NovelToon NovelToon
Seribu Hari Mengulang Waktu

Seribu Hari Mengulang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~ Bab 17

Jamuan berakhir lebih larut dari biasanya. Setelah hidangan utama disajikan, musik lembut dari para pemusik memenuhi aula, sementara bangsawan terus bercakap, menertawakan hal-hal sepele, atau berusaha menarik perhatian Putra Mahkota dengan cerita-cerita mereka.

Camilla tetap duduk di samping Arthur, sesekali menanggapi ucapan para tamu dengan senyum sopan. Namun, semakin lama, ada rasa aneh yang tidak bisa ia abaikan. Tubuhnya seolah mulai terasa lebih panas dari biasanya. Uap sup yang masih teringat di lidahnya meninggalkan jejak samar yang pahit.

Ia mencoba mengabaikan perasaan itu. Mungkin karena latihan tadi terlalu berat, pikirnya. Atau karena suasana ruangan terlalu penuh dan pengap.

Arthur sempat meliriknya beberapa kali. Wajah Camilla sedikit memerah, berbeda dengan biasanya.

“Kau terlihat lelah,” ucap Arthur rendah, nyaris tidak terdengar oleh orang lain.

Camilla menoleh, tersenyum tipis. “Hanya sedikit. Aku baik-baik saja.”

Arthur tidak membalas. Tatapannya seolah menembus wajah Camilla, membaca setiap detail ekspresinya. Namun, ia memilih untuk tidak memaksa.

Ketika jamuan usai, para tamu memberi salam dan meninggalkan aula satu per satu. Aiden sempat mendekat, melaporkan sesuatu pada Arthur, lalu pamit mundur.

Camilla berdiri perlahan, tubuhnya agak goyah. Ia menahan diri agar langkahnya tidak terlihat ragu. Seorang dayang cepat menghampiri, menawari bantuan, tapi Camilla menggeleng dengan sopan.

Arthur berjalan di sisinya, tidak berkata banyak, hanya sekali-sekali memperhatikan gerakannya.

Begitu mereka sampai di koridor menuju kamar, Camilla menunduk sedikit, menarik napas panjang. “Aku benar-benar harus berterima kasih.. atas kesempatan duduk di sampingmu tadi.”

Arthur menoleh sekilas, ekspresinya datar. “Itu bukan kesempatan, itu kewajibanmu.”

Camilla terkekeh kecil, meski di balik senyumnya ada getaran aneh di tubuh. “Kalau begitu, aku akan berusaha menjalankannya dengan baik.”

Arthur tidak menjawab lagi. Mereka tiba di pintu kamarnya, dan Arthur hanya mengangguk sebelum melangkah pergi ke sayap lain istana.

Camilla menatap punggungnya yang menjauh. Ada perasaan hangat sekaligus dingin yang bercampur di dada. Hangat karena kebersamaan tadi, dingin karena tubuhnya benar-benar mulai tidak enak.

Begitu pintu kamar tertutup, ia bersandar pada dinding. Nafasnya sedikit terengah, dan keringat dingin muncul di pelipis.

Mary langsung menyadari. “Yang Mulia, wajah Anda terlihat pucat sekali. Haruskah saya memanggil tabib?”

Camilla buru-buru menggeleng. “Tidak perlu.. ini hanya kelelahan. Aku hanya butuh istirahat.”

Namun, setelah berganti pakaian dan berbaring di ranjang, rasa tidak nyaman itu semakin jelas. Perutnya terasa mual, kepalanya berdenyut, dan panas mulai menjalar.

Ia menggigit bibir, berusaha menenangkan diri. “Ini.. hanya karena sup terlalu hangat,” bisiknya, meski hatinya sendiri tidak yakin.

Mary memandanginya dengan cemas. “Kalau begitu, saya akan duduk di sini semalaman. Jika keadaan memburuk, saya akan segera memanggil tabib.”

Camilla mengangguk samar. Kelopak matanya terasa berat, tapi tidur yang datang bukanlah tidur tenang. Ia terombang-ambing dalam mimpi gelap, dipenuhi bayangan racun yang menyusup perlahan ke dalam darahnya.

***

Di ruang pribadinya, Arthur belum tidur. Ia duduk di kursi dekat meja, membaca laporan dari Aiden. Namun pikirannya tidak sepenuhnya fokus. Beberapa kali ia teringat pada ekspresi Camilla saat jamuan dimana wajah yang memerah, senyum yang dipaksakan, tangan yang sedikit bergetar.

Ia menutup berkas, berdiri, dan berjalan ke jendela. Bulan menggantung pucat di langit, seakan menatap dingin ke bawah.

Arthur menarik napas panjang. Ada perasaan asing yang menyelinap dalam dirinya. Kekhawatiran. Bukan hal yang biasa baginya, tapi ia tidak bisa menepisnya.

“Besok pagi,” gumamnya pelan, “aku akan memastikan keadaannya.”

Malam semakin larut.

Camilla mulai menggeliat gelisah di ranjang. Keringat membasahi pelipisnya, meski udara malam cukup sejuk. Mary yang duduk di kursi segera berdiri, panik melihat wajah tuannya yang semakin pucat.

