Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Suasana makan malam di meja makan keluarga Deva, terasa dingin dan mencekam. Aroma masakan yang dihidangkan tak bisa lagi menggoda selera makannya, Deva benar-benar kehilangan nafsu makan setelah mendengar jawaban ayahnya barusan.
Suara sendok yang beradu dengan piring, kini sudah tergeletak tanpa Deva sentuh lagi. Deva tampak gelisah, pandangannya beralih dari hidangan di depannya dan sosok Sera, yang kini sudah duduk di samping Gio.
Wajah Sera terlihat polos dan ramah, ciri khas yang lumrah bagi peran protagonis di kebanyakan novel romansa. Namun, dia yang belum tahu sifat asli karakter Sera merasa cemas jika gadis itu bermuka dua.
"Dad," Deva memulai dengan nada serius, membuat perhatian semua orang tertuju kepadanya. "Boleh aku tanya sesuatu?"
Sang daddy, yang sedang menyesap kopi, segera menatap Deva dengan penuh rasa ingin tahu. "Tentu, Nak. Ada apa?"
Deva menghela napas, sedikit ragu. "Kenapa Sera bisa tinggal di rumah kita? dan bukankah seharusnya dia kembali ke rumahnya? aku nggak mungkin salah ingat, kan kalau Sera masih memiliki orang tua."
Sera yang mendengar pertanyaan itu, menundukkan kepala, sementara Dion tersenyum lembut tapi senyumnya sama sekali tidak membuat Deva merasa tenang.
"Dev, kadang-kadang situasi nggak berjalan seperti yang kita inginkan. Sera butuh tempat untuk beristirahat dan merasa aman saat ini. Dan mungkin kamu lupa, tapi orang tua Sera baru saja meninggal dua minggu yang lalu."
Penjelasan itu menampar Deva tanpa ampun, "Me-meninggal? Daddy pasti bercanda, kan?"
"Untuk apa?" Dion menatap putrinya dengan raut keheranan. "Kita sudah ke pemakamannya juga, masa kamu lupa? Apa jangan-jangan kamu amnesia?"
"Tapi, Dad," melanjutkan dengan tegas. "Meski dia yatim piatu, dia kan bisa tinggal di rumahnya. Kenapa harus di sini? Dan aku nggak amnesia cuma lupa aja."
Dio mengangguk, memahami kekhawatiran putrinya. "Daddy tahu, Dev. Tapi, Daddy punya hutang budi pada orang tua Sera. Lagi pula rumah kita besar dan masih banyak kamar kosong di sini, mulai sekarang kita adalah keluarga. Menolong satu sama lain adalah bagian dari bentuk kemanusiaan. Sera sedang menghadapi masa yang sulit, dan kita harus bisa membantunya."
Membantu dari mananya? Yang ada gue bisa mati lebih cepat. Pikir Deva jengkel.
Namun, Deva hanya bisa merenung, menatap Sera yang kini mengangkat kepala dan menatapnya. "Gue ngerti kalo lo nggak suka sama gue, Dev. Gue minta maaf karena bikin lo nggak nyaman."
"Udah tahu pake nanya, minimal minggat kek. Maaf aja nggak bikin mood gue bagus."
Jawaban itu spontan keluar dari bibir Deva, dia yang memang memiliki sifat blak-blakan menunjukan rasa tidak sukanya secara jelas. Namun, Dion yang tak ingin terjadi keributan lebih panjang langsung menyentuh lengan Deva.
"Dev, jangan begitu. Daddy nggak pernah ngajarin kamu bersikap nggak sopan kayak gini." Tegur Dion.
Deva mendengus sebal, dan membuang wajahnya ke samping mengabaikan tatapan benci dari kedua kakaknya dan juga tatapan ayahnya.
"Sera, jangan di ambil hati ucapan Deva, ya." Dion menjawab lembut.
