NovelToon NovelToon
Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: ovhiie

Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.

*
*


Seperti biasa

Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Di ruang makan sebuah rumah besar yang dibalut warna hangat dedaunan musim semi terlihat menenangkan.

Bersamaan dengan dentingan lembut peralatan makan di pagi hari. Musik latar yang lembut itu selalu mengiringi setiap mereka sarapan bersama.

"Kak Yaga, Aira punya banyak pertanyaan."

"Silahkan, apa yang mau kamu tanyakan?"

"Tadi malam, kenapa tiba-tiba Amera meluruskan kesalahpahaman itu? Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian berdua?"

Mendengar hal itu, Yaga yang baru saja menyuruhnya untuk bertanya, tapi sekarang malah dia yang bertanya, "Kamu tahu bagaimana dia? Dia tipe orang yang sengaja ingin mendekat tanpa memanfaatkan kesempatan. Dan kamu seharusnya tahu itu dari awal Almaira."

"Jadi kesimpulannya, dulu, dia dan Kak Yaga, tidak punya hubungan apa-apa, kan?"

"Kalau aku dan dia punya hubungan yang seperti yang kamu pikirkan. Lantas, kenapa aku harus datang jauh-jauh dari luar negeri hanya untuk menenangkan mu?"

"Hah?"

"Kamu terlalu polos Almaira, setidaknya itu yang ku pikirkan saat ini."

"Aira tahu. Itu sebabnya Aira bertanya. Jadi, tolong di jawab."

"Oh, jadi itu masalahnya?"

Suaranya terdengar terlalu ringan, seolah Yaga merasa senang dengan reaksi kecemburuan Almaira untuk pertama kalinya. Kemudian dia melanjutkan,

"Aku tidak pernah menganggapnya sebagai cinta pertama ku Almaira, sungguh."

Degh,

"...., Kak Yaga tidak bohong, kan?"

"Tidak, tapi kamulah satu-satunya yang ku anggap sebagai cinta dan mati ku." Suara Yaga terdengar rendah, nyaris seperti bisikan

Merasa malu, Almaira sedikit menundukkan wajahnya.

Melihat rona di pipinya, Yaga terkekeh pelan, walau sikapnya penuh canda. Tangan yang menyentuhnya tetap lembut.

"Katakan padaku, apa yang dulu pernah ku lakukan padanya sampai membuat mu salah paham seperti itu? Hm?"

"Itu .."

"Bahkan saat aku melarang mu dekat dengannya, kamu selalu menyimpulkannya dengan buruk."

Yaga mencubit pipi Almaira dan tersenyum meledek. Kemudian dia melanjutkan, "Kamu tahu, aku tertarik padamu sejak dulu. Kenapa pura-pura tidak tahu? Membawakan mu bekal untuk makan siang di akhir ujian itu cuma alasan. Alasanku untuk mencuri perhatianmu."

Wajah Almaira semakin memerah, dia tersadar bahwa selama ini dia melihat dari sudut pandangnya sendiri.

Namun sekarang, seolah-olah ada cahaya yang menyinari memori itu, memberikan warna baru yang belum pernah ia sadari sebelumnya.

Almaira menatapnya dengan wajah yang masih memerah.

Yaga dengan lembut mengusap pipinya,"Kau harus menghilangkan kebiasaan menyimpulkan sesuatu tanpa bertanya padaku lebih dulu."

"Jadi.. selama ini, yang pernah Kak Yaga katakan itu benar kan?"

"Mengatakan tentang apa?"

"Bahwa, Aira istimewa bagi Kak Yaga."

Mendengar itu, Yaga tertawa kecil. Lalu meraih tangan Almaira yang terletak di atas meja

"Kalau keadaan ku seperti yang di rumorkan, kenapa yang ku inginkan terus menempel padamu? Aku gila ya?" Yaga menempelkan bibirnya ke pipinya yang merah, "Yang ku cintai hanya kamu Almaira. Jangan salah paham lagi ya?"

"Baiklah, Aira akan selalu ingat."

"Hmm, bagus. Apa yang kamu lakukan hari ini, setelah makan?"