“Yang Mulia, Anda demam.” Mary menempelkan tangan ke dahi Camilla, terkejut oleh panas yang membakar. “Saya tidak bisa menunggu lagi. Saya akan memanggil tabib sekarang juga.”

Namun, saat ia hendak bergegas keluar, Camilla menggenggam tangannya lemah. “Jangan.. malam ini, jangan ganggu tabib. Aku bisa menahannya.. hanya demam biasa.”

“Tapi..”

“Mary, kumohon.” Suara Camilla nyaris berbisik. “Kalau tabib datang malam ini, seluruh istana akan tahu aku sakit. Mereka akan menilainya sebagai kelemahan. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”

Mary menggigit bibir, bimbang. “Baiklah.. tapi jika panas ini tidak turun sampai pagi, saya tidak akan mendengar alasan lagi.”

Camilla hanya mengangguk pelan, lalu kembali memejamkan mata.

Waktu bergulir, dan racun bekerja semakin dalam.

Camilla merasakan panas di seluruh tubuhnya, seolah terbakar dari dalam. Nafasnya berat, kadang terputus-putus. Ia mencoba bergerak, tapi setiap kali ototnya menegang, rasa sakit menjalar cepat.

Dalam mimpinya, ia melihat bayangan Arthur yang memuntahkan darah, dia berusaha meraih, tapi langkahnya selalu terhenti, seolah ada dinding tak kasat mata yang menghalangi.

“Arthur..” gumamnya lemah dalam tidur gelisah.

Mary yang duduk di sampingnya terkejut mendengar itu. Ia menggenggam tangan Camilla erat-erat, meski tahu tuannya tidak sadar.

Menjelang dini hari, keadaan tidak membaik. Justru semakin parah. Keringat dingin membasahi bantal, dan bibir Camilla mulai terlihat pucat.

Lena tidak bisa lagi menahan diri. Ia berlari keluar kamar, mencari pengawal terdekat. “Panggil tabib istana, cepat! Putri Mahkota dalam keadaan buruk!”

Pengawal yang berjaga segera bergerak, dan tidak lama kemudian, Tabib Elric, orang yang paling dipercaya istana datang tergesa dengan kotak obat di tangannya.

Begitu masuk kamar, ia langsung memeriksa Camilla yang terbaring lemah.

“Demam tinggi.. denyut nadi tidak teratur..,” gumamnya. “Ini bukan sekadar kelelahan.”

Mary menatap cemas. “Tuan Tabib, tolonglah. Ia terus menolak dipanggil sejak tadi malam. Tapi saya tidak bisa tinggal diam melihat kondisinya.”

Elric mengangguk singkat, lalu mengeluarkan ramuan penurun panas dari kotaknya. Ia memberikan perlahan ke bibir Camilla, yang hanya bisa menelan sedikit dengan susah payah.

“Aku harus memberitahu Putra Mahkota,” ucap Elric akhirnya, nadanya tegas.

Mary terdiam, bingung apakah itu langkah bijak. Namun, sebelum ia sempat menolak, Arthur sendiri sudah muncul di ambang pintu.

Arthur berdiri tegap, wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya gelap. Ia melangkah masuk tanpa suara, menatap langsung ke arah ranjang tempat Camilla berbaring.

“Sejak kapan?” suaranya datar, tapi tajam.

Mary segera berlutut. “Ampun, Yang Mulia. Sejak selesai jamuan, ia mulai pucat. Malam ini demamnya semakin buruk. Saya sempat ingin memanggil tabib, tapi beliau sendiri yang melarang..”

Arthur mengangkat tangannya, menghentikan penjelasan. Pandangannya kembali ke Camilla.

Tabib Elric menunduk hormat. “Yang Mulia, ini lebih dari sekadar demam biasa. Ada tanda-tanda keracunan, meski samar. Saya belum bisa memastikan jenis racunnya tanpa pemeriksaan lebih dalam.”

Arthur mendekat, duduk di sisi ranjang. Untuk pertama kalinya, ia melihat Camilla dalam keadaan rapuh seperti ini. Napasnya tersengal, wajahnya pucat, dan keringat dingin menetes tanpa henti.

“Keracunan…” Arthur mengulang pelan, seakan mencicipi kata itu. Matanya menyipit tajam, aura dingin langsung menyebar di ruangan.

Mary menunduk semakin dalam, takut akan ledakan amarahnya.

Namun, Arthur tidak berteriak. Ia hanya duduk, menatap Camilla yang menggeliat lemah. Tangannya terangkat perlahan, menyentuh kening Camilla. Panas menyengat segera menyambar telapak tangannya.

“Bodoh,” bisiknya pelan, hampir tidak terdengar. “Mengapa kau tidak berkata apa pun?”

Camilla membuka mata samar-samar, berusaha fokus. “Yang Mulia.. aku.. hanya.."

Arthur menatapnya, untuk sesaat wajahnya kehilangan ketegasan dingin yang biasa. Ada kilatan emosi yang sulit dideskripsikan, antara marah dan khawatir.

