Gubrakkk
Nala Casandra memegang kepalanya, dia baru saja membaca sebuah novel dan sangat kesal. Dia marah sekali pada seorang antagonis yang ada di novel itu. Sangking kesalnya, dia melemparkan novel itu ke dinding, siapa sangka novelnya mental kena kepalanya, sampai dia jatuh dari sofa.
Dan siapa sangka pula, begitu dia membuka matanya. Seorang pria tengah berada di atas tubuhnya.
"Agkhhh!" pekik Nala.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Nala Dicurigai
"Kalian! lepaskan! Putri Galuh Parwati" pekik Ratih Jayengwati yang sudah berada di markas para penjahat itu.
Namanya mau beraksi di hutan, pasti mereka buat markas di dekat hutan. Kalau mau beraksi di perkampungan, tentu mereka akan membuat markas di perkampungan.
"Tolong! tolong aku Yunda Ratih!" teriak Galuh Parwati yang sudah hampir saja di lecehkann oleh dia penjahat yang sudah hampir melepaskan celana mereka.
Dua penjahat lain saling pandang.
"Siapa katanya?" tanya salah seorang.
"Galuh Parwati! kita salah orang!"
Ratih Jayengwati sebenarnya panik juga, mereka hanya berdua.
"Dengar! di belakangku ada banyak prajurit. Jika kalian tidak ingin mati, cepat pergi! pergi!" kata Ratih Jayengwati yang gemetaran juga sebenarnya di depan para penjahat yang sudah terlihat seperti serigala kelaparan itu.
'Mereka ini bodohh sekali!' batin Ratih Jayengwati kesal.
Karena ke empat penjahat itu malah bengong dan saling pandang.
"Cepat pergi!" perintah Asih yang segera melambaikan tangannya ke jendela.
Para penjahat itu akhirnya paham, mereka segera terburu-buru kabur dari sana. Dari jendela yang di tunjuk Asih tadi.
Putri Galuh Parwati sudah dalam keadaan yang menyedihkan. Kainnya sudah di robek oleh para penjahat itu.
"Asih, carikan kain!" kata Ratih Jayengwati.
Asih segera mencari kain di sana, dan dia menemukan sebuah kain serupa taplak meja dan menariknya lalu memberikannya pada Ratih Jayengwati.
"Tuan putri, pakai ini!" kata Ratih Jayengwati memberikan kain itu pada Galuh Parwati.
"Aku akan ingat kebaikanmu ini selamanya, Yunda!" kata putri Galuh Parwati yang masih terisak.
Ratih Jayengwati senang bukan main. Dalam hati, wanita itu bersorak. Putri Galuh Parwati adalah adik kandung pangeran Arga Yudha Kertajaya. Pria pujaannya. Tentu saja dia senang, seperti menang lotre. Dia akan mendapat dukungan dari Galuh Parwati.
Sepertinya Asih tidak perlu di hukum, menurutnya. Karena paling tidak, jika tidak bisa mencelakakan putri Sekar Nala, setidaknya Ratih Jayengwati mendapatkan kepercayaan dan hutang budi dari putri bungsu selir agung Galuh Ayu.
"Sembah pangabekti Gusti putri, maaf kami datang terlambat!" kata jenderal Mahesa Wulung yang baru datang dengan pasukannya.
Mereka memilih rute yang salah tadi.
Pandangan mata jenderal Mahesa Wulung segera tertuju pada Ratih Jayengwati.
'Jika prajurit saja membutuhkan waktu menemukan tempat ini, bagaimana Raden ayu Ratih Jayengwati bisa datang kemari lebih dulu?' tanyanya dalam hati.
"Kanda..."
Jenderal Mahesa Wulung menghindar, ketika putri Galuh Parwati ingin memeluknya. Hal itu, di lakukan karena memang dia belum menjadi suami putri Galuh Parwati. Itu baru rencana prabu Jayalodra, belum di umumkan secara resmi juga.
"Mohon ampun tuan putri, saya tidak layak!" kata jenderal Mahesa Wulung dengan tegas.
Ratih Jayengwati segera merangkul putri Galuh Parwati.
"Tuan putri, jenderal Mahesa Wulung tidak salah juga. Ini tempat umum, tidak baik untuk nama baik tuan putri. Mari, aku antar ke tenda!" kata Ratih Jayengwati sok baik.
"Mohon bantuannya, Raden ayu. Saya akan terus mengejar penjahatnya!" kata jenderal Mahesa Wulung yang segera mengerahkan pasukannya mengejar penjahat itu.
Ratih Jayengwati segera menoleh ke arah Asih. Wajahnya tampak cemas. Tapi Asih memberikan isyarat, agar Raden ayunya itu tetap tenang. Karena penjahat itu sudah di tipu dengan minuman beracun sebelumnya. Beberapa jam lagi mereka akan mati, bahkan sebelum jenderal Mahesa Wulung menemukan mereka mungkin.