"Membaca buku."

"Begitu ya? Bagaimana kalau kita berkencan malam ini?"

Yaga membenamkan kepalanya di tengkuk leher Almaira yang sudah bersemu merah, merangkak naik perlahan. Saat bibirnya menyentuh lembut daun telinga Almaira, tubuh gadis itu sedikit gemetar.

"Kencan di mana?"

Apa dia benar-benar ingin berkencan?

Yaga menyeringai kecil, lalu mengecup ujung hidungnya, membuat Almaira langsung merinding.

"Di mana saja, tempat yang membuat mu senang. Itu lebih baik."

"Baiklah, terserah Kak Yaga saja."

* * *

Setelah pingsan di pelukan Yaga, Almaira terbangun saat matahari mulai terbenam. Ternyata dia menghabiskan seluruh hari ini di tempat tidur.

Saat Almaira tampak kecewa, Yaga mengajaknya makan malam. Tempat yang dipilihnya adalah restoran Jepang terkenal dengan jendela besar yang memperlihatkan matahari terbenam yang menakjubkan.

Setelah memesan menu, Yaga menuangkan secangkir air teh dan menyerahkannya kepada Almaira.

Tepat saat itu, pintu geser kayu terbuka dan makanan pun tiba. Di setiap alas meja, diletakkan salad, mi soba dingin, dan piring saus dengan beberapa bagian berbeda.

"Apa kamu mau wasabi?" tanya Yaga

Ketika dia mengangguk, dia bergumam, "Tidak ada yang tidak bisa kamu makan, kan?"

Dia mencampur wasabi dengan kaldu sapi dingin sebelum menyodorkannya kepada Almaira. Itulah yang selalu Yaga lakukan untuknya.

"Jangan makan salad sampai kekenyangan ya."

"Kenapa?"

"Kamu perlu meningkatkan staminamu, jadi fokuslah untuk makan sesuatu yang lebih mengenyangkan."

Kedengarannya seperti perintah. Selama ini, Yaga bersikap pasif dalam merawatnya. Namun, tampaknya ada yang berubah, dan Almaira bisa menebak alasannya. Dinding yang dia pasang di sekelilingnya akhirnya hilang, dan Yaga pun menerimanya ke dalam ruangnya.

"Tapi…" Almaira ingin protes, tetapi tidak ada gunanya.

"Percayalah padaku," jawab Yaga dengan keras kepala.

"Hm, baiklah."

Tak lama kemudian, koleksi sashimi yang dihiasi bunga-bunga warna-warni pun bermunculan. Yaga mengajarinya cara terbaik untuk memakan setiap jenis sashimi.

"Enak sekali," seru Almaira.

Sejauh ini, semua yang direkomendasikannya terasa lezat. Yaga tersenyum puas.

Setelah selesai menyantap sushi, ayam goreng dan berbagai sayuran, nasi dengan telur ikan, dan semur pedas, mereka disuguhi teh plum dan pasta kacang jeli sebagai hidangan penutup. Yaga meminta pelayan untuk membersihkan meja mereka sepenuhnya sehingga mereka dapat menikmati hidangan penutup di meja yang bersih.

"Matahari sudah terbenam sepenuhnya ya." gumamnya.

"Tapi aku masih bisa melihat lautan karena lampu jalan."

"Apa kamu sudah kenyang sekarang?" tanya Yaga

"Ya."

"Kalau begitu, haruskah kita pergi?"

Mata Almaira menyipit membentuk senyum manis saat dia mengangguk.

Yaga berdiri lebih dulu dan mengulurkan tangannya.

"Ayo kita pergi."

"Hmm" Almaira meraih tangan itu dengan senyuman

* * *

Setelah iklan-iklan yang berlebihan muncul, lampu kuning teater meredup. Ruang besar itu dipenuhi kegelapan sebelum layar raksasa bersinar terang. Segera diikuti oleh suara pembukaan yang cukup keras untuk membuat Almaira rasanya tuli.