“Diamlah. Jangan bicara lagi.” Suaranya tetap datar, tapi nada itu berbeda, terdengar lebih lembut, meski terselubung.

Tabib Elric membungkuk. “Yang Mulia, saya sarankan kita menunda semua kegiatan Putri Mahkota besok. Ia harus benar-benar beristirahat. Saya akan menyiapkan ramuan penawar umum untuk racun ringan. Semoga bisa menstabilkan keadaannya sampai saya menemukan jenis pastinya.”

Arthur mengangguk sekali. “Lakukan apa pun yang perlu. Jika ada yang menghalangi, aku akan menghancurkannya.”

Suasana kamar terasa menegang, tapi juga hangat dalam cara yang aneh. Lena menatap tuannya dengan air mata yang ditahan, lega sekaligus takut.

Camilla kembali memejamkan mata, suaranya nyaris tidak terdengar. “Terima kasih..”

Arthur tetap duduk di sampingnya, tidak bergeming. Malam itu, ia tidak kembali ke kamarnya. Ia berjaga di sisi Camilla, diam, hanya membiarkan kehadirannya menjadi benteng.

Dan di luar kamar itu, bisikan halus mulai menyebar di antara pelayan istana tentang Putri Mahkota yang jatuh sakit setelah jamuan malam.

Fajar merayap pelan, namun kamar Camilla tetap dipenuhi bayangan malam. Tirai tebal hanya membiarkan sedikit cahaya menembus, menciptakan garis samar di lantai. Tabib Elric duduk di kursi dengan mata setengah terpejam, setelah semalaman berjaga menyiapkan ramuan penawar.

Mary tertidur di kursinya, kepalanya menunduk dengan tangan masih menggenggam jemari Camilla. Sementara itu, Putra Mahkota tidak bergeming. Arthur masih duduk di sisi ranjang, tubuhnya tegak, matanya tajam mengawasi setiap perubahan napas Camilla.

Sehelai kain tipis menempel di dahi Camilla, basah oleh keringat yang terus bercucuran. Napasnya mulai lebih teratur dibanding malam sebelumnya, tapi wajahnya tetap pucat. Bibirnya kering, seolah semua cairan tubuh telah terbakar oleh racun yang mengalir.

“Bagaimana keadaannya?” suara Arthur pecah, rendah tapi cukup untuk membuat Tabib Elric tersentak.

Tabib itu segera menunduk. “Keadaan Putri Mahkota sedikit stabil berkat ramuan penawar umum, Yang Mulia. Tapi.. saya masih belum menemukan pasti jenis racunnya. Gejalanya mirip dengan verdanis, racun ringan yang sering dipakai untuk melemahkan lawan, bukan membunuh langsung. Namun, ada perbedaan kecil.”

Arthur menyempitkan mata. “Perbedaan apa?”

Elric menarik napas, menimbang kata-katanya. “Verdanis biasanya menimbulkan muntah hebat dan kelumpuhan sementara. Tapi Putri Mahkota hanya mengalami demam tinggi, denyut nadi tak teratur, dan rasa mual samar. Itu artinya, racun ini mungkin campuran baru, seseorang mengolahnya dengan tujuan khusus.”

Arthur tidak menjawab. Tatapannya tetap terpaku pada Camilla. Ia mengulurkan tangan, menyibak helai rambut yang menempel di pelipisnya, sebuah gerakan sederhana namun sarat arti.

Ada yang mencoba menyentuhnya.. pikirnya, dingin. Di dalam istana ini. Di bawah hidungku.

Mary terbangun tiba-tiba, matanya merah karena begadang. Begitu sadar Arthur masih ada di sana, ia buru-buru berlutut. “Yang Mulia.. saya mohon ampun. Saya sudah gagal menjaga beliau.”

Arthur tidak menoleh. “Berdiri.”

Mary menunduk lebih dalam. “Tapi..”

“Aku bilang berdiri.” Nada Arthur tak bisa dibantah. Mary pun bangkit dengan tubuh gemetar, tapi kepalanya tetap tertunduk.

Arthur baru menoleh padanya setelah beberapa saat. Tatapannya menusuk, tapi suaranya lebih tenang dari yang diduga Mary. “Kau melakukan apa yang ia minta. Dia menolak dipanggilkan tabib agar kelemahannya tidak jadi bahan omongan. Itu bukan salahmu.”

Mary terdiam, bibirnya bergetar. Hanya sebuah anggukan kecil yang bisa ia berikan.

Arthur kembali menoleh pada Elric. “Berapa lama ia bisa pulih?”

Tabib itu ragu. “Jika ramuan penawar cocok, panasnya akan turun dalam dua atau tiga hari. Tapi racun yang dimodifikasi bisa meninggalkan bekas. Tubuhnya mungkin lemah untuk waktu yang lebih lama.”

Arthur berdiri, tubuh tegapnya membuat suasana kamar seakan lebih sesak. “Aku beri waktu padamu, Elric. Tiga hari. Temukan asal racun ini, atau aku akan mencari tabib lain yang lebih mampu.”

Elric menunduk dalam-dalam, keringat dingin menetes di pelipisnya. “Saya mengerti, Yang Mulia.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!