NovelToon NovelToon
Kapten Merlin Sang Penakluk

Kapten Merlin Sang Penakluk

Status: sedang berlangsung
Genre:Action
Popularitas:421
Nilai: 5
Nama Author: aldi malin

seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

tugas terbesar di mulai

Sebuah kapal mewah terapung tenang di perairan perbatasan Singapura. Cahaya fajar baru saja menyentuh garis cakrawala saat burung-burung camar terbang rendah, berputar di langit seperti sedang berbisik: ada mangsa, ada aroma darah dan kekuasaan yang akan mewarnai pagi ini.

Di dek atas, suara gelas kristal beradu dengan botol vodka yang dituangkan oleh tangan lentik seorang pelayan berpakaian menggoda. Cerutu Kuba mengepul perlahan di antara jari-jari seorang pria tua yang duduk dengan angkuh di kursi ukiran kayu mahoni.

Deru ombak di bawah kapal seperti bercerita—tentang perdagangan gelap, tentang kekuasaan yang dibeli dengan nyawa, dan tentang rahasia yang tak pernah sampai ke daratan.

Pria itu berdiri. Gerakannya lambat, kaku. Kakinya yang pincang membuat suara tongkatnya menggema di lantai kayu kapal. Tongkat itu tak biasa—kepalanya terbuat dari emas murni, diukir membentuk kepala naga yang menganga.

Dia memandangi laut dengan tatapan tajam.

“Bawa mereka ke sini,” ujarnya dengan suara berat.

Di bawah dek, dua anak buahnya mengangguk dan berlalu. Pagi ini, dia bukan hanya berburu mangsa. Pagi ini, dia akan menguji kesetiaan, memperlihatkan bahwa bayangan di laut jauh lebih berbahaya dari cahaya di daratan.

Namanya belum disebut. Tapi bagi mereka yang mengenalnya… dia komandan yang kejam

Sebuah kapal cepat menghampiri kapal mewah itu dengan kecepatan tak wajar, seolah-olah terburu-buru, atau mungkin sengaja menunjukkan arogansi. Ombak pun enggan menyambutnya, berlari menjauh seakan tahu bahwa penumpangnya membawa pesan kelam. Burung camar yang tadi tenang, kini beterbangan kacau, melengkingkan suara cemas yang menggema di udara.

Dari atas dek kapal mewah, pria bertongkat itu mengangkat alis. Asap cerutunya berhenti mengepul sesaat.

“Si bodoh itu datang tanpa aba-aba,” gumamnya dingin.

Beberapa anak buahnya bersiaga, tangan menyentuh senjata tersembunyi di balik jas hitam mereka. Ketika kapal cepat itu merapat, dua pria bertopeng turun tergesa—salah satunya membawa koper hitam, yang lain menenteng tablet dan berbicara lewat earpiece.

Salah satu dari mereka membuka helmnya. Wajahnya penuh keringat dan rasa takut.

“Maafkan saya, Tuan… tapi… mereka menemukan satu dari markas penyamaran kita di Jakarta. Situs cadangan diidentifikasi. Razia mereka tak main-main. Bahkan ada agen baru yang menyusup ke dalam.”

Si pria bertongkat mendekat perlahan, tongkat emasnya berdetak menapak dek. Ia menatap pria muda itu dari atas ke bawah.

“Kau tahu… kenapa camar tak menyukai arogansi?” katanya pelan.

Sebelum si pria sempat menjawab, tongkat itu menghantam wajahnya dengan cepat, keras, dan presisi. Tubuhnya terlempar ke belakang, menghantam pagar kapal.

“Arogansi membuatmu ceroboh. Ceroboh membuatmu mati.”

Pria bertongkat itu lalu menatap koper yang dibawa.

“Buka.”

Isi koper memperlihatkan tumpukan uang tunai dan beberapa chip data terenkripsi.

“Siapkan kapal malam ini. Kita pindahkan markas. Sampaikan ke Frenki... Bayangan tak suka dikejar. Tapi jika dikejar, maka ia akan menghilang... dan membunuh dari dalam.”

