Niat hati hanya ingin membalas perbuatan sepupunya yang jahat, tetapi Arin justru menemukan kenyataan yang mengejutkan. Ternyata kemalangan yang menimpanya adalah sebuah kesengajaan yang sudah direncanakan oleh keluarga terdekatnya. Mereka tega menyingkirkan gadis itu demi merebut harta warisan orang tuanya.
Bagaimana Arin merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nita kinanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Perempuan Ini?!
Arin meninggalkan Ken berlutut tanpa jawaban. Arin sendiri tidak tahu apakah kelak dia akan bisa memaafkan laki-laki itu.
Baru juga dia kehilangan Darsih, lalu menemukan kenyataan tentang keluarganya, kini muncul Ken yang membuka luka lama dalam hatinya.
Kenapa harus sekarang, Ken?
Setelah pertemuannya dengan Ken, Arin hanya mengurung diri di kamarnya. Dia memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Haruskah dia menerima Ken sebagai pengacaranya atau mencari orang lain saja.
Arin menatap langit-langit kamarnya yang sudah rapuh. Dulu dia ingin merenovasi rumah ini, tapi Darsih melarangnya. Sekarang Arin mengerti keinginan almarhum ibunya itu. Sama seperti Darsih, sekarang Arin juga ingin mempertahankan rumah ini seperti apa adanya. Arin takut jika rumah ini dirubah, kenangannya bersama Darsih akan hilang.
Arin teringat ketika dulu Darsih menjadi buruh cuci piring di sebuah rumah makan. Hari pertama Darsih bekerja, dia pulang membawa makanan sisa dari rumah makan itu.
"Makanlah, kamu pasti lapar," ucapnya memberikan bungkusan berisi makanan kepada Arin.
Arin mengangguk. Segera dia menyantap makanan yang Darsih bawa tanpa banyak bicara.
"Ibu tidak makan?" tanya Arin karena Darsih terus melihatnya.
"Ibu sudah makan, tadi di sana," jawab Darsih, menelan saliva.
Dan setelah malam itu, hampir setiap malam Darsih pulang membawa makanan sisa dari rumah makan tempatnya bekerja. Pemilik rumah makan mengetahui kondisi Darsih lalu memberikan apa yang masih tersisa kepada Darsih daripada membuangnya.
Terkadang makanan itu hanya cukup untuk Arin makan sendirian, tetapi kadang bisa untuk makan mereka berdua, bahkan sampai keesokan harinya.
Darsih selalu meminta Arin menghabiskan makanan yang dia bawa.
"Habiskan, ya, Rin! Jangan buang-buang makanan, sayang!" Itu yang selalu Darsih katakan.
Arin kecil menganggukinya karena dia tahu bagaimana rasanya menahan lapar dan tidak ada sesuatu untuk dimakan, seperti ketika Darsih sakit beberapa waktu sebelumnya.
Tubuh Arin yang kurus kering sejak tinggal bersama Darsih itupun kembali berisi, bahkan perlahan berubah menjadi gendut.
Dan entah kenapa hal ini mengingatkan Arin kepada pamannya. Masa kecil menyedihkan itu tidak akan terjadi jika pamannya tidak serakah dan merebut semua yang Arin punya.
Tiba-tiba saja muncul keinginan untuk pergi ke kediaman Laksmana. Ini waktunya makan malam. Tentu semua orang sedang berkumpul dan menikmati makan bersama.
Tanpa berpikir panjang Arin memanggil taksi untuk membawanya ke rumah Laksmana.
Tepat seperti dugaan Arin, keluarga Laksmana sedang makan malam ketika dia tiba di sana.
Jik biasanya Arin langsung masuk melalui pintu khusus, kali ini Arin mengetuk pintu depan, seperti tamu pada umumnya.
"Apa kau tidak tahu ini waktunya makan malam?" sambut pembantu dengan wajah masam. "Mau apa? Mau numpang makan? Apa setelah Darsih meninggal kamu tidak bisa makan?!" ketusnya.
Arin menatap datar pembantu itu. Arin terlalu malas untuk meladeninya. Nanti kalau rumah ini sudah kembali menjadi miliknya, Arin akan pecat semua pembantu di rumah ini tanpa terkecuali.
Arin ingin menerobos masuk tetapi pembantu itu menahannya. "Tuan sekeluarga sedang tidak menerima tamu. Mereka sedang makan malam!" ucap pembantu itu dengan mata mendelik penuh kebencian.
