Seorang pria misterius menggunakan 2 sumber kehidupan untuk membentuk klon Dao yang sempurna. tapi tidak seperti klon pada umumnya, klon yang dia buat dari dua sumber kehidupan berubah menjadi bola cahaya bewarna biru yang isinya sebuah jiwa janin. apa yang akan dia lakukan dengan itu?
jika penasaran langsung saja baca novelnya!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Pertempuran Menyebar Ke berbagai Tempat.
Malam itu.
Angin malam bertiup pelan, menembus sela-sela jendela kamar yang sunyi. Cahaya rembulan menyelinap melalui kisi-kisi, memantulkan siluet dua sosok yang terbaring di atas ranjang: Chen Yu yang tidak sadarkan diri, dan MuWan yang tengah menjaga di sisinya.
Tabib tua yang telah merawat Chen Yu baru saja menarik napas panjang. Ia memeriksa nadi dan luka Chen Yu dengan seksama, lalu akhirnya berkata dengan nada tenang namun berat:
“Tuan muda Chen Yu mengalami luka yang sangat dalam, baik fisik maupun energi dalamnya. Ia akan sadar. tapi tidak dalam waktu dekat. Setidaknya butuh beberapa hari penuh untuk pemulihan.”
MuWan hanya mengangguk pelan, menatap wajah pucat Chen Yu tanpa berkata-kata.
“Terima kasih, Tabib Lin. Aku akan mengurus sisanya.”
Tabib itu pun membungkuk hormat dan berjalan keluar dari kamar. Di ambang pintu, tampak MuTuzhi, ayah MuWan, berdiri dengan raut cemas.
“Bagaimana keadaannya?” tanya MuTuzhi pelan.
MuWan menoleh, matanya masih merah karena terlalu lama menahan tangis.
“Dia… baik-baik saja. Tapi ayah, lebih baik pergilah. Chen Yu butuh istirahat dan aku akan menjaganya malam ini.”
Nada suara MuWan sangat dingin, namun tak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang menyelimuti hatinya. Ia kemudian menutup pintu kamar perlahan, menyisakan MuTuzhi yang hanya bisa menghela napas.
“Huh… gadis ini, sudah dewasa rupanya…”
MuTuzhi pun berlalu, membiarkan putrinya menjaga suaminya dalam sunyi malam yang mendalam.
Di dalam kamar, MuWan perlahan naik ke atas tempat tidur. Ia berbaring di samping Chen Yu, menatap wajah pria itu dengan lembut.
“Maafkan aku. aku tidak bisa menghentikanmu…”
Tangannya menyentuh wajah Chen Yu yang dingin dan pucat. Kemudian, dengan perlahan dan hati-hati, MuWan mengecup pipi Chen Yu. hangat dan penuh perasaan.
“Istirahatlah. aku di sini. Aku tidak akan pergi ke mana pun…”
Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia membisikkan kata-kata itu dan memeluk lengan Chen Yu dengan lembut. Malam itu, MuWan tidur di sisi suaminya, dengan air mata yang mengering di pipinya, namun dengan keteguhan dalam hatinya untuk selalu melindungi pria itu.
Sementara itu, di Aula Utama Klan Mu...
Beberapa tetua klan telah berkumpul. Di tengah aula, MuTuzhi duduk di kursi utama. Wajahnya tenang, namun pikirannya jelas gelisah memikirkan apa yang baru terjadi.
“Dia menantang klan Wen dan menang…” ujar salah satu tetua tua dengan ekspresi tak percaya.
“Aku mendengar dia bahkan membunuh Wen Taishan sendiri. Itu bukan sembarang bakat, itu monster...”
“Bagaimana bisa seseorang yang dulu kita anggap sampah bisa menjadi seperti ini?”
Diskusi berlanjut, semakin ramai hingga akhirnya MuTuzhi mengangkat tangan dan semua suara berhenti.
Dia memandang semua tetua, lalu berkata dengan suara berat tapi tegas:
“Mulai malam ini. aku umumkan, Chen Yu adalah bagian dari klan kita. Bukan lagi menantu yang disisihkan, bukan lagi beban.”
Suara itu bergema kuat di seluruh aula.
“Jika ada yang memperlakukannya buruk. atau menganggapnya rendah seperti dulu. Maka aku akan menjatuhkan hukuman: penjara bawah tanah selama lima puluh tahun.”
Para tetua tercengang.
