NovelToon NovelToon
Married By Mistake (Terpaksa Menikahi Sahabat)

Married By Mistake (Terpaksa Menikahi Sahabat)

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Konflik etika / Pernikahan Kilat / Persahabatan / Romansa
Popularitas:954
Nilai: 5
Nama Author: Moira Ninochka Margo

"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"

Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.

Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.

Apa yang terjadi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TUJUHBELAS Jalan-Jalan

"Pagi, Nona cantik." Sapa Firhan saat aku menggeliat merasakan kecupan di kening, lalu membuka mata dan mengerjap.

Tirai balkon yang hanya satu-satunya menjadi ventilasi di kamar ini, kini terbuka dan menampakkan cahaya pagi yang sangat cerah dan sehat menempa ruangan ini.

Hmm, sudah pukul delapan.

"Kamu dari jogging?" lirihku bertanya saat sudah melihat jelas dia memakai kaus ketat tanpa lengan berwarna kelabu dan celana pendek merah maroon.

Aku masih berbaring dalam selimut tebal putih bercorak bunga-bunga, membalut tubuhku. Rasanya sangat malas untuk bangkit dari pembaringan.

"Cukup lama. Hanya mengelilingi kompleks dan keluar tidak jauh dari jalan raya."

"Kenapa tidak membangunkan aku?" protes memandang dia dengan kesal dan membuatku cemberut. Namun, hanya senyuman innocent yang aku dapat sebagai jawabannya sembari mencubit hidung ini dengan lembut.

"Nonaku ini sangat nyenyak tidurnya, dan aku tidak rela membangunkannya," bela Firhan menimpali yang membuat aku memalingkan wajah dan mengerucutkan bibir.

"Janji, akan membawamu yang suasananya lebih indah dan keren," rayu Firhan setelah menyentuh lembut wajahku dan menghadap kearahnya.

Alisku mengernyit dan menatap lelaki itu penuh tanya, namun lagi-lagi senyum licik kutemukan di wajahnya.

Dasar cowok pemberi kejutan!

Aku mendesah mengalah. "Mandi dan bersiap-siaplah, Sayang. Kita akan pergi ketujuan sesungguhnya," Firhan mengumumkan dengan begitu bersemangat dan tersenyum penuh arti setelah mengecup keningku kembali, namun hanya mengabaikannya tanpa memandang dia dan bertanya lagi padanya yang hanya bangkit dari pembaringan dan berjalan melewati Firhan—terduduk di pembaringan—menuju ke kamar mandi.

Percuma saja! Aku sudah tahu jawaban dia, ini pasti salah satu dari kejutannya. Memangnya apa lagi?

Raut wajahnya berkerut heran saat melihat tingkahku yang diam-diam meliriknya dari sudut mataku di balik poni. Namun, setelah beberapa langkah menjauhinya, aku berbalik dan melangkah menghampiri lelaki itu yang memandangku penuh tanya dan hati-hati. Kecupan di kening Firhan mendarat lembut yang membuat dia memandangku tak menyangka.

"Thank's atas jalan-jalan kemarin dan semalam. Itu sangat menyenangkan," bisikku lalu berlalu meninggalkannya yang semakin tak percaya dan tak menyangka memandangku. Asumsiku, mungkin dipikirannya, aku akan bertanya padanya.

Dasar Tuan pemberi kejutan!

Aku tersenyum licik tanpa Firhan ketahui sembari masuk ke kamar mandi. Tak butuh waktu lama, kami telah siap. Firhan memakai kaus putih favorite-ku dengan paduan jaket biru couple dan celana hitam khaki. Dan aku, memakai pakaian turtleneck couple berwarna biru dengan celana hitam khaki pula. Meninggalkan rumah dan kota ini dan menyusuri jalan yang membuat aku menikmati sepanjang jalan.

Tak jauh dari kota, mobil Firhan yang melaju dengan kecepatan normal kini memasuki daerah seperti pedesaan. Di sepanjang jalan, sisi kiri dan kanan mulai tampak pepohonan dan tanaman-tanaman. Jalan-jalan mulai berkelok-kelok dan kadang mendaki. Aku baru tahu tempat ini adalah desa Malino, saat pohon pinus mulai tampak yang tumbuh menjulang tinggi di sepanjang jalan dan suhu mulai terasa sejuk. Firhan melirik ke arahku yang tengah duduk di sebelahnya dan begitu menikmati.

"Malino?" tanyaku mulai membuka suara dalam keheningan sembari memandang penuh tanya. Dia tersenyum hangat. "Ya. Sudah kuduga, kamu tahu tempat ini!" gumam Firhan.