Intro yang familiar diputar dengan cepat, dan seorang aktris terkenal muncul dengan penampilan yang sangat mengagumkan. Ini adalah salah satu aktris favorit Almaira. Mata Almaira berbinar karena kegembiraan saat film dimulai.

Tetapi, saat dia menoleh ke arahnya, Yaga tertidur. Alih-alih menonton film, Almaira menatap suaminya dalam diam. Setiap kali adegan di layar berubah, perubahan cahaya menyinari wajahnya untuk menonjolkan fitur-fiturnya yang tajam.

Yaga memiliki bulu mata yang sangat panjang dan tebal, dan hidungnya sangat mancung. Bibirnya yang indah tertutup rapat, dan napasnya yang pelan membuat jantung Almaira berdebar kencang.

Almaira terus mengamati wajah suaminya. Mungkin dia sedang bermimpi karena ada sedikit kerutan di dahinya. Lengannya disilangkan, dan itu membuatnya tampak jahat.

"…Kau seharusnya membangunkan aku," kata Yaga kepadanya saat film berakhir. Suaranya terdengar lebih mengantuk dari biasanya.

Almaira merasa sedikit bersalah. Dia tahu hari-harinya sibuk, jadi mereka seharusnya langsung pulang setelah makan malam.

"Tidak apa-apa. Kak Yaga terlihat lelah. Jadi Aira tidak tega."

Dia berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan kebiasaan meminta maaf seperti yang diinginkannya.

"Aku akan mencuci mukaku," kata Yaga.

"Baiklah, Aira akan menunggu di sini," jawab Almaira dan duduk di sofa lobi teater.

"Hmm, tunggu aku. Jangan pergi kemana-mana."

"Hmm."

* * *

Keesokan harinya.

Almaira terbangun karena mendengar ada yang memanggil. Begitu membuka mata, dia merasakan sakit yang menusuk. Tubuhnya terasa lelah dan penuh dengan rasa sakit, seperti kertas yang sobek.

Yaga yang sudah mengganti pakaian duduk di sampingnya dan mengulurkan tangan.

Dengan lembut, dia menyentuh pipi Almaira yang yang mulus dan mengusapnya dengan pelan. Almaira merasa sedikit jengkel dan menatapnya dengan penuh kekesalan, tapi Yaga hanya tertawa kecil.

"Tidurlah lagi saat aku pergi.''

Almaira mengangguk,

Yaga memberikan ciuman kecil di pipi Almaira sebelum bangkit dari tempat tidur.

"Saat waktunya makan siang, aku ingin makan bersama mu."

"....."

Almaira masih terdiam, mengikuti arah langkah Yaga dengan tatapan kosong. Yaga tertawa pendek, seolah menganggapnya lucu, lalu keluar dari kamar.

Setelah Yaga menutup pintu, Almaira menyadari bahwa lehernya terasa panas, seolah merasakan malu yang luar biasa.

Baru mau memejamkan mata, tiba-tiba hp yang di bawah bantal bergetar hebat, melihat nama Pratama sang Ayah mertua, Almaira langsung meraihnya dan menggeser tombol hijau

"Ayah?"

_ Kamu sudah bangun

"Hmm'

_ Kelihatannya pagi ini, badan mu segar bugar. Ibu mertua mu ingin kita pergi piknik hari ini, jadi bangun dan bersiaplah.

"Piknik?"

_ Iya. Kami sudah sering membicarakannya. Kami terus menundanya karena Anita masih sibuk KKN, tapi kalau terus ditunda, musim gugur akan segera tiba.

"Memang belum gugur?"

_ Tentu saja belum. Ibu mertua mu bersusah payah sejak tadi menyiapkan martabak telor untuk mu

"…Padahal Ibu tidak perlu repot-repot. Apa... Aira perlu minta izin dari Kak Yaga dulu?"

_ Terserah. Pokoknya, Ayah sudah menyampaikan pesannya, Ayah tutup dulu.

Sebelum Almaira sempat menjawab, Pratama sudah memutus panggilan.

Almaira menatap layar hp nya dengan ekspresi bingung. Piknik akan dilakukan setelah sarapan, jadi kemungkinan mereka akan menghubunginya sekitar pukul 9 atau 10 pagi. Waktunya kurang dari 40 menit lagi.