Beberapa hari setelah pertemuan yang canggung itu, Aina duduk berdua dengan Dika di teras belakang rumah. Angin sore membelai lembut, suara cicit burung terdengar samar dari pepohonan sekitar.

"Aku sudah pikirkan baik-baik," ucap Aina sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. "Kamu boleh mengasuh Laila. Dia butuh sosok ayah… dan kalau kamu percaya, aku ingin jadi ibunya juga. Bukan cuma karena aku istrimu. Tapi karena aku tulus."

Dika memandang Aina dengan mata yang nyaris berkaca-kaca. "Terima kasih, Aina. Aku tahu ini bukan hal yang mudah."

Sejak hari itu, Laila resmi tinggal bersama mereka. Aina merangkulnya seperti anak kandung sendiri. Laila pun tak butuh waktu lama untuk lengket dengan Aina—ia mengagumi sosok Kapten Merlin yang tegas tapi lembut. Ia bahkan mulai memanggil Aina dengan sebutan “Bunda”.

Di restoran seafood sederhana milik Dika, pengunjung mulai ramai setiap hari. Banyak pelanggan yang suka dengan rasa masakannya dan suasana hangat yang ditawarkan.

Namun, Dika mulai kewalahan. Ia butuh tambahan tenaga yang bisa dipercaya. Suatu malam, saat duduk ngopi bareng Pak Jaka di pelataran restoran, Dika membuka pembicaraan.

"Pak, saya tahu Bapak orang yang jujur dan tahan banting. Saya butuh orang seperti itu di restoran ini. Kalau Bapak bersedia, saya ingin Bapak bantu saya urus tempat ini."

Pak Jaka terkekeh, “Wah, saya udah tua, Dika. Bisa nggak ya?”

“Tenang Pak, bukan disuruh angkat beban. Urus bagian dapur, terima pesanan, ngawasin staf, dan jaga keamanan juga. Hitung-hitung bantu saya sambil tetap mantau kalau ada gerakan aneh di sekitar.”

Pak Jaka mengangguk pelan. “Kalau begitu, saya siap. Apalagi ini buat masa depan cucu saya nanti. Eh, maksud saya, anak kalian.”

Mereka tertawa dan pada malam itu kesepakatan kecil  antara  dua orang yang sudah anggap mereka seperti saudara kandung

Laila menatap halaman SMP 2 Jakarta Timur dengan semangat baru. Hari pertama di sekolah barunya membuatnya gugup, tapi juga antusias. Ia tersenyum kecil ketika teman-teman barunya mulai mengajaknya ngobrol.

Setiap pulang sekolah, Laila langsung naik ojek online ke restoran ayahnya. Kadang ia bantu bersihin meja, kadang bantu antar pesanan ke pelanggan. Tapi sore ini, begitu dia tiba, Aina sudah berdiri di depan restoran sambil membawa segelas jus jeruk.

"Laila, ayo ke rumah. Bunda udah siapin camilan. Istirahat dulu, nanti belajar ya," ucap Aina lembut sambil tersenyum.

"Tapi, aku mau bantu Ayah dulu, Bun," sahut Laila.

Aina menggeleng sambil menggandeng tangan Laila. "Ayah kamu tuh udah kuat, udah biasa ngadepin pelanggan cerewet. Kamu temani Bunda aja. Nanti kita belajar bareng, atau nonton film bareng, gimana?"

Laila tertawa kecil. "Bunda lebih cerewet dari pelanggan, tahu nggak?"

"Eh! Kurang ajar kamu yaa!" Aina pura-pura marah sambil mencubit gemas. Mereka berdua pun tertawa, lalu masuk ke rumah.

Sore itu, Dika mengintip dari balik jendela restoran. Wajahnya tenang, bahagia. Dua perempuan di hidupnya akhirnya bisa menyatu—dan dia tahu, perlindungan terhadap mereka kini lebih penting daripada tugas rahasianya sekalipun.