Aku mengangguk dalam senyum simpul, lalu mengalihkan pandangan memandang keluar jendela, mengamati apa yang ada di sepanjang perjalanan.

"Aku tidak pernah kemari! Ini dulu adalah tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku mengenalinya karena sering mendengar orang-orang menyebut dan bercerita tentang tempat ini. Terlebih, keidentikan akan pohon pinus, suhu dingin dan beberapa tempat wisata, juga kebun strawberry-nya. Orang-orang menyebutnya, puncak Makassar. Bogor memiliki puncak, begitu pun Makassar!" gumamku bercerita, lalu menyengir di akhir kalimat.

Rasanya, aku jadi rindu pada orangtuaku.

Mobil Firhan telah berhenti di salah satu rumah bergaya sederhana dengan cat orange. Rumah yang tidak besar itu tidak memiliki pagar yang letaknya di pingir jalan. Pekarangannya tidak luas, bahkan untuk parkiran mobil saja tidak muat. Ada kursi kayu dua buah dan meja kayu persegi empat yang diletakkan di teras rumah itu. Dan seorang lelaki tinggi agak berisi yang berkulit hitam kecokelatan dengan rambut hitam pekat berponi telah berdiri di sisi depan rumah itu dan tersenyum hangat ke arah kami, seolah-olah telah menantikan kedatangan kami.

"Selamat datang, Pak Firhan." Sapa lelaki itu dengan hangat dalam aksen Makassar-nya yang masih kental saat aku dan Firhan menghampirinya. Firhan meraih uluran tangannya dan berjabat tangan.

"Maaf, Pak, saya Zul, teman Pak Andi yang membantunya menjaga villa ini."

Oh, milik temannya Firhan.

Mataku sibuk mengamati rumah ini dan sekelilingnya. Aku tak tertarik ikut dalam obrolan mereka. Sepertinya di sini bagus.

"Oh, Zul. Panggil saja saya Firhan. Andi, sih, memang sudah cerita tentang kamu.… "

Suasananya sangat nyaman dan sejuk. Sudah siang, namun suhunya seperti masih pagi. Begitu sejuk. Aku benar-benar larut dalam suasana ini hingga tak berminat lagi mendengar obrolan panjang mereka.

Di sampingnya sebuah villa yang terbuat dari kayu. Yeah, itu rumah panggung. Di cat dengan warna hijau tosca namun bergaya unik. Dan di sebelahnya lagi, hamparan rumput hijau dengan dikelilingi pepohonan pinus yang menjulang tinggi.

"… begitulah, Pak Firhan. Senang bertemu anda juga, Ibu.... “

"Panggil saja Nesya. Dia Istri saya."

Aku tersentak mendengar nama itu yang seketika penelusuran dan penjelajahan mataku yang mengamati di sekeliling sedari tadi membuat terhenti dan tersenyum kikuk ke arah Firhan dan lelaki di hadapan kami.

"Nesya? Bintang Elnesya?" Aku terkejut mendengar nama lengkap itu.

"Maaf, tapi siapa, ya? Maksudku, kenapa bisa tahu nama lengkapku?"

"Astaga, Nes … You and me, injoo moo ronk?" Dan kalimat terakhirnya membuat aku tertawa.

Itu kalimat konyolku dengan Zul, saat kami bersahabat dahulu. Kalimat yang bercampur dengan bahasa Inggris dan aksen Makassar yang artinya, itu saja dulu. Dan seketika, suasana jadi heboh. Aku larut mengobrol dengan Zul, sahabat lamaku.

"Jadi, di mana—"

"Zul, maaf, ya, kami harus masuk. Aku takut Nesya jadi sakit kalau lama di luar dengan suhu seperti ini. Dia lagi hamil. Sekali lagi, terima kasih." Sela Firhan cepat-cepat yang menarikku masuk setelah Zul mengangguk dan tersenyum, bahkan tanpa memberiku kesempatan untuk bicara. Aku hanya memandang heran lelaki yang menarikku ini.

Mengapa dia jadi protektif begini?

"Duduk di sini, Sayang." Sahut Firhan sembari menuntun duduk di sofa cokelat, namun nada suara mengandung dingin dan ... aneh.

Entah ada apa dia. Pandangannya juga defensif. Perubahan emosionalnya sangat cepat. Dengan wajah datar, dia lalu keluar, dan kembali membawa koper-koper kami. Aku hanya memandangnya sepanjang dia beraktivitas. Tanpa berkata apa-apa. Tapi, mataku tetap mengawasi gerak-geriknya.

