Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Bab 17
“Galuh, bangun! Perawan-perawan malas bangun pagi. Sudah salat subuh itu jangan tidur lagi!”
Suara Nini Ika menggelegar seperti toa masjid yang volumenya lupa dikecilkan. Tangannya refleks menepuk pantat cucunya yang baru saja rebahan di ranjang.
“Niiiin ... aku masih ngantuk. Semalam begadang nonton Jet Li. Lagian subuh-subuh begini mau apa? Masih gelap di luar,” rengek Galuh, menyembunyikan wajah di balik bantal.
“Ke dapur, buat sarapan! Kamu ini sebentar lagi mau menikah. Harus cekatan jadi istri. Apalagi kalian sama-sama bekerja. Kalau malas-malasan begini, siapa yang akan mengurus suami kamu nanti? Belum lagi kalau kalian punya anak.”
Nada suara Nini Ika makin meninggi. Bagi warga kampung, ini sudah suara khas tiap pagi. Ada orang yang bilang, kalau suara Nini Ika tidak terdengar, pasti sedang sakit.
Bagja yang sedang mengaji di kamarnya bisa mendengar jelas. Dia menghela napas pendek, tersenyum simpul. Kalau pagi tanpa suara Nini Ika dan Galuh ribut, itu bukan pagi yang normal.
“Untung yang jadi suamiku nanti Bagja, Nin. Biar dia yang urus semua pekerjaan rumah. Katanya dia juga jago masak. Jadi—awww… sakit, Nin!” teriak Galuh meringis. Lengannya kena geplak sang nenek.
Bagja yang masih di kamarnya mendengarnya. Keningnya berkerut. “Lihat saja nanti, Galuh. Akan kubuat kamu jadi istri idaman, bukan istri malas-malasan.”
“Eh, Nin, jangan melakukan kekerasan terhadap cucu, ya! Ini pelanggaran hukum!” seru Galuh sembari menutup kepalanya dengan guling.
“Dasar mulut kamu kayak mercon! Mana ada cucu nuntut nenek sendiri. Hukum apaan!” Nini Ika membalas, suaranya makin melengking walau perutnya baru diisi air putih usai salat tahajud.
“Walau suami kamu jago masak, masa kamu mau duduk ongkang-ongkang tidak melakukan apa-apa. Apa kamu enggak mau jadi istri yang disayang suami? Menantu yang disayang sama mertua?”
Galuh akhirnya bangkit setengah malas, menggaruk kepala yang tak gatal. “Iya ... iya! Aku bangun.” Dengan langkah menyeret dan menghentakkan kaki pergi menuju dapur.
Di dapur, Mama Euis sudah sibuk memotong bumbu, aroma bawang putih dan cabai tumis tercium harum. Sementara Pak Dhika, duduk di meja makan sibuk menghitung pesanan grosir buah-buahan dari kota-kota besar.
“Nin, sudah ada Mamah yang masak,” ujar Galuh, senyum lebar seakan baru mendapat kabar gembira.
Mama Euis menoleh sebentar, matanya menyipit penuh arti. “Ambil sapu. Sapu halaman!”
“Masih gelap di luar, Mah,” jawab Galuh beralasan.
“Kalau begitu, cuci baju saja.” Mama Euis tersenyum manis, senyum yang di mata Galuh terasa lebih menakutkan daripada bentakan Nini Ika.
“Aku sapu halaman saja!” Buru-buru Galuh menjawab, lalu berlari ke pintu belakang. Sapu lidi di tangan, ogah-ogahan dia mulai menyapu halaman rumah yang masih diselimuti kabut pagi.
Dari dalam, Nini Ika mengomel lagi. “Dia itu sebentar lagi mau menikah, tapi masih saja malas melakukan pekerjaan rumah.”
Pak Dhika hanya tersenyum tipis. “Nin, nanti kalau sudah menikah, mau tidak mau Galuh akan melakukan pekerjaan rumah. Sekarang dia malas, tapi setelah nikah, suka atau tidak suka, pasti harus jalani sendiri.”
Nini Ika mendengus, mengambil tampolong, meracih seupah sambil geleng-geleng kepala. “Anak muda sekarang sukanya lelet. Harus disuruh-suruh dulu. Enggak peka dengan keadaan sekitar.”
Di halaman, Galuh bersenandung kecil, menyapu seadanya. Sesekali dia berhenti, menguap lebar. Matanya berat, sisa begadang semalam masih terasa. Kalau saja film Jet Li itu enggak seru, pasti aku sudah tidur cepat, pikirnya.
Tiba-tiba suara renyah menyapa.
“Ish, rajinnya calon istriku!”
Galuh menoleh cepat. Di pintu pagar belakang rumah sebelah, Bagja berdiri dengan senyum lebar. Baju koko putihnya masih rapi dan sarung motif kotak-kotak.
“Ya, iyalah! Sejak kapan aku jadi orang malas?” Galuh menggerutu, menegakkan badan seolah-olah dari tadi menyapu dengan penuh semangat.
Bagja terkekeh, langkahnya mendekat hingga berdiri di balik pagar pembatas rumah mereka. “Saking rajinnya, Nin Ika harus ngomel-ngomel dulu biar kamu bangun.”
“Kau…!” Galuh mendengus, menunjuk-nunjuk Bagja dengan ujung sapu lidi. “Jangan punya kebiasaan mencuri dengar pembicaraan orang lain.”
“Siapa yang mencuri dengar? Suara kalian itu saking kerasnya, kedengaran sampai rumah tetangga. Aku mah enggak usah pasang kuping, otomatis nyampe.” Bagja berbisik dengan tatapan jahil.
Galuh mendekat, mengacungkan sapu lidi seperti pendekar menantang duel. “Mau, hah? Gelud sama aku pagi-pagi?”
Bagja tertawa kecil, menahan diri agar tidak terbahak. “Sekarang kita sudah besar, Galuh. Sudah bukan zamannya perang sapu.”
Mata Galuh menyipit. Ingatannya melayang pada masa kecil. Sejak masih pakai popok, mereka memang sering ribut. Galuh selalu jadi biang kerok, sementara Bagja yang awalnya kalem akan meledak kalau sudah diprovokasi.
“Awas saja, Bagja. Nanti kalau kamu jadi suamiku, aku tetap bakal pakai sapu lidi buat nimpuk kamu,” ujar Galuh sambil manyun.
“Tenang saja,” jawab Bagja dengan nada menggoda. “Aku sudah siap dengan tameng ... tameng cinta dan kesabaran ku yang seluas tujuh samudera dan tujuh benua.”
Galuh melotot, lalu melempar sapu lidi ke tanah. Bagja terkekeh lagi, lalu melangkah pergi dengan santai. Galuh mendengus kesal, tetapi di ujung bibirnya terselip senyum yang tak bisa dia tahan karena merasa menang.
"Dasar Bagja! Selalu saja tahu cara bikin aku naik darah, tapi kenapa lihat tawa dia barusan jantung aku jadi deg-degan."
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....