Dareen yang selalu dibandingkan oleh papanya dengan kakak kandungnya yang bernama Aril. Dareen madih kuliah sedangkan Aril sudah bekerja. Dareen akhirnya membuktikan pada papanya bahwa ia bisa mandiri tanpa bantuan dari papanya. Dareen mulai ikut bekerja sebagai montir, karena dia mempunyai paras yang tampan. Akhirnya banyak yang menjuluki Montir Ganteng.
Bagaimana Dareen bisa sukses?
Ikuti ceritanya di Montir Ganteng.
Thank's.
Dareen_Naveen (Boezank Jr.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dareen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part. 16 (Gombal)
Gue bergegas mandi.
Setelah itu, motor gue masukan ke dalam bengkel karena kami jalan-jalan menggunakan mobil Yumna.
Tak jauh. Kami hanya jalan-jalan di kota Bandung. Kita nongkrong di alun-alun kota Bandung. Riuh orang yang ada di sana. Banyak pasangan muda mudi, banyak juga yang membawa keluarga atau sanak saudaranya.
Sedangkan gue dan Yumna memilih duduk di bangku taman. Menikmati pemandangan langit malam yang bertabur bintang. Orang-orang yang berlalu lalang di hadapan kami menambah keramaian suasana Kota Bandung di malam hari.
"Na, gimana kabar Mama dan Papa mu?" tanya gue.
"Mama baik, tapi Papa mau nikah lagi dalam waktu dekat ini."
Mata gue memandang Yumna, mengamati wajah yang tertunduk di kala ia menjawab pertanyaan gue.
"Maaf, Na."
"Enggak apa-apa Oppa. Tapi jujur, dalam hatiku, berat menerima semua kenyataan ini," ucap Yumna tertunduk.
Gue mengangkat wajah Yumna, yang sedari tadi tertunduk. Gue tatap mata gadis yang biasanya ceria, kini telah berurai air mata.
"Na, sabar ya. Kakak janji, selalu ada buatmu. Kakak sayang Kamu." Gue senderkan kepalanya di pundak gue.
Yumna menangis sesegukan.
Gue biarkan Yumna menangis sampai ia puas. Gue tunggu sampai tangisannya usai.
"Beli ice cream, yuk?" Ajak gue.
"Enggak ah, Aku lagi enggak mau apa-apa Oppa. Aku mau sama Oppa aja udah cukup," ucap Yumna.
"Ya udah, makan yuk?" Ajak gue lagi.
"Enggak Oppa, Aku enggak lapar. Aku hanya ingin berada di samping Oppa sekarang."
"Emang, kalau lihatin Kakak bisa kenyang, Na?"
"Ya enggak."
"Nanti Kamu sakit, loh."
"Biarin!"
"Kamu enggak sayang sama Kakak?"
"Apa hubungannya? Enggak makan sama enggak sayang Oppa?"
"Ada, lah. Gimana kalau Kakak dideketin sama cewek lain?" Gue berusaha mengalihkan kesedihannya.
"Memang, Oppa berani?"
"Kamu pikir?"
Yumna menatap mata gue.
Spontan, tangan Yumna memukul lengan gue.
"Aduh! Sakit, Na," ucap gue.
"Biarin! Oppa sama aja kek Papa!" ujar Yumna dan berlalu pergi.
Mati gue! Yumna salah paham.
"Bukan gitu, Na!" Gue mengejar Yumna yang berjalan cepat di trotoar.
Yumna masih tetap berjalan tanpa menoleh ketika gue memanggil namanya.
"Aduh!" Yumna terjatuh.
Gue menghampiri perempuan mungil ini.
"Apa yang sakit, Na?" Terlihat wajah gue khawatir.
"Kakiku terkilir, Oppa." Yumna merintih.
"Ya udah, sini Kakak gendong." Ajak gue.
"Enggak!"
"Kenapa?"
"Aku masih marah sama Kakak!" ujarnya sambil pasang bibir manyun.
"Marah kenapa?"
"Oppa mau cari cewek lagi, kan?"
"Siapa yang bilang?"
"Aku! Jangan ngeles deh! Emang Oppa ada rencana buat cari pacar lagi, kan?"
"Enggak Na, Kakak becanda." Sambil gue tarik hidungnya yang mancung.
"Sakit!" Matanya mendelik.
"Ya udah, Kakak minta maaf. Sumpah Kakak hanya becanda Na, suer!" Sambil gue angkat dua jari.
Mata Yumna mendelik.
"Ayok, Kakak gendong," Ajak gue.
"Enggak usah, Aku bisa jalan sendiri."
Gue membantu Yumna berdiri. Gue temani dia yang sedang berjalan terhuyung menahan rasa sakit.
Pada malam itu, riuh suara anak kecil berlarian di lapangan mesjid, banyak orang yang berjualan di sekitar alun-alun mesjid.
"Capek, Oppa." Yumna melirik gue lalu nyengir, mungkin karena rasa sakit dan malu.
"Kenapa? mau digendong?"
"Hm'em." Yumna menganggukan kepalanya.
Gue gendong badan mungil Yumna dan berkata dalam hati, sok kuat! dasar cewek.
"Berat enggak, Oppa?" tanya Yumna.
"Heleh, paling berat badanmu cuma dua kilo gram." Ledek gue.
"Sembarangan!" ujar Yumna sambil menepuk pundak gue.
"Aduh!" ucap gue.
"Ya Allah, maaf. Sakit ya, Oppa?" Tangannya kini mengusap halus pundak yang tadi ia tepuk.
"Lebih sakit lagi, kalau Kamu ninggalin Kakak," jawab gue.
"Heleh, gombal!" Kata Yumna.
"Kok tahu?"
"Idih! Oppa!" Yumna menepuk lagi pundak gue.