"Ganti pakaianlah, lalu pakai jaket tebalmu! Akan ada perubahan suhu yang sangat dingin. Di luar mendung, sepertinya akan turun hujan," Titah Firhan namun aku tak menjawabnya.

Lama dia terdiam yang sepertinya menunggu sesuatu, namun aku hanya diam membisu sembari memandangnya yang telah memunggungiku dan entah apa yang dia kerjakan.

"Nesya?"

Aku tetap diam memandangnya, bahkan saat mata kami bertemu.

"Apa?" lagi, tukasnya bertanya tak jelas yang menatapku duduk sembari menopang dagu.

"Kamu yang ada apa?" elakku bersikeras membela diri yang masih memandang Firhan.

"Mengapa melihat aku seperti itu?"

"Mengapa sikapmu begitu?" Lagi-lagi aku menimpali dengan pertanyaan yang sama. Dia mengusap dan meremas rambutnya setelah mengalihkan pandangan, lalu menunduk.

Aku tersenyum lalu menghampirinya dan mata kami bertemu. Tanganku saat ini menggenggam wajah suamiku itu yang sudah memandang wajah ini dengan kelam. Menatap dan menikmati tatapan Firhan sejenak.

“Apa yang membuatmu cemburu?" Lirihku mendesaknya curiga ke dalam matanya dan hanya pandangan balik penuh kelam dan kesedihan di sana. Tetapi, lagi, diamnya semakin membuat rasa penasaran semakin merecoki pikiran.

"Kamu cemburu?" mulaiku lagi.

"Maaf, seharusnya aku—"

"Maafkan aku. Please? Seharusnya aku peka dan menghargaimu," selaku memotong kalimatnya yang masih menatapnya lekat.

Dia tersenyum, namun menggeleng pelan. Tangannya yang satu menyentuh hangat pipiku yang dingin kerana suhu di sini.

"I love you." Lirih Firhan dengan senyuman lebar dan bahagianya yang membuat aku ikut tersenyum lebar. Kata yang jarang di ucapkannya itu berhasil membuat pipiku memanas kerana malu.

"I love you too, Sayang."

Dia tersenyum, lalu mengecup keningku kemudian menarik dalam dekapannya. Hujan mulai turun.

 

...* * *...

 

            Sudah beberapa hari di tempat ini, namun Firhan tak pernah membawaku jogging bersamanya. Alasannya hanya satu—seperti alasan pertamanya—tidak mau mengganggu tidur nyenyakku! Bagaimana tidur nyenyak, kalau suasananya yang begitu nyaman dan sejuk. Aroma panorama alam begitu terasa di sana. Di tambah lagi, setiap hari, Firhan mengajakku jalan-jalan. Ke air terjun Tappanuli yang begitu indahnya, ke hutan pinus yang di kelilingi kabut dan semakin memperindah panoramanya, area bermain flaying fox dan lainnya, yang hanya menonton Firhan bermain, memetik strawberry yang begitu segar, berbelanja di pasar unik dan membeli bunga edelweiss, dan juga melihat tanaman langka yang baru ada di kota ini, selain di Amerika, dan masih banyak lagi. Kejutan-kejutan Firhan membuat aku senang.

Untuk kali ini, seharian kami tidak jalan-jalan. Hujan turun deras dari pagi hingga saat ini dan kabut cukup menutupi kota ini. Suhunya benar-benar sangat dingin, hingga aku dan Firhan terpaksa memakai sweater dan jaket tebal sembari tengah mengobrol di kamar, di atas tempat tidur sedang yang di balut seprei hijau tosca-nya dan efeknya benar-benar membuat semakin dingin kerana warna lembut itu.

Kami duduk sembari Firhan mendekap di tubuhku, mengobrol masa-masa di mana kami masih bersahabat, kelakuan konyol hingga mimpi kita. Aku merapatkan jaketku dan membuat dia mengkeret tubuh ini yang semakin mendekap erat sembari tangannya mengusap rambutku.

"Cuaca benar-benar sangat dingin. Pasti di luar lagi turun salju. Mau bertaruh membuat cepat boneka salju?"

Aku mendesah yang seketika uap dingin keluar di mulutku. Dia mulai lagi dengan gurauan konyolnya. Tapi, anehnya membuat aku tersenyum dan senang atas hiburannya.

