NovelToon NovelToon
TERJEBAK DI DALAM PELUKAN MANIPULASI By NADA

TERJEBAK DI DALAM PELUKAN MANIPULASI By NADA

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Trauma masa lalu / Kekasih misterius
Popularitas:456
Nilai: 5
Nama Author: nandra 999

Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .

Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.

Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.

Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.

Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab - 17 Detik yang Menentukan

Hujan turun sejak pagi, seperti ikut meresapi ketegangan yang membungkus seluruh tubuh Aira. Ini bukan hujan biasa—ia seperti isyarat bahwa hari ini akan berbeda. Bahwa sesuatu akan berubah.

Aira bangun lebih awal. Ia menyetrika baju Gibran dengan teliti, menyiapkan sarapan seperti biasa, dan mengusap meja makan hingga bersih tanpa noda. Semuanya harus terlihat normal. Ia tak boleh memberi celah.

Jantungnya berdegup kencang sejak semalam. Setiap detik serasa menghantam dadanya. Tapi wajah Aira tetap tenang.

Ia sudah berlatih berminggu-minggu untuk ini—untuk menyembunyikan perang yang sedang terjadi di dalam dirinya.

Pukul 16.00, Gibran bersiap keluar. Katanya ingin ke bengkel sebentar. Seperti biasanya, ia mengenakan jaket hitam dan sandal jepit. Sebelum melangkah keluar, ia sempat menoleh ke arah Aira.

"Kamu jangan macem-macem. Aku cuma sebentar. Nanti pulang bawa gorengan,”

ucapnya sambil menyeringai.

Aira mengangguk dan pura-pura tersenyum. “Hati-hati, Mas.”

Begitu pintu tertutup dan suara motor menjauh, Aira menutup semua tirai.

Tangannya langsung meraih tas kecil dari balik loteng belakang. Tas itu sudah disiapkan semalam: berisi uang receh, salinan KTP, foto anaknya, dan pakaian dalam.

Ia mengganti baju dengan cepat, mengenakan jaket tua berwarna abu-abu dan masker kain lusuh untuk menutupi wajahnya. Rambutnya dikuncir rendah dan disembunyikan di balik hoodie.

Aira memejamkan mata sebentar, menarik napas panjang, dan berkata pelan:

“Aku bisa. Aku harus bisa.”

Langkahnya cepat, ringan, tapi gemetar.

Ia keluar lewat pintu belakang, melewati gang sempit di sisi rumah, lalu menyelinap ke jalan kecil menuju minimarket yang telah disepakati. Di sepanjang jalan, langkah kakinya seperti dihitung oleh waktu.

Jalanan terasa begitu panjang meski hanya beberapa meter dari rumah. Ia memeluk tas kecilnya erat-erat, seolah itu satu-satunya hal yang tersisa dari dirinya.

Setiap langkah seolah dihitung oleh semesta. Setiap suara klakson, derit sepeda motor, atau suara anak kecil bermain membuat Aira terlonjak. Matanya terus menoleh ke belakang, seolah bayangan Gibran bisa muncul dari mana saja.

Sesampainya di minimarket dekat jembatan, Aira berdiri di antara rak sabun dan minyak goreng. Ia berpura-pura memilih barang, padahal jantungnya hampir meledak.

Ia mengirim pesan ke admin Mawar:

“Aku di sini.”

Tiga menit. Lima menit. Tidak ada yang datang.

Aira mulai panik.

Tiba-tiba, suara motor berhenti di luar. Aira membeku. Detik itu terasa seperti satu abad. Ia nyaris menjatuhkan botol sabun dari tangannya..

Tapi lalu...

Seorang perempuan bertubuh kecil dengan jaket jeans masuk dan mendekatinya.

"Aira?" bisiknya cepat.

Aira mengangguk.

"Ayo cepat. Mobil nunggu di belakang."

Aira mengikuti tanpa bertanya. Di belakang minimarket, sebuah mobil abu-abu tua terparkir. Seorang pria paruh baya membuka pintu belakang dan menyuruh Aira masuk tanpa suara.

Saat mobil mulai bergerak, Aira menangis. Bukan karena sedih.

Tapi karena ia benar-benar keluar. 

Ia berhasil.

Tangisnya pecah di tengah suara mesin mobil yang bergemuruh pelan. Selama ini, ia hidup dalam ketakutan, di bawah bayang-bayang ancaman dan kekerasan.

Tapi kini, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa udara yang dihirupnya adalah miliknya sendiri.

Namun belum sampai satu kilometer dari lokasi, ponsel Aira bergetar. Nama Gibran muncul.

Aira tidak menjawab.

Lalu pesan-pesan masuk bertubi-tubi:

"Kamu di mana?!"

"Aku udah bilang jangan macem-macem!!"

"JAWAB, AIRA!!"

Aira mematikan ponsel. Tangannya gemetar, tapi ia tahu, ini yang harus ia lakukan.

Ia membungkus ponsel itu dengan kain, lalu melemparkannya keluar jendela kecil mobil.