Deva yang kepalang jengkel ikut bersuara. "Ambil aja empedunya biar pahit."
"Deva, cukup." Kata Dion dingin. "Kita bisa bicarakan ini lebih lanjut. Sekarang kamu habiskan dulu makananmu."
Namun, Deva menggeleng. Dia mendorong kursi ke belakang, dan berpamitan pada ayahnya untuk kembali ke dalam kamar.
"Aku ngantuk, mau istirahat dulu, Dad." Pamitnya.
Tanpa menunggu jawaban dari ayahnya, Deva berjalan menuju arah tangga. Kepalanya mendadak kosong, seakan ada luka yang tak dia ketahui.
"Kenapa dada gue sakit? padahal gue nggak punya riwayat penyakit jantung." Gumamnya, sambil menyentuh bagian dada yang berdenyut nyeri sejak tadi.
Sesampainya di dalam kamar, Deva membuka buku diari yang ada di nakas. Begitu dia membuka bukunya, sebuah tulisan yang baru dia lihat muncul secara mendadak.
'Kehadirannya membuatku terasingkan, dan kemunculannya membawaku ke dalam kematian.'
Bait kata itu, seakan menggambarkan luka yang begitu dalam. Namun, saat Deva membuka halaman selanjutnya dia tidak menemui tulisan lagi.
"Lah cuma segini? apa Deva yang asli nggak suka nulis diari kayak di novel-novel lain gru?" ujarnya merasa heran.
Jika biasanya selalu ada petunjuk dari diari milik raga yang di rasuki, kini Deva tidak mendapatkannya dia seperti orang hilang di dunia entah berantah tersebut.
Deva menutup buku diari itu dengan pelan, pikirannya masih terjebak pada kalimat misterius yang baru saja di bacanya.
Dia merasakan angin dingin dari jendela yang terbuka sedikit, seolah menyampaikan pesan dari dunia luar. Namun, rasa sakit di dadanya terus berdenyut, membuat dia semakin gelisah.
Dia beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke jendela, menatap ke luar. Malam sudah larut, lampu-lampu dari rumah tetangga berkelap-kelip, menciptakan suasana sepi yang membuatnya merasa semakin terasingkan.
"Apa yang sebenarnya terjadi sama tubuh ini, ya?" Deva bergumam, suara hatinya seolah terjebak dalam kesunyian.
Deva mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi pesan. Dia melihat beberapa notifikasi dari teman-temannya, tetapi tak ada satu pun yang mampu menarik perhatiannya.
Dalam benaknya, hanya ada satu sosok yang mengisi ruang kosong itu sosok yang membuatnya merasa terasing, sekaligus memicu rasa sakit yang tak terjelaskan.
Sebuah pesan muncul di layar, dari Elliot. "Dev, kita perlu bicara."
Pesan itu membuat jantungnya berdegup kencang. Rasa khawatir dan penasaran bercampur aduk. Dia menatap nama yang tertera di layar ponselnya, Elliot Hernandes. Menurut ingatan yang dia dapat, Elliot merupakan tunangannya. Namun dia tak ingat ada kejadian apa, sebelum dia masuk ke dalam tubuh Deva.
Dengan napas dalam, Deva membalas, "Kapan? dimana?"
Setelah mengirimkan pesan, dia merasakan denyut di dadanya sedikit mereda, namun rasa penasaran itu justru semakin membara.
Setelah beberapa menit menunggu, balasan dari Elliot pun datang. "Besok, di taman dekat kampus. Jam empat sore."
Deva menatap jam dinding. Waktu terasa berjalan lambat, seakan setiap detiknya adalah beban yang harus dia angkut.
"Nggak bakal terjadi hal buruk sama gue, kan?" Gumam Deva ragu, lalu membalas pesan Elliot singkat. "Semoga besok gue masih hidup, ya, setidaknya sampai gue tahu kenapa gue bisa nyasar di tubuh ini."