"Ini Indonesia, Sayang, tidak akan bisa turun salju,"

Dia terkekeh. "Seharusnya ada perapian di villa ini, atau bagaimana jika kita membuat api unggun di sini?" gumamnya lagi setelah kekehannya mereda.

Aku tertawa. "Ide bagus, Sayang. Bagaimana kalau api unggunnya yang besar saja? Villa ini?”

Dia tergelak lalu mengecup pucuk kepalaku yang rupanya mengerti maksudku.

Oke, jadi, pasangan ini sudah mulai gila!

Aku tersenyum geli dengan makian lelucon dalam benakku sendiri.

"Apa yang kamu minta jika Allah memberi satu permintaan yang langsung dikabulkan?" Aku bertanya asal yang mulai melonggarkan pelukan dan menengadah memandang Firhan. Ekspresinya tersenyum hangat.

"Cukup melihat orang yang kucinta tersenyum dan bahagia, itu sudah lebih dari cukup membuatku bahagia!"

Aku tersenyum hangat dengan lebarnya. "Kamu tidak meminta cinta sejatimu?" Dia tersenyum dengan hangat ketika melirikku dan menatap sejenak.

"Keluargaku sudah tentu rantai kekuatan dan kesabaranku. Dan Allah tahu cinta sejatiku itu, bahkan dalam halal—tidaknya takdir yang telah digariskan. Dan teman hidup yang telah ditakdirkan itu, kelak jadi cinta sejati. Aku sangat percaya itu,"

Aku ikut tersenyum.

"Suatu saat, bila kesedihan itu datang tanpa perlindungan dariku, cukup pejamkan matamu, sebut nama Allah, dan bayangkan wajah orang yang kamu cintai, rasa tenang itu pasti akan muncul." Bisik Firhan lalu mendekapku.

"Tidurlah, besok jika cuaca bersahabat, kita jogging pagi dan melihat kejutan lagi untukmu." Pinta Firhan dalam janjinya, lalu mengecup keningku dan kami berbaring. Dalam masih dekapannya, mataku terpejam dan seperti mendengarkan musik dari ipod yang berada didekat telinga, suara lembut Firhan menyanyikan lagu Right Here Waiting For You dari Richard Marx, Lagu pengantar tidurku yang selalu di nyanyikannya untukku ketika hendak tidur dan membawa ke negeri awan dalam kehangatan dan dingin.

 

...* * *...

 

"Kamu tidak ingin bertanya kita akan kemana?" tanya Firhan untuk kesekian kali pertanyaan iseng terlontar dari mulut dia sepanjang jalan tadi.

Dia masih menggenggam tanganku erat sembari melangkah menyeimbangi langkahku. Cuaca sangat dingin pagi ini. Baru pukul enam pagi, membuat uap dingin keluar dari mulut saat bernapas, sehingga aku berkhayal berada di benua Eropa yang tengah bersalju. Kabut dingin menyelimuti kota ini, dan pepohonan pinus yang menjulang tinggi di sepanjang perjalanan tampak indah saat kabut menyelimutinya. Aku jadi bertanya-tanya, mungkinkah akan turun salju di sini?

Yeah, Firhan akhirnya menepati janjinya dan membawaku jogging mengelilingi kota ini, meski masih di sekitaran villa saja, tidak jauh dan hanya berjalan. Hitung-hitung menguatkan kandunganku agar persalinannya nanti juga lancar, karena katanya kalau hamil harus banyak gerak, termasuk jalan pagi. Pipiku sudah sangat dingin sehingga terasa masuk kedalam pori wajahku, begitu pun tangan yang kini di genggam erat Firhan. Hanya memakai kaus dan jaket tebal serta legging tebal hitamku, tapi suamiku itu hanya terus berjalan di sebelahku tanpa ingin melepas genggaman ini. Katanya jogging of running, tapi malah jalan terus.

"Hei, ditanya kok melamun?" sela Firhan membuyarkanku.

Aku tersenyum dan memandangnya. "Apa tadi?"

Lelaki itu tersenyum, lalu semakin mempererat genggaman tangannya, namun kali ini dengan kedua tangan miliknya yang sedari tadi di genggam dan meniupnya berulang kali dengan maksud menghangatkan.

"Bosan bertanya & tidak ingin tahu?" mulainya lagi tanpa menyerah menggoda dan merayuku.

Mendengar itu, aku merengut cemberut dan mengerucutkan bibir yang membuatnya terkekeh.