“Lima… puluh tahun?” gumam salah satu dari mereka, kaget.
MuTuzhi berdiri dari duduknya. Tatapannya tajam, tak bisa dibantah.
“Aku sudah membuat kesalahan dengan membiarkannya diabaikan. Jangan sampai kalian melakukan kesalahan yang sama.”
Semua tetua mengangguk dalam diam, tak berani membantah. Malam itu, sebuah keputusan besar telah dibuat.
Chen Yu, yang pernah diremehkan, kini dihormati dan diakui secara resmi sebagai menantu dari klan Mu. dan sebagai pemuda yang membawa harapan dan kekuatan bagi masa depan mereka.
Keesokan harinya.
Pagi itu di Kota Linya, kota terbesar di perbatasan wilayah kekuasaan Klan Wen…
Langit cerah, tapi udara terasa ganjil. Di setiap sudut kota, para pedagang menghentikan aktivitas mereka, para penjaga berdiri membeku, dan masyarakat kota saling berbisik satu sama lain dengan wajah tak percaya.
“Apa kau sudah dengar?”
“Klan Wen musnah…!”
“Apa? Itu tidak mungkin! Mereka penguasa kota ini selama ratusan tahun!”
Namun, berita itu tak terbendung. Dalam waktu singkat, pengaruh gelap klan Wen yang menindas lenyap begitu saja.
Seorang pria tua berteriak dengan penuh semangat:
“Chen Yu! Nama itu akan ku kenang seumur hidup! Dia membebaskan kita!”
Beberapa saat kemudian, suara genderang dan terompet mengalun. Orang-orang mulai keluar rumah, berdiri di jalan, dan mengangkat tangan mereka ke udara.
“Hidup Chen Yu! Hidup sang Dewa Takdir!”
Teriakan itu menggema, dan di kota yang dulunya kelam di bawah kekuasaan Wen, kini berubah menjadi lautan sukacita dan kebebasan.
Sementara itu di Kota Gunung Es, Wilayah Klan Mu.
Berita tentang kehancuran klan Wen menyebar bagaikan api di musim panas. Warga kota berkumpul di pusat perayaan. Lentera merah digantung, dan musik menggema dari berbagai penjuru.
“Tuan muda Chen Yu benar-benar luar biasa! Menantu seperti itu pantas untuk Nona MuWan!”
“Benar! Bahkan langit pun akan iri pada kecantikan Nona MuWan dan kekuatan tuan muda Chen Yu!”
“Klan Mu akan berjaya!”
Anak-anak menari sambil membawa bendera kecil bergambar lambang Klan Mu, sementara orang tua duduk tersenyum lega. Hari itu berubah menjadi hari perayaan tak resmi untuk pahlawan baru mereka: Chen Yu.
Di Sekte Langit Cerah
Sebuah kabar mengejutkan menembus formasi pelindung sekte. Para murid berdiri tertegun membaca papan pengumuman di pusat informasi.
“Chen Yu, murid luar biasa dari sekte kita. berhasil memusnahkan seluruh klan Wen.”
Gema berita itu sampai ke Aula Pusat Sekte. Ketua Sekte, seorang pria paruh baya dengan jubah putih bersih, membaca laporan dengan dahi mengernyit. Di sekelilingnya, para tetua bersuara lirih.
“Klan Wen, yang bahkan kita tak gegabah menyentuhnya…”
“Dan dia melakukannya sendirian…”
Ketua sekte perlahan duduk kembali, jari-jarinya mengetuk lengan kursi.
“Chen Yu. dia bukan hanya berbakat. Ada sesuatu yang tersembunyi dari dirinya. Sesuatu yang bahkan aku tak bisa lihat dengan mata batin ini.”
Di Salah Satu Ruang Latihan Sekte…
Xining, duduk bersila dalam kultivasi, tiba-tiba membuka matanya lebar. Seorang junior mengirimkan surat. Saat membaca surat tersebut matanya bergetar hebat, lalu tubuhnya ambruk ke tanah.
“Chen Yu…”
Tangannya gemetar, dan air mata mengalir di pipinya. Ingatan saat dia memeluk tubuh sekarat Chen Yu kembali menyeruak. Tubuhnya lunglai menempel di lantai batu.
“Kau kenapa selalu bertindak ceroboh. Dua kali saat dirimu sekarat, aku tidak bisa berada di dekat mu sampai akhir”
Dia memeluk lututnya sambil menangis dalam diam.