Begitu tiba di tenda, Selir agung Galuh Ayu segera memeriksa keadaan putri bungsunya itu.
"Pangeran Arga Yudha Kertajaya, lihat keadaan adikmu. Jika Ratih Jayengwati tidak datang tepat waktu, entah bagaimana nasib Galuh Parwati. Meski Sekar Nala itu istrimu, tapi yang dia lakukan ini sudah keterlaluan!"
Selir agung Galuh Ayu, tampak begitu emosi. Hal itu sebenarnya wajar, dia seorang ibu. Mendapati anaknya yang nyaris kehilangan harga diri, kehormatan dan martabatnya, pasti dia akan merasa sangat sedih, dan marah.
Tapi, rasanya kurang tepat kalau langsung menuduh Sekar Nala tanpa bukti.
Nala masih diam. Dia mau lihat, pangeran yang tadi pagi jelas-jelas bersamanya itu akan bicara apa.
"Ibu, sepertinya ibu saat ini terlalu emosi..."
Nala menoleh, kedua alisnya terangkat. Dia memastikan dia tidak salah dengar, pangeran Arga Yudha Kertajaya sepertinya membelanya.
"Apa maksudmu pangeran?" tanya selir agung Galuh Ayu.
"Sejak semalam, istriku bersamaku. Tadi pagi, istriku pun bersamaku. Jadi, rasanya kurang tepat kalau ibu menuduh Sekar Nala, yang merencanakan kejahatan ini!" jelas pangeran Arga Yudha Kertajaya.
'Wah, dia benar-benar membelaku!' batin Nala yang lumayan merasa lega.
"Tapi, sendang itu dekat tendanya. Prabu Jayalodra, tolong berikan keadilan untuk putri Galuh Parwati!" Selir agung Galuh Ayu beralih minta keadilan pada prabu Jayalodra.
"Sekar Nala! kamu mau mengatakan sesuatu?" tanya Prabu Jayalodra.
Masalahnya, menuduh Nala juga kurang tepat menurutnya. Nala itu keponakan ratu Sekar Arum, dia anak Adipati Wiyanarka. Hal ini tentu agak sulit bagi prabu Jayalodra, kalau mau langsung menuduh secara terang-terangan. Meski sebenarnya, mau itu ratu Sekar Arum, atau Adipati Wiyanarka, jika memang Nala sudah tidak berguna. Mereka bahkan tidak akan membantunya.
"Mohon ampun ayahanda prabu. Saya sudah katakan tadi, saya tidak mengetahui sama sekali tentang penjahat itu. Apalagi merencanakan penculikan Rayi Galuh Parwati. Tidak ada bukti juga kan? kenapa selir agung Galuh Ayu terus menuduh saya. Apa dia mau menutupi niat jahat seseorang!"
Pangeran Arga Yudha Kertajaya segera menyentuh bahu Nala.
"Apa yang kamu katakan? jangan bicara seperti itu!" pangeran Arga Yudha Kertajaya mencoba untuk menasehati Nala.
Nala menghela nafas kasar. Memang tidak mudah bagi seorang wanita bicara dalam tempat yang di penuhi dengan orang berkuasa seperti ini. Kalau di jaman modern, yang punya uang yang berkuasanya. Kalau di jaman ini, yang punya kedudukan tinggi yang mengatur segalanya. Heran! kenapa selalu saja seperti ini?
"Sembah pangabekti Gusti prabu!"
Jenderal Mahesa Wulung datang dengan cepat, dan arah pandangannya langsung tertuju pada Nala.
Pangeran Arga Yudha Kertajaya yang melihat itu segera menutupi tubuh Nala dengan tubuhnya. Maksudnya, pangeran Arga Yudha Kertajaya berdiri di depan Nala. Sengaja menghalangi pandangan jenderal Mahesa Wulung dari Nala.
"Jenderal, katakan!" seru prabu Jayalodra.
"Mohon ampun Gusti prabu, kami sudah menemukan keempat penjahat itu. Tapi, saat kamu menemukan di tepi hutan. Mereka sudah dalam keadaan mati keracunan!"
Jenderal Mahesa Wulung tampak menghela nafas berat. Karena sama saja dia gagal menangkap para penjahat itu. Karena tidak akan pernah tahu siapa dalang di balik mereka.
Ratih Jayengwati tersenyum menyeringai. Dan dia melirik ke arah Sekar Nala.
'Lihatlah Sekar Nala! kamu tetap akan menjadi orang yang akan di curigai dalam hal ini!' batinnya senang.
***
Bersambung...