Setelah berada di area yang tak ada satu pun rumah penduduk dan hanya dikelilingi bunga-bunga dan tanaman serta sayuran, dia lalu membawaku berbelok masuk di antara bunga-bunga dan tanaman itu, menyusuri area yang tidak terlalu jauh dan menemukan tanah lapang yang hanya ditumbuhi beberapa bunga bussolom dan anggrek, kemudian menarikku lagi ke arah sebelah utara dan berhenti tepat di tempat yang khusus bunga-bunga mawar merah. Asumsiku tadi adalah, kupikir dia akan mengenalkan bunga-bunga di sini, namun sepertinya salah.

Aku menelengkan kepala sembari memandang Firhan penuh tanya saat dia ikut membungkuk di sebelahku. Yang membuat aku senang dan takjub adalah, bunga-bunga mawar ini di selimuti butiran halus es seperti salju.

Tapi, bagaimana bisa? Bukankah salju tidak ada di sini?

"Indah, bukan?" Dia menyela pikiranku yang tengah bertanya-tanya. Lalu ekspresi dan senyumnya berubah saat melihat aku memandangnya keheranan.

"Ada apa? Kamu tidak suka?" Tanya Firhan hati-hati dan cemas. Aku menggeleng cepat, lalu kembali memandang mawar indah ini. Biasanya aku hanya melihat dan mengaguminya dalam foto saja. Tapi hari ini, benar-benar membuat mimpiku terwujud.

"Oh aku tahu! Sudah kubilang, aku akan memberimu kejutan lagi hari ini, kan? Dan inilah kejutannya, spesial untuk Istri cantikku!" Raut wajah berseri dan bahagiaku tak bisa kusembunyikan, sungguh benar-benar senang dan menikmatinya.

"Tapi, bagaimana bisa?"

Firhan tersenyum licik.

"Aku tidak mau tahu dan tidak ingin tahu jika mengatakan alasannya kerana kejutan!" sambarku menimpali yang membuat Firhan terkekeh.

"Kemarin, aku meminta bantuan Zul untuk melancarkan rencanaku ini. Meminta dia mengerut dan menghaluskan es, lalu menaburinya di bunga-bunga ini. Kebetulan cuaca dan suhunya bersahabat. Dan soal ide ini, aku pernah mendengarmu bergumam ingin melihat yang seperti ini. Jadi, berhubung kita di daratan dengan suhu sejuk, jadi kenapa tidak, ya, kan?" Senyuman riang seketika merekah saat alisnya naik berulang kali, lalu diikuti kerlingan mata menggodanya, hingga membuatku tak tahan untuk tidak tersipu malu dalam senyuman.

Terima kasih, Tuhan, karena dia milikku!

Aku sangat takjub dan kagum atas usahanya yang membuat aku bahagia dan mewujudkan mimpi-mimpi itu. Firhan lalu berdiri tegap bersamaku dan setengah mendekapku sembari tersenyum mengagumi mawar dengan selimut salju buatan di atasnya. Bahkan, sempat mengambil gambarku dengan bunga indah itu, dan juga beberapa bersamanya dalam selfie.

"Mengapa memilih Makassar untuk honeymoon kita? Bukankah kamu suka Albania, London, Tokyo, dan Paris?" Dia mengangguk setuju saat aku memandangnya penuh tanya, dalam masih separo dekapannya.

"Aku ingin mengunjungi ibu dan ayah mertuaku. Lagi pula, bukankah kamu sangat merindukan kota ini? Terlebih orangtuamu?" mataku berbinar dalam anggukan setuju dan senyuman yang membuatnya ikut tersenyum sembari menarik kepalaku dalam dadanya dengan penuh kasih sambil mengusap lembut kepala ini yang ditutupi oleh topi wol biru.

"Terima kasih, Firhan, atas semuanya!" lirihku dan membuat dia mengangguk dan tersenyum memandangku penuh kasih dan hangat, lalu kecupan sayang dan lembut itu mendarat lama di keningku.

"Apa pun, untuk seseorang yang membuat hidupku sempurna, untuk bagian hidupku," bisik Firhan yang bisa kurasakan ketulusan di dalam ucapannya. Dia semakin erat mendekapku.

 

...* * * *...

1
Noveria_MawarViani
mampir juga ya ke novelku
Noveria_MawarViani
romantis banget
Noveria_MawarViani
bagus ceritanya
tasha angin
Gak sabar nunggu kelanjutannya!
Moira Ninochka Margo: halo kak, makasih udah baca, udah di up ya sampai bab 10
total 1 replies
Sky blue
Salah satu cerita terbaik yang pernah aku baca, mantap!
Moira Ninochka Margo: halo, makasih udah mampir dan support. Moga betah, hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!