Gue turunin Yumna di bangku, tepat depan gedung Merdeka di jalan Asia-Afrika. Gue duduk di samping Yumna.
Yumna mendelik.
"Kenapa malah duduk di sini?"
"Kakak capek, tahu." Gue ngos-ngosan.
"Heleh! Katanya cuma dua kilo?" Yumna meledek.
"Iya, badanmu dua kilo, tapi kek nya Kamu keberatan sama dosa, Na." Gue terkekeh.
"Idih, Oppa! Yang banyak dosa tuh Oppa, kan suka gonta-ganti cewek." Tuduh Yumna.
Gue menatap mata Yumna.
"Percaya enggak, kalau Kamu cinta pertama Kakak?"
"Enggak." Mata Yumna memandang gue.
"Adakah keraguan di mata Kakak?"
Yumna terus memandang mata gue. Ada getaran di dada ketika Yumna memandang gue. Wajah yang cantik dengan mata yang bulat telah menaklukan hati gue. Ketika Yumna memandang gue seolah tersirat ada hati yang tulus untuk gue.
Yumna membisu, tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir mungilnya. Yumna mengusap pipi gue seraya berkata, "Oppa, pakai sabun muka apa? Kok wajahnya halus?" tanya Yunma terkekeh.
GUBRAKKK!
Sia-sia gue meyakinkan dari tadi Mak, dia tetep enggak percaya kalau dialah cinta pertama dihidup gue.
Gue memalingkan pandangan.
"Ha ... Ha ... Ha ...." Yumna tertawa lepas.
"Iya, Aku percaya kalau Oppa sayang Aku, tapi Aku tetap enggak percaya kalau Aku cinta pertama Oppa," ucapnya.
"Terserah!" ucap gue.
"Aku enggak peduli kalau Aku cinta pertama Oppa atau bukan. Yang Aku harapkan, semoga Aku menjadi cinta terakhir Oppa, si montir ganteng kesayangan," ucap Yumna.
Cie ... Mak! Gue digombalin sekarang wkwkwk.
"Nikah Yuk?" Ajak gue.
"What?" Mata Yumna melotot.
"Mau enggak?" tanya gue.
Yumna terdiam dengan ekspresi wajah yang kaget.
"Malah diem, mau enggak?" tanya gue lagi.
"Mau, tapi enggak sekarang," ujar Yumna.
"Heleh, siapa lagi yang ngajak nikah sekarang?" Lanjut gue.
"Wanjer! Oppa nyebelin!"
Gue terkekeh.
"Yaelah Na, Kakak juga enggak mau kalau sampai Kamu menderita setelah nikah nanti. Kakak kan belum sukses, kamu juga belum kuliah."
"Aku kira, Oppa mau ngajak nikah sekarang." Yumna menahan tawa.
Waktu telah menunjukan jam delapan malam. Gue mengusap-usap kaki Yumna yang keseleo.
"Udah Oppa, kek nya udah mending kakiku," ucap Yumna.
"Yakin?" tanya gue.
"Iya."
"Coba gerakin, Na. Masih sakit atau udah enakan?" tanya gue lagi.
"Udah enakkan Oppa, Aku udah bisa jalan kok. Ayok kita pulang." Ajak Yumna.
Kami berdua berjalan di atas trotoar, menikmati hembusan angin malam. Di langit tampak bertabur bintang yang menghiasi langit malam di Kota Bandung.
***
"Na, Kamu bisa nyetir sendiri enggak?"
"Bisa, Oppa."
"Yakin?" tanya gue penuh dengan keraguan.
"Iya, Aku baik-baik aja, kok." Lanjut Yumna.
Akhirnya, Yumna balik setelah gue turun dari mobilnya tepat di depan bengkel. Langsung gue ambil motor yang ada di dalam bengkel, melesat pergi menuju rumah.
.
"Udah pulang Dareen?" tanya papa.
"Udah, Pa."
"Makan dulu," kata papa.
"Iya."
Gue masuk kamar untuk menaruh ransel dan kembali turun ke meja makan. Di meja makan sudah berkumpul. Ada papa, mama, bang Aril sama kak Manda. Kami makan malam bersama.
"Dareen," ucap papa.
Gue mengangkat wajah dan menatap wajah papa.
"Kamu kerja di kantor Papa, ya?" ucap si papa.
Waduh ******! Gue harus beralasan apa? Gue mendelik ke bang Aril.
Bang aril menggelengkan kepalanya.
"Maaf Pa, kek nya enggak bisa," jawab gue.
"Kenapa?"
"Sudah terikat kontrak." Gue beralasan.
"What? Memang Kamu kerja di mana, Dareen?" tanya papa.
"Di bengkel."
"Sejak kapan bengkel buat kontrak kerja?" Papa terkekeh.
"Sejak Dareen masuk kerja kalik." Gue menjawab ngasal.
"Tuh ... lihat anak Kamu, Ma?" ujar si papa.
Mama hanya menggelengkan kepala.
"Ya udah sih Pa, Ma. Kasih Dareen kesempatan, biarkan ia mencari pengalaman kerjanya sendiri, kan bagus." Bang Aril membela.
"Haduh, terserahlah. Papa udah bingung menghadapi Adikmu ini, Ril! Kamu juga mulai ikut-ikutan belain Dareen," ungkap papa.
Bang Aril nyengir, begitu pun dengan gue.
"Terserah!" Kata si papa yang ngeloyor masuk ke dalam kamar yang diikuti langkah kaki Mama.
"Hehe ... Thank's ya, Bang?" ujar gue.
"Sip!" ucap bang Aril.
Gue dan Bang Aril tertawa di tengah kebingungan kak Amanda.
jd penasaran aq thoor
salken....
Kuy.....nyimak nih...😊🤝👍💪