Ia tidak akan kembali.

Tidak akan menyerah.

Di dalam mobil, ia mencoba menenangkan diri. Perempuan yang menjemputnya, bernama Sinta, duduk di samping sopir dan sesekali menoleh padanya.

"Kamu sudah melakukan hal yang benar, Aira. Kami sudah menunggu ini sejak lama. Kamu tidak sendirian sekarang."

Kalimat itu membuat air mata Aira kembali mengalir. Baru kali ini, ia merasa ada yang benar-benar berpihak padanya. Tidak menyalahkan, tidak menuntut, hanya… mendampingi.

Mobil itu membawanya ke sebuah rumah aman—tempat yang tak disebutkan lokasinya, disediakan oleh jaringan penyintas yang ia hubungi lewat admin Mawar.

Rumah itu tidak mewah.

Tapi hangat.

Ada aroma teh manis dan wangi minyak kayu putih.

Seorang ibu paruh baya menyambutnya dengan pelukan yang lembut.

"Kamu aman sekarang, Nak. Kamu sudah sangat berani."

Aira menangis sejadi-jadinya di pelukan perempuan itu.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama,

ia menangis bukan karena dipukul atau disakiti—tapi karena merasa selamat.

Malam pertama, Aira tidur sambil memeluk tas kecilnya. Ia terbangun beberapa kali karena mimpi buruk, tapi kali ini ia tidak bangun di tempat yang menakutkan. Tidak ada suara pintu dibanting.

Tidak ada teriakan atau ancaman. Hanya keheningan, dan suara hujan di luar yang menenangkan.

Beberapa hari kemudian, Aira mulai terbiasa dengan tempat barunya. Ia tidur lebih tenang. Luka-lukanya mulai mengering.

Dan yang paling penting: ia mulai merasa hidup.

Ia mulai menulis lagi.

Tapi kali ini bukan sebagai pelarian. Ia menulis untuk menyuarakan.

Setiap malam, ia mengetik kisahnya. Tentang rasa sakit.

Tentang kekerasan.

Tentang bagaimana ia bertahan.

Dan suatu hari nanti, ia tahu, tulisannya akan sampai ke tangan perempuan lain yang sedang terjebak seperti dirinya.

Dan dari balik layar, Aira akan berbisik:

“Kamu tidak sendiri. Aku pernah jadi kamu. Dan kita bisa bebas.”

Ia juga mulai membantu di rumah aman itu. Membantu menyiapkan makanan, mencuci pakaian bersama perempuan lain yang juga sedang memulai ulang hidup mereka. Aira merasa tidak sendiri.

Di sana, ia melihat banyak perempuan lain dengan kisah berbeda, tapi luka yang sama.

Perlahan, Aira belajar bahwa luka memang tidak bisa langsung hilang. Tapi bisa sembuh. Sedikit demi sedikit.

Dengan waktu.

Dengan keberanian.

Dengan dukungan.

Ia bahkan mulai mengikuti sesi konseling kelompok.

Di sana, ia duduk bersama perempuan-perempuan yang wajahnya mungkin asing, tapi hatinya saling terhubung.

Mereka berbagi cerita, saling menguatkan, dan mengangkat satu sama lain dari gelap yang sama.

Aira mulai punya harapan baru:

suatu hari nanti, ia ingin membantu perempuan lain yang juga sedang berjuang. Ia ingin membentuk ruang aman sendiri, tempat mereka bisa didengar, dipeluk, dan dihargai.

Hari itu, ia berdiri di depan cermin kecil di kamar rumah aman itu. Wajahnya masih pucat, tapi matanya tajam.

Tidak ada lagi perempuan yang takut dengan suara pintu dibanting. Tidak ada lagi istri yang memohon agar tidak dipukul.

Kini, di hadapan cermin itu, berdiri seorang perempuan yang pernah jatuh, tapi memilih untuk bangkit.

Dan hari ini, ia memilih untuk hidup.

Ia mengambil napas panjang, dan untuk pertama kalinya, tersenyum dengan tulus pada dirinya sendiri.

Tidak lagi berpura-pura kuat. Tapi karena ia memang kuat.

Ia masih jauh dari pulih sepenuhnya. Tapi hari ini, ia sudah melangkah.

Dan itu cukup.

1
gaby
Jgn2 Gibran pasien RSJ yg melarikan diri.
gaby
Di awal bab Gibran selalu mengatakan cm Gibran yg mau menerima Aira yg rusak. Dan kata2 Aira rusak berkali2 di sebutkan di bab pertama. Maksud Rusak itu gmn y thor?? Apa Aira korban pelecehan atau korban pergaulan bebas??
gaby
Smangat thor nulisnya. Ternyata ini novel pertamamu di NT y. Tp keren loh utk ukuran pemula, ga ada typo. Dr awal bab aja dah menarik, Gibran si pria manipulatif
Robert
Suka banget sama cerita ini, thor!
nandra 999: Thks yeah 🥰
total 1 replies
Gấu bông
Terinspirasi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!