Menyukai seseorang tanpa tahu balasannya?
tapi dapatku nikmati rasanya. Hanya meraba, lalu aku langsung menyimpulkan nya.
sepert itukah cara rasa bekerja?
ini tentang rasa yang aku sembunyikan namun tanpa sadar aku tampakkan.
ini tentang rasa yang kadang ingin aku tampakkan karena tidak tahan tapi selalu tercegat oleh ketidakmampuan mengungkapkan nya
ini tentang rasaku yang belum tentu rasanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asrar Atma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jajan tidak menarik
Pov Haneul Kamandaka
Bel berbunyi pertanda jam istirahat telah tiba, aku membereskan semua peralatan tulis ku. Memasukkan semuanya ke dalam tas dikolong meja.
"Ngga usah ke kantin kamu Han, kaki kanan masih jadi beban. Itu tongkat juga bisa ganggu" perasaan ku belum cukup baik hari ini, jadi kita mendapatkan saran itu,rasanya sangat memuakkan.
"Ngga usah ngatur!" Dan Dimas cukup peka, untuk tidak mengganggu lebih jauh.
"Ngerti Han, langsung pergi saja kami ini. Ayo Gat!"dia sampai mendorong punggung Gato, karena ingin cepat menghilang dari hadapanku, tapi Gato bukanlah sekutu yang tepat untuknya.
"Mau titip sesuatu ngga Han?" Aku menyadarkan punggungku ke kursi, dengan mata melirik pada Daniza yang akan ditinggalkan teman-teman nya ke kantin.
"Titip jajan apa saja, yang banyak" aku lalu merogoh saku kantong, mengeluarkan uang seratus sebanyak dua lembar dan menggeser benda itu diatas meja. Gato menganguk seraya mengambil uangnya, sementara Dimas menganguk kecil padaku dengan sedikit tersenyum.
"Ayo Gat! Haneul lagi sensi kayanya, lihat aja matanya tajam sekali, suaranya juga ngga bersahabat kedengarannya"belum jauh keduanya melangkah tapi Dimas sudah membicarakan ku, sementara Rina yang duduk di kursi sebelah memutar tubuhnya, menghadap penuh ke arah ku.
"Memang benar kamu lagi sensitif? Karena apa, ngga nyaman yaa begini? Oke...aku ngerti tapi ngga apa Han, ini akan cepat sembuh kok" Daniza berdiri dan melangkah keluar, mau kemana dia? aku pun berdiri dan Rina ikut berdiri, tanpa sadar aku mendengus, lalu Rina kembali duduk. Bagus, kalau dia mengerti.
"Ke toilet!" Ucap ku sebelum mulutnya yang sudah terbuka, sempat bersuara, "Perlu bantuan?" Aku menoleh dari balik pundak ku, "Aku masih bisa memegang nya sendiri" dan wajahnya berubah merona saat mendengar jawaban ku.
Aku berdiri didepan pintu toilet, menunggu seseorang yang ku yakini ada didalam sana dari diantara tiga ruang toilet yang berjejer. Ini seperti waktu itu, ketika aku menunggunya keluar untuk memberikan secarik kertas berisi rumus aritmatika.
Daniza yang tidak berani mendongak, membuatku ingin menjambak rambutnya, agar dapat ku lihat tatapan matanya. Tubuhnya yang mematung ditempat dan tangannya yang ku tarik, ingin sekali ku seret sekalian ke toilet.
Aku gila...dan Daniza cukup beruntung hari itu, aku masih mampu berpikir waras padahal dia tengah berurusan dengan ku ditempat seperti ini, diwaktu sekolah yang sepi.
Pintu toilet paling ujung terbuka, seseorang lelaki yang sering disebut Dimas, Koko Cina keluar, mata kami bertemu sebentar sebelum dia melangkah pergi.
Tidak lama setelah itu,pintu dihadapanku terbuka, seseorang yang ku tunggu pun keluar. Daniza keluar dengan pandangan tertunduk dan tanpa bisa ku lihat tatapannya dia melangkah melewati ku" Daniza...." dia berhenti tapi tidak menoleh, juga tidak menjawab panggilan ku.
"Cardigan yang kamu tinggal, kapan kamu baru ingat? apa ketika kamu sudah sampai rumah?" Pertanyaan ini bukanlah sesuatu yang penting, hanya satu alasan mengapa aku memanggil nya, jika orang lain yang sekarang dihadapanku, aku tidak perlu repot-repot mengutarakan Pertanyaan omong kosong ini, aku hanya cukup menjauh dari seseorang yang sulit itu, tapi karena orang itu Daniza maka aku perlu menunggu didepan pintu toilet hanya untuk tahu mengapa dia hampir tidak melihat padaku hari ini.
"Iya" Satu kata yang begitu singkat untuk pertanyaan barusan, lalu dia melangkah menjauh begitu saja. Lain kali tidak perlu menjawab biar ku buat bungkam sekalian.