Dia merasa sedikit cemas bagaimana menjelaskan tentang Amera kepada mereka.

Saat Almaira menghela napas panjang dan memainkan hp nya tanpa tujuan, sebuah pesan dari Yaga muncul.

[Hubungi aku saat kau sudah sarapan]

Laki-laki yang kini tersimpan dengan nama Suamiku, sebuah nama yang sampai saat ini, belum menemukan cara lain untuk terbiasa memanggilnya seperti itu.

Almaira menatap tujuh huruf yang membentuk nama itu, lalu menekan tombol panggil.

Sinyal panggilan terdengar tanpa ada nada sambungan khusus, lalu suara Yaga menyambutnya.

_ Halo.

"Su..amiku, ini Aira."

_ Aku tahu.

"Aira menelepon karena ada yang mau di bicarakan."

Dari nada suaranya, Almaira bisa merasakan Yaga tersenyum kecil.

_ Bicarakan apa? Tidurmu nyenyak?Bagaimana tubuhmu sekarang?

"Aira baik-baik saja."

_ Sudah bisa berjalan?

"Belum, tapi…"

_ Coba lakukan sekarang.

Maksudnya, dia harus bangun dan berjalan sekarang? Ini terdengar konyol, tetapi Almaira perlahan menurunkan kakinya ke lantai. Dia menopang tubuhnya dengan tangan di meja samping tempat tidur dan berdiri. Kakinya agak kaku, tetapi tidak sampai membuatnya sulit berjalan.

"Aira sudah berjalan."

_ Kalau begitu, bagus. Aku ingin makan siang bersamamu. Kau ingin makan apa? Kita bisa pergi keluar, atau aku bisa menyuruh Sekretaris Gan membelikannya untuk kita.

"Ah."

_ Tapi kalau pilihan kedua, makanannya mungkin agak dingin.

Mendengar hal itu, Almaira merasa bingung dan hanya bisa berkedip tanpa berkata-kata.

_ Almaira?

"Boleh kita makan siang diluarnya besok saja?'

_ Kenapa?

"Aira sudah janji makan siang bersama ayah dan ibu

_ Bukannya aku duluan?

Degh,

Benar, jika dipikirkan, janji dengan Yaga memang lebih dulu. Tapi tiba-tiba dia malah membuat janji dengan orang lain.

"Setiap kali bunga bermekaran, kami biasanya pergi piknik bersama. Tapi karena bulan ini Anita sibuk KKN, acara itu terus ditunda. Lalu karena dua hari yang lalu Aira bertemu Amera, mereka pikir Aira sedang dalam suasana hati yang buruk, jadi mereka baru menghubungi Aira."

_ Jadi kamu langsung mengiyakan?

Almaira menelan ludah.

Tidak ada gunanya mencari-cari alasan. Tapi.. dia juga tidak tahu harus berbuat apa.

"Maaf…"

Pada akhirnya, dia hanya bisa meminta maaf. Yaga tertawa. Tidak tahu apa yang lucu, laki-laki itu tertawa cukup lama sementara wajah Almaira semakin memucat.

"Kenapa Kak Yaga tertawa terus?"

_ Karena kamu cukup menggemaskan.

"………"

Jawaban santainya membuat Almaira tersipu.

_ Baiklah, pergilah. Kita punya banyak waktu.

"Baik, kita makan siangnya besok saja."

Dengan wajah memerah, Almaira menggerakkan jemarinya tanpa sadar.

_ Pagi ini kau baik-baik saja, kan?

"Ya"

_ Kirim aku foto saat kamu ada di sana. Aku ingin melihat seberapa menyenangkan piknikmu..

"Oke."

_ Bersenang-senanglah.

Setelah tawa pendek, panggilan itu berakhir. Almaira menaruh hpnya di meja dengan layar menghadap ke bawah.

* * *

Pratama Group

Setelah menutup telepon, Yaga tertawa kecil, berulang kali. Suara perempuan yang dengan nada canggung mengoceh untuk mencari alasan terdengar begitu manis.

