Agatha Aries Sandy dikejutkan oleh sebuah buku harian milik Larast, penggemar rahasianya yang tragis meninggal di depannya hingga membawanya kembali ke masa lalu sebagai Kapten Klub Judo di masa SMA.
Dengan kenangan yang kembali, Agatha harus menghadapi kembali kesalahan masa lalunya dan mencari kesempatan kedua untuk mengubah takdir yang telah ditentukan.
Akankah dia mampu mengubah jalan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya?
cover by perinfoannn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Save Larast
Jarum jam berdetak begitu lambat. Agatha, setelah berjibaku dengan tugas sekolah, menyandarkan diri di sofa, mencoba menikmati waktu dengan membaca catatan pelajaran dari sekolah tadi pagi.
Sejak kembali ke masa lalu, ia merasa seperti tak pernah benar-benar tidur. Setiap hari dilaluinya, namun kantuk seolah enggan menghampiri. Bukan sekadar insomnia, ia benar-benar terjaga di tengah malam, tanpa pernah merasa lelah di siang hari.
“Sejak kapan aku punya jam ini?” Agatha mengusap permukaan jam tangannya. Ia tak ingat pernah membelinya, namun jam itu selalu ada di pergelangan tangannya, tak bisa dilepas meski sudah dicoba berkali-kali. Seolah menyatu dengan kulitnya.
“Pukul 10 malam,” gumamnya, pikiran tentang Larast kembali menghantuinya.
Ia meletakkan buku di sofa, lalu dengan langkah hati-hati membuka pintu kamar. Matanya menyapu setiap sudut ruangan. “Apakah Ibu sudah tidur?” batinnya. Sesuatu mendorongnya untuk menemui Larast.
Klik!
Lampu ruang tamu menyala.
“Mau ke mana?” Suara ibunya dari belakang membuat Agatha terhenti.
Agatha menoleh, tersenyum tipis pada ibunya yang berkacak pinggang, menatapnya dengan tatapan mengancam.
“Aku... aku mau keluar sebentar, Bu. Cari udara segar,” jawab Agatha.
“Keluyuran terus tiap malam, memang kamu kelelawar! Masuk kamar!”Suara ibunya meninggi, membuat Agatha berlari kembali ke kamarnya.
“Haish…” keluh Agatha, menutup pintu kamar.
Cahaya biru terpancar dari jam tangannya, seolah memberi pertanda.
“Aku tidak bisa keluar rumah, Ibu masih di ruang tamu,” gerutu Agatha, memberitahukan jam tangannya bahwa ia tidak bisa keluar rumah kali ini. Jendela kamarnya berjeruji besi, hanya cukup untuk ventilasi. Dulu, ayahnya memasang jeruji itu setelah ia ketahuan ikut tawuran saat SMP.
—------------------------------------------------------
Sementara itu, di luar sana, Larast baru saja pulang dari pekerjaannya sebagai tukang cuci piring di restoran. Keluar dari restoran, ia mengamati sekeliling, berharap ada seseorang yang menjemputnya. Larast merogoh tasnya, melihat ponsel pemberian Agatha.
“Orang aneh, dia kasih aku ponselnya, tapi charger-nya tidak dibawa,” gumam Larast, melihat baterai ponselnya tinggal 10 persen.
Larast memasukkan kembali ponsel itu ke dalam tas. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju halte untuk menunggu bus. Hari ini, ia menerima upah. Larast tersenyum, membayangkan bisa membelikan makanan enak untuk ibunya malam ini.
Bus datang, ia segera naik dan duduk di dekat jendela, menatap lampu-lampu jalan.
“Beli ayam goreng atau ikan bakar?” gumamnya, tak sabar untuk segera tiba di depan gang rumahnya. Di sana ada kedai yang buka hingga pukul 1 dini hari.
Bus berhenti, Larast turun. Ia merasa khawatir karena gerimis mulai turun, takut ibunya menunggunya di luar pagar. Larast berlari kecil, melihat lampu kedai yang masih menyala. Senyumnya mengembang, ia mempercepat langkahnya.
Tiba di kedai, ia memesan dua potong ayam goreng dan satu ikan gurame bakar, beserta sambal bawang kesukaannya. Ia menunggu pesanannya sambil membuka tasnya lagi. Ponselnya masih menyala, tapi tidak ada tanda-tanda Agatha menghubunginya.
“Haish... kenapa aku jadi berharap.”