Di Halaman Murid Inti Sekte
Puyou, sahabat ceria Chen Yu, mendengar kabar dari salah satu senior. Matanya membelalak.
“Apa? Dia menghancurkan seluruh klan Wen?!!”
Dia melompat dari atap ke atap, membuat para murid menatapnya.
“HAHAHAHA! ITULAH SAHABATKU! TUAN MUDA CHEN YU!”
Puyou mulai menari sambil mengangkat tangan seperti orang gila. Murid-murid lain yang melihat malah ikut tertawa. Mereka tahu, kegembiraan Puyou adalah cermin dari rasa bangga yang tulus.
“Bersulang untuk sahabatku yang luar biasa!!”
Salah satu murid berkata:
"Dia seperti dewa takdir, yang mengubah takdir sesukanya!”
Pada hari itu, nama Chen Yu bergema di seluruh wilayah ChangYuan.
Sebagian menatapnya dengan rasa syukur, sebagian dengan rasa penasaran. dan beberapa dengan rasa takut.
Namun satu hal pasti: dunia kini mengenalnya sebagai kekuatan yang tak bisa diabaikan.
Di kediaman klan Mu
Mentari pagi perlahan menyusup melalui celah jendela kamar, menyinari wajah MuWan yang duduk di sisi tempat tidur dengan pakaian putih sederhana.
Wajahnya lembut, namun terpancar kelelahan dan kecemasan. Di hadapannya, Chen Yu masih berbaring dengan mata tertutup, wajahnya tampak damai meski luka di tubuhnya belum sepenuhnya pulih.
MuWan menghela napas panjang, tangannya menyentuh lembut tangan Chen Yu yang masih hangat.
"Kapan kau akan bangun Chen Yu..." bisiknya pelan, suaranya nyaris seperti doa.
"Aku ingin kau mendengar. Aku ingin kau tahu bahwa aku bangga padamu. Dan aku takut kehilanganmu lagi."
Sesaat MuWan tersenyum lembut, mengusap rambut Chen Yu yang sedikit kusut.
"Jika kau bangun sekarang. aku janji tidak akan pernah menghalangi apa pun yang kau inginkan. Aku akan mendukung semua langkahmu, asal kau tetap hidup dan kembali padaku."
Tepat saat itu, suara langkah kaki terdengar dari balik pintu.
"Anak gadisku ternyata benar-benar mencintai suaminya ya," kata suara tenang dan hangat dari arah pintu.
MuWan segera menoleh. "Ayah..." ucapnya lirih dengan wajah sedikit merah.
MuTuzhi, ayahnya, berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar dan langkah ringan.
Ia berjalan ke sisi tempat tidur, menatap Chen Yu dengan ekspresi campur aduk, kekaguman, rasa bersalah, dan juga kelegaan.
"Bagaimana keadaan menantuku?" tanya MuTuzhi lembut.
MuWan menunduk, suaranya lirih. "Seperti yang Ayah lihat. dia masih belum sadar."
MuTuzhi mengangguk pelan, lalu tiba-tiba bersuara ceria, "Anak ini sungguh keterlaluan. Anak gadisku sudah siap menjadi ibu dari cucu-cucuku, eh, dia malah asyik tidur seperti ini. Apa dia ingin aku menunggunya puluhan tahun?"
MuWan memerah mendengar ucapan itu. "Ayah!" serunya kesal sambil melemparkan bantal kecil ke arah MuTuzhi, yang langsung tertawa keras sambil mundur.
Sebelum keluar kamar, MuTuzhi sempat menoleh dan berkata sambil tertawa lebar.
"Kalau begitu, bukan sembilan anak. Dua puluh cucu lebih bagus, bukan?"
MuWan menutup pintu sambil menggelengkan kepalanya, wajahnya masih merah karena malu.
"Sejak kapan Ayah bisa jadi tidak tahu malu seperti itu?" gumamnya pelan, namun di matanya ada senyum kecil dan harapan.
Ia kembali duduk di sisi tempat tidur.
"Jadi Chen Yu... dengar itu? Ayah ingin dua puluh cucu. Tapi aku hanya ingin satu hal. kumohon, bangunlah."
Suasana pagi di kamar itu tetap tenang. Namun, di antara keheningan dan harapan, udara terasa lebih hangat. seolah kehidupan perlahan-lahan kembali menyapa.
dusah GHOBLOK lembek lagi,
mendingan gak usah di lanjutkan lagi ini alur ceritanya