Langit Jakarta terlihat mendung ketika Kapten Merlin tiba di halaman sektor kantor polisi dengan mobil dinas. Perutnya sudah mulai tampak membesar, usia kandungannya sudah masuk bulan keempat. Reno menyambutnya di pintu masuk, tampak gelisah.

"Aku masih nggak yakin soal ini, Kapten. Kamu butuh istirahat, bukan stres tambahan," ujar Reno sambil menggendong map tugas dari pusat.

Merlin mengangguk pelan. “Aku juga nggak yakin, Reno. Tapi surat penunjukan sudah ditandatangani pusat. Sementara Komandan Zen masih buron, aku harus ambil alih.”

Reno menatapnya penuh khawatir. "Tapi kamu bisa ajukan cuti, setidaknya cuti persalinan. Kita punya personel lain."

Merlin tersenyum tipis. “Reno, aku bukan perempuan lemah. Aku tahu batasanku, dan aku tahu risikonya. Tapi kalau aku mundur sekarang, kita bisa kehilangan kendali atas semua yang sedang kita bangun. Apalagi, banyak mata yang mengawasi gerak kita—kapten Zen belum tertangkap, dan si Bayangan bisa muncul kapan saja.”

Mereka berjalan bersama menuju ruang komando. Semua personel berdiri memberi hormat saat Merlin masuk.

“Aku tahu kalian kaget,” ucap Merlin tegas. “Tapi sampai Komandan Zen ditemukan, aku akan pimpin kalian. Kita lanjutkan razia situs judi, dan kita buka kembali investigasi jaringan si Bayangan. Jangan beri ruang bagi kejahatan.”

Para polisi serempak menjawab, “Siap, Komandan!”

Reno menarik napas dalam-dalam. Dalam hati, ia bersumpah akan melindungi Kapten Merlin dan bayinya, apapun risikonya.

Lampu gantung berayun pelan diterpa angin malam. Merlin duduk di ruang tamu, memegang surat tugas dari pusat—matanya tidak lepas dari nama “Komandan Zen” yang tercetak tebal di bagian atas. Dika baru pulang dari kantor Interpol, masih mengenakan jaket hitam berlogo intel.

“Jadi... surat penangkapan Zen sudah keluar,” gumam Merlin pelan.

Dika mengangguk sambil meletakkan pistol dinas di atas meja. “Lokasinya di perbatasan Kalimantan Utara. Tim gabungan Interpol dan kepolisian Indonesia akan bergerak dua hari lagi. Aku ditugaskan sebagai pengawal utama dari sisi laut.”

Merlin berdiri dan menatap suaminya. “Aku ikut.”

Dika langsung menggeleng. “Nggak, Aina. Kamu nggak ikut. Kamu sekarang hamil empat bulan, dan kamu juga punya tanggung jawab di Jakarta.”

“Aku tahu resikonya, Mas. Tapi aku nggak bisa diam ketika kamu menjalankan misi seberat itu. Aku... takut kehilangan kamu, seperti aku kehilangan Gilang dulu.”

Dika mendekat, memegang tangan Merlin. “Aina, aku bukan Gilang. Dan kali ini, aku nggak sendirian. Aku punya kamu. Aku akan hati-hati. Ini hanya misi pengawalan—aku nggak akan gegabah.”

Merlin menunduk, menahan air mata. “Kamu janji?”

“Janji. Demi kamu, dan demi anak kita.”

Malam itu terasa panjang. Di luar, deru mobil patroli berganti-ganti. Di dalam rumah, ada dua hati yang sama-sama cemas—seorang istri yang tidak ingin kehilangan, dan seorang suami yang harus melangkah ke zona berbahaya demi kebenaran.

1
aldi malin
terima kasih semoga ikutin episode berikutnya
Lalula09
Dahsyat, author kita hebat banget bikin cerita yang fresh!
うacacia╰︶
Aku sangat penasaran! Kapan Thor akan update lagi?
aldi malin: oke ...dintunggu ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!