Aku kembali ke kelas saat seluruh urusan ku di toilet sudah selesai, dan aku dapati Daniza duduk dikursi nya dengan memegang novel berjudul 'Jawaban untuk-' tidak terlihat tertutup jarinya.
Matanya tidak sedikit pun berpaling dari apa yang dia baca, apa seru nya cerita itu? Sementara di tempat ku belajar, Rina duduk disamping kursi ku, dengan bekal dan sebotol air diatas meja- dia duduk ditempat Gato belajar.
Rina tersenyum kepadaku hingga seluruh giginya terlihat, tapi aku kesulitan menarik sudut bibir ku hari ini-setelah melihat sikap Daniza yang acuh tak acuh.
"Han...aku nunggu kamu makan bareng " bahkan untuk bersikap ramah, "Makan saja duluan, aku lagi ngga berselera" jawabku pada tawaran itu, lalu duduk dikursi ku sambil melirik Daniza yang sekarang malah memutar posisi duduknya- membelakangi ku.
"Sedikit saja Han, biar cepat sembuh "dan lebih parahnya aku lupa berlaku sopan
"Jangan memaksa!"
"Yaudah kalo gitu, aku makan sendiri saja suaranya berubah sedih, dia kecewa? Tidak penting! Apapun yang dia rasakan.
Suasana berubah hening, Rina makan dengan diam, sedangkan Daniza, hanya punggungnya yang dapat ku tatap. Apakah yang membuat sikap nya, demikian?
"Titipan mu Han!" Gato datang bersama Dimas dengan membawa tiga kantong kresek berwarna putih, " Uangmu aku habiskan semua, ngga masalah bukan?" Aku berdiri dan mengambil salah satu kresek dari tangan Gato, "Tolong bantu aku, bagikan ke meja yang lain " aku berjalan menghampiri barisan meja Daniza.
Dimeja paling depan, milik Aca dan Lani aku memberikan satu kotak minuman kacang hijau, satu potong roti, dan satu cemilan Taro pada masing-masing meja, lalu berhenti dihadapan Daniza.
"Daniza...tolong titip, berikan pada Winda nanti" aku menyerahkan porsi yang sama, dan dia hanya mengangguk seraya menggeser milik Winda ke meja sebelah, tanpa sedikit pun tertarik untuk melihat apa yang ku lakukan.
Tingkah Daniza yang ini lebih aneh dibandingkan waktu, dimana hari aku memberikan traktiran yang lain, saat aku bertanya padanya dia masih menjawab, masih menoleh dan menatap ku dengan binar matanya, juga masih gugup.
Sampai aku menarik napas dan menghembuskan lewat mulut hanya untuk mencegah tawaku lolos karena tingkahnya hari itu yang membuatku merasa lelah sekaligus gemas saat berbicara dengannya.
" Nggak usah mentraktir aku, aku masih kenyang dan nggak mau apapun" Tapi tetap saja jawabannya tanpa basa basi dan ada kilatan marah dimatanya pada waktu itu.
Namun sekarang jangankan mendengar suaranya bahkan tatapan matanya pun tidak ku dapatkan. Aku lantas kembali ke mejaku saat pembagian itu berhenti dimeja terakhir,dan bergabung dengan mereka.
Rina yang mengadu kelakuanku pada Gato yang tidak mau makan, sementara Dimas dibelakang sibuk dengan game.
"Makan sedikit saja, Han!" aku menurut kali ini, lalu mengambil kotak bekal ku dikolong meja. Yang berisi nasi putih,dan telor ceplok. Lalu memasukannya ke dalam mulut, baru beberapa suap dan harus berhenti, karena pertanyaan Rina "Itu masakan Bibi Fatwa, yaa? Boleh aku coba" aku mendorong pelan kotak bekal yang baru kali ini aku bawa setelah hampir 14 tahun sekolah.
"Sendok itu sudah bekas ku, apa ngga masalah buat kamu?" Rina terdiam sebentar, lalu tanpa ragu memasukan sendok yang memuat nasi dan telur itu kedalam mulut nya."Enak Han!" dia menyendok lagi sambil bergumam tidak jelas, dan aku terkekeh karena nya.
"Itu seperti ciuman tidak langsung" mata Rina terbelalak mendengar pernyataan Gato, yang langsung menunjuk sendok yang dipakai Rina.
"Han...kamu ngga masalah?"Pertanyaan yang aneh, sudah jelas aku tidak melarang nya tadi, malah aku bertanya tentang kenyamanan nya. Membuatku mengulangi lagi, "Bagaimana dengan mu?" dia mengerjap lalu untuk seperkian detik bibirnya berkedut, nampak hendak tersenyum namun dia menahannya dan malah mengalihkan topik dengan ingin ke toilet dibandingkan menjawab pertanyaan balasanku.
"Rina, aku minta maaf untuk kalimat kasar ku yang tadi" kataku seraya menatapnya saat teringat bagaimana aku merespon tawarannya untuk makan, dia berdiri dan hanya mengangguk sebelum beranjak keluar.
aaaaaaa aku tak sanggup menungguuuu