Kruyuukkk
Aroma ikan bakar menusuk hidung, membuat perut Larast berbunyi. Rasa lapar membuatnya sedikit gemetar.
“80 ribu, Kak,” ucap penjual.
Larast menoleh, mengeluarkan uang seratus ribu. Penjual mencari kembalian.
“Ini, Kak.” Dua lembar uang sepuluh ribuan diserahkan. Larast mengangguk, membawa dua kantong plastik di tangannya. Matanya menatap sekeliling, tampak sepi karena hujan.
Larast menutup kepalanya dengan tudung hoodie pemberian Agatha. Langkahnya dipercepat, ingin segera pulang dan makan malam bersama ibunya.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba tubuhnya membeku. Kilasan masa lalu muncul di benaknya, gambaran saat ia bertemu kakaknya dan dipukuli.
Beberapa menit kemudian, kilatan itu hilang. Larast hampir kehilangan keseimbangan. “Itu tidak mungkin, Aries bilang kakakku masih di penjara,” pikirnya. Ia mencoba mengabaikan peringatan itu.
Langkahnya kembali berlari.
Sebuah mobil Jeep berhenti mendadak, suara rem berdecit keras.
Kreeet!
Larast terkejut dan hampir terjatuh.
Brak!
Pintu mobil terbuka. “Bawa dia!” Suara seorang pria dari dalam mobil.
Dua orang pria keluar dari mobil, menarik tangan Larast. “Lepaskan!” teriak Larast, mencoba melawan.
“Berisik!” Seorang pria mengangkat tubuhnya masuk ke dalam mobil.
Brak! Pintu mobil kembali tertutup.
“Siapa kalian?” Larast terus meronta, menendang kaca mobil dengan keras.
“Diam! Atau kamu dan kakakmu akan kami bunuh malam ini juga!” gertak seorang pria yang duduk di kursi depan, menoleh ke arah Larast sambil menurunkan kacamatanya, mengamati tubuh Larast.
“Lepaskan!” teriak Larast. Kakinya terus menendang apa saja yang ada di sekitarnya.
“Diam!” ucap dua pria yang duduk di sampingnya, menyumpal mulut Larast dengan kain dan mengikat tangannya.
Larast melihat Aries berlari ke arah rumahnya dari luar jendela. Dengan kaki yang belum terikat, Larast menendang wajah pria di sebelah kanannya sekuat tenaga. Lalu, ketika mendapatkan celah, ia menendang jendela sekuat tenaga, memberikan tanda agar Aries melihat ke arahnya.
Dug! Dug! Dug!
“Sialan! Kakak dan adiknya sama saja pembuat masalah,” gerutu pria yang mendapatkan tendangan dari Larast.
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipi Larast, membuat Larast semakin arogan dan mendorong kuat kepalanya ke arah belakang. Membuat kepalanya, menekan tubuh pria di samping kirinya dengan kuat, kakinya kembali memberikan tendangan lebih keras ke arah pria di depannya.
Flashback on
Jam di tangan Agatha terus mengeluarkan cahaya biru, membuatnya khawatir tentang Larast. Ia membuka pintu kamar, melihat ibunya terkantuk-kantuk di depan televisi.
Dengan tenang, Agatha keluar dari kamar, berjalan melewati dapur, lalu keluar dari pintu belakang. Ia berlari ke arah garasi untuk mengambil sepedanya. Namun, pintu garasi terkunci. Ia frustasi, lalu mengacak-acak rambutnya. Agatha keluar dari pintu pagar rumahnya, berlari sekuat tenaga. Ia meminta tumpangan pada pengendara motor yang lewat.
“Biasanya sampai sini saja, Bang. Rumahku arah berlawanan soalnya,” ucap seorang yang memberikan tumpangan.
Agatha mengangguk, “Terima kasih, ya.”
Ia berlari sekuat tenaga, menaiki tanjakan menuju rumah Larast.
Hingga suara Dug! Dug! Dug! dari sebuah mobil mengalihkan pandangannya.
Flashback off
Bersambung.
Kira-kira apakah Agatha akan berhasil menyelamatkan Larast kali ini?
Jangan lupa untuk dukung Karyaku dengan berikan, like, subscribe, vote dan komentarnya. Terimakasih telah membaca cerita imajinasi othor.
eh itu jmnya nyla lgi sprt waktu dia mau pergi ke masa lalu ya .
ada apa iti?