"Aku tahu, tapi aku tidak peduli!" Arin tetap ingin masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan Pandu.
"Dasar anak tidak tahu diri! Aku bilang jangan masuk!" hardik pembantu itu sembari mendorong Arin agar tidak masuk ke dalam rumah.
"Setelah menjadi benalu bagi Darsih sekarang kamu mau menjadi benalu di rumah ini? Kamu kemari cuma mau numpang makan, kan? Kamu itu sudah dewasa! Seharusnya kamu bisa bekerja dan menghasilkan uang! Kasihan Darsih, sampai akhir hidupnya dia harus kesusahan karena kamu!"
Arin benar-benar geram. Pembantu ini seperti tidak pernah bosan menghinanya.
"Siapa bilang aku tidak bekerja? Kamu tidak tahu berapa isi rekening ibuku sebelum dia meninggal, karena aku mengirimnya uang setiap bulan! Aku bahkan bisa membeli mulutmu itu dengan uangku! Sekarang minggir, atau aku robek-robek mulutmu!" ucap Arin tajam, tetapi tatapannya jauh lebih mencekam.
Pembantu itu terdiam ketakukan, lalu bergeser pelan. Belum pernah dia melihat Arin seperti ini sebelumnya.
Arin masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ruang makan. Pasti Fatma akan menganggapnya tidak sopan, tapi Arin tidak peduli.
Arin menatap Pandu yang belum menyadari kedatangannya. Kalau dulu Arin ingin berlari memeluknya, sekarang Arin ingin berlari menikamnya.
"Selamat malam, Om," sapa Arin dengan wajah pura-pura polosnya. Sorot mata mencekam yang tadi dia tunjukkan kepada pembantu pun sudah dia buang, berganti dengan tatapan polos tanpa dosa.
Arin hanya menyapa Pandu, padahal ada Fatma, Tania dan juga... Gama.
Gama? Ah... Ada dia, kenapa aku tidak melihat mobilnya di depan? batin Arin.
Semua orang menoleh.
"Loh, Rin? Kapan kamu datang?" Pandu langsung menyahut.
"Bertamu kok di jam makan malam?! Sangat tidak sopan!" gumam Fatma, seperti yang Arin duga. Perempuan itu melirik Arin sekilas lalu kembali fokus ke makanannya.
Tania seperti tidak menganggap Arin ada. Di bahkan tidak repot-repot menoleh. untuk melihatnya.
Sementara Gama, kedatangan Arin langsung menyita perhatiannya. Tanpa riasan, dengan pakaian seadanya, rambut juga diikat asal. Entah kenapa melihat Arin seperti ini sangat menarik di mata Gama yang selalu melihat Tania on make up.
"Kamu sudah makan, Rin? Sini bergabunglah bersama kami," Pandu menawari Arin untuk makan bersama.
"Kebetulan belum, Om," jawab Arin pura-pura malu. "Aku di rumah tidak ada teman, jadi aku kemari," lanjut Arin.
"Bukan kebetulan, bilang saja kalau kamu kemari memang ingin numpang makan," celetuk Tania tidak suka.
"Ssstttt... " Pandu meletakkan telunjuknya di bibir, meminta Tania untuk diam.
"Memang benar, kan, Pa? Apa gajimu bekerja di pabrik itu tidak cukup untuk membeli makan? Apa jangan-jangan kamu sudah di pecat?!"
"Tania!" seru Pandu sambil mengarahkan tatapan tajam kepada Tania.
Mungkin dulu Arin akan tersentuh melihat Pandu membelanya seperti ini. Tetapi sekarang, setelah mengetahui semuanya, Arin hanya bisa menahan tawa.
Ini adalah sandiwara yang berhasil menipu Arin selama belasan tahun lamanya. Mata Arin tertutup oleh sikap hangat Pandu yang ternyata hanya topeng di depannya.
"Sudah, jangan dengarkan Tania. Kamu duduk saja, dan ikut makan bersama kami!"
Tanpa ragu, Arin langsung duduk di kursi kosong tepat di depan Gama. "Hai, Gama," sapanya centil. Gama sampai hampir tersedak dibuatnya. Bisa-bisanya Arin menggodanya di depan Tania dan juga calon mertuanya.
"Perempuan ini!" batin Gama antara geram dan gemas.
Baru tadi pagi dia bertemu Arin yang dingin dan misterius, sekarang sudah berubah menjadi Arin yang gatal dan menggoda.