Ingin rasanya dia segera berlari dan melihat wajah yang kebingungan itu. Apakah dia akan pucat pasi karena panik? Atau akan menggigit bibir merahnya sambil menatapnya ke atas? Kalimat "Maaf" yang diucapkan dengan mata tertunduk, bulu matanya bergetar.

Yaga ingin sekali menciumnya, menyerap setiap gerakan kecil itu sepenuhnya. Memang, dia benar-benar memiliki bakat luar biasa dalam membuatnya tergila-gila dalam berbagai cara.

Suara ketukan pintu membuat Yaga mengangkat kepala dan meletakkan hpnya di meja.

Tak lama kemudian, Sekretaris Gan memasukkan kepalanya ke dalam ruangan.

"Tuan muda, bagaimana dengan makan siang Anda?"

Rencana awal untuk menjemputnya atau menyuruh Sekretaris Gan memesan makanan lebih dulu sudah batal sejak lama.

Meskipun Almaira terdengar sangat canggung saat meminta maaf, dia bisa memahami alasannya. Siapa yang akan pergi piknik bersamanya jelas sudah dapat ditebak.

"Makan seperti biasa saja."

Tidak ada jawaban seperti biasanya. Yaga mengangkat kepala dan menatapnya

Di hadapannya sekarang, Gan sekretarisnya, memandangnya dengan khawatir.

"Tuan muda, ada pembaruan untuk draft presentasi yang Anda kirimkan untuk diperiksa." Gan mengarahkan tablet ke arah Yaga.

Yaga menoleh, memijat lehernya yang pegal, kemudian meraih tablet itu.

"Apa Anda ingin melihatnya setelah makan siang?"

"Hhh "

Yaga mengernyit sedikit, lalu menatap ke bawah. Dia melihat draft presentasi yang dia kirim tiga hari lalu sudah disunting setelah mendapat masukan dari para ahli.

"Ada masukan lain?"

"Salah satu dari konsultan mengatakan bahwa fokusnya terlalu banyak biaya pada periklanan, seharusnya lebih memperhatikan aspek lain juga. Jadi kesannya terlalu kaku."

"Masalah dengan logika lagi. Membosankan sekali. Hah... Baiklah. Akan kupikirkan."

Yaga mengangguk pelan, lalu menandai beberapa hal di draft tersebut dan mengembalikannya kepada Gan. Jadwal rapat berikutnya tinggal 10 menit lagi, jadi dia harus segera mempersiapkan dirinya.

"Ada yang ingin dibicarakan?"

Yaga menoleh sambil mengencangkan dasi yang ada di lehernya dan memandang Gan.

Sekretaris Gan yang sempat canggung berdiri, akhirnya tersenyum setelah terkejut melihat tatapan Yaga.

Yaga dengan cepat merapikan pakaiannya, menghilangkan segala kekacauan yang tampak sebelumnya.

"Begini, tentang anak perempuan yang bernama Amera "

"Ya?"

"Sepertinya, seseorang sudah mengurus agar dia tidak perlu ikut penyelidikan."

"Seseorang ya? Tidak ada panggilan khusus untuk Pak Berta?"

"Dia dipanggil ke kantor pusat"

"Baiklah."

Yaga tersenyum tipis.

Orang tua licik seperti itu, sudah pasti akan mencoba memanfaatkan kesempatan dengan cara tertentu, untuk menagih hutang budi.

"Tapi, kata seseorang yang sudah lama bekerja di kantor pusat, ternyata ini bukan pertama kalinya gadis itu terlibat dalam kasus pembullyan"

"Apa?"

Yaga mengangkat satu alisnya, merasa penasaran.

"Kira-kira tiga tahun yang lalu Pak Bram datang pada Ayah Anda untuk meminjam uang sekitar 500 juta. Meskipun ada perbedaan pendapat di antara para sekretaris, akhirnya Ayah anda yang memutuskan. Dan kabarnya, masalah itu berkaitan dengan kematian seorang laki-laki yang bernama Bagas"

"Bagas adalah mantan Almaira, jadi jika itu terjadi tiga tahun lalu. Apa mungkin ada masalah sebesar itu dengan seorang mahasiswa? Tapi.. bukannya gadis itu juga berada di luar negri saat itu? Kenapa bisa jadi terlibat?"

