa yang akan menafkahi Ibu, Tan. Ayah mertua kamu sudah tidak ada, Dika juga anak satu-satunya, di usia Ibu yang sekarang, apakah masih ada yang mau menerima Ibu bekerja?"
Tania tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Bu. Tania justru senang Ibu sudah mau jujur. Soal Dika dan Farah, Tania akan mengurusnya. Tania butuh bantuan Ibu untuk mengawasi mereka saat Tania bekerja nanti. Bisa, Bu?"
Di ruang makan, Farah yang baru saja selesai membersihkan meja, melintas di depan pintu dapur. Dia melirik ke dalam dengan curiga, tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi yakin mereka sedang membicarakannya. Farah menjauh dengan gerutu kesal.
Di dapur, Ibu Dika menatap Tania, terkejut dengan permintaan itu, tapi matanya dipenuhi tekad baru. Dia mengangguk mantap. "Tentu, Nak. Ibu akan bantu kamu. Kita bereskan semua ini bersama."
"Kali ini Ibu nggak akan membiarkan kamu merasakan apa yang dulu Ibu rasakan, meskipun Dika adalah anak Ibu sendiri."
Tania tersenyum dingin. Rencananya mendapatkan sekutu baru yang tak terduga, yang memiliki motivasi kuat untuk melawan Dika.
Bersambung...