Sekretaris Gan juga tampaknya kebingungan, memandang Yaga dengan mata heran.

"Agak aneh, kan? Dia kelihatannya tidak berbohong, tapi kenapa ada kasus besar seperti itu dengan mahasiswa? Saya juga merasa aneh dan mencoba bertanya lebih jauh, tapi dia bilang itu bukan sesuatu yang boleh dibicarakan."

"Begitu ya."

"Bagaimana kalau kita minum kopi bersama setelah ke atas? Mungkin bisa cari tahu lebih banyak. Tuan muda"

Gan menyarankan dengan hati-hati, namun Yaga memandangnya dengan ekspresi serius.

"Gan, apa kau bosan?"

"Ah, tidak."

"Baiklah, kalau begitu." Yaga tersenyum kecil dan kembali menoleh.

Hutang budi ayahku dulu terhadap Kakeknya bukanlah hal baru, dan seluruh tim sekretaris juga ikut menutup-nutupi, seolah ini masalah serius. Ada apa?

Mereka benar-benar tidak sadar kalau ini kelihatan seperti dongeng anak-anak.

Tapi, apa peduliku?

Yaga memutuskan untuk tidak lagi memikirkan hal itu. Waktu untuk rapat tinggal sekitar 5 menit.

* * *

Di kamar Amera

Pada awalnya, dia mengabaikan telepon dari nomor yang tidak dikenal, tetapi saat mau terlelap, pesan dari nomor tersebut masuk.

[Amera, ini aku David.]

Pesan itu membuat Amera terbangun sepenuhnya. Dia segera bangun dan menelepon balik.

"Setelah memblokir nomorku dan mengganti nomor, baru sekarang kau menelepon ku? Sialan!

Bajingan kau! Dasar bajingan tidak berguna dan tidak tahu terima kasih. Kau brengsek. Di mana kau? Katakan, aku akan membunuhmu!"

_ Ah, sial. Amera, meski aku tidak mati, riwayat ku sudah tamat. Jadi tenangkan dirimu.

"Yang benar-benar mati itu siapa, ha? Sekarang hidupku bagaimana, hah?!"

— Itu aku benar-benar minta maaf! Aku juga nyaris dipenjara!

"Apa?"

_ Amera, kau tidak terima pesan dariku?

"Pesan apa maksudmu?"

_ Si Ferdi berhasil kabur, dan sekarang kita semua akan habis. Kamu tidak terima pesan itu?

"Pesan apa! Jelaskan."

_ Kau tahu? Ternyata, si Ferdi yang membawa kabur uang suap itu, dan sekarang kita semua dalam bahaya! Sial, aku tidak seharusnya mempercayai orang itu.

"Hah? Apa?"

_ Sekarang masih tenang, tapi sebentar lagi berita akan keluar. Amelia juga sudah panik, dan kau? Kabarnya, keluarga Pratama sudah memutuskan hubungan dengan keluarga mu kan? Makanya, backingan itu yang paling penting, sialan.

"Kapan pemutusan hubungan itu terjadi?"

_ Kabarnya, sudah agak lama.

Amera merasa tubuhnya seperti kehilangan semua darah. Sepertinya ayahnya belum tahu, tapi itu hanya masalah waktu. Jika sampai diketahui, semua akan berakhir.

Amera semakin erat menggenggam hp nya.

Sebelum Ayahnya mengetahui semuanya, dia harus mendapatkan uang itu. Untuk kembali menutupi kasus ini.

Tapi, bagaimana caranya? Apa dia harus terpaksa melakukan cara lama.

Amera mengigit jarinya

Setidaknya, Almaira masih punya sedikit empati padanya, jadi jika dia mengatakan akan menikah, mungkin akan ada sesuatu yang dia dapat. Untuk itu, dia harus membujuk Almaira demi mendapatkan uang itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!