Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8. NASI GORENG YANG MENYEMBUHKAN
..."Kadang yang dibutuhkan bukan resep baru, tapi keberanian untuk mengulang rasa lama, rasa yang pernah membuat seseorang merasa hidup."...
...---•---...
Doni duduk sendirian di dapur yang mulai terang. Cangkir kosong di hadapannya, tapi dadanya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa ia namakan. Bukan harapan. Terlalu berbahaya untuk berharap. Tapi mungkin... kemungkinan.
Nasi goreng kampung. Seperti yang dibuat mamanya.
Permintaan itu terus bergema di kepalanya sepanjang hari. Saat memasak salad quinoa untuk makan siang, saat memotong sayuran untuk makan malam, bahkan saat membersihkan dapur. Ia tidak bisa berhenti memikirkannya.
Ini bukan sekadar pesanan makanan. Ini permintaan untuk diingatkan bahwa ia pernah dicintai. Bahwa ia pernah punya rumah.
Dan Doni tahu, ia tidak bisa gagal.
Sisa hari itu Doni habiskan dengan riset. Ia tidak langsung memasak untuk makan siang atau makan malam seperti biasa. Ia menelepon Tuti, asisten rumah tangga yang sudah bekerja untuk Naira selama tiga tahun.
"Bu Tuti, saya mau tanya sesuatu. Rahasia, ya."
Tuti, perempuan paruh baya dengan wajah ramah, sedang duduk di ruang cuci sambil melipat handuk. "Iya, Pak Doni? Ada apa?"
"Ibunya Nona Naira, sebelum meninggal, sering memasak nasi goreng untuk putrinya. Ibu kenal almarhum?"
Wajah Tuti langsung melembut. Senyum kenangan muncul di bibirnya, mata berkaca-kaca sedikit. "Oh, Ibu Lastri. Orangnya baik sekali. Saya sempat beberapa kali bertemu sebelum beliau sakit."
"Bu Tuti ingat bagaimana cara beliau memasak? Terutama nasi goreng kampungnya?"
Tuti berpikir sebentar, menatap ke atas seperti mencari memori yang tersimpan. "Hmm... Ibu Lastri itu sederhana. Katanya, nasi goreng kampung itu soal kehangatan, bukan kemewahan. Nasi putih sisa semalam yang agak pera, tidak lembek, jadi butirnya tetap terpisah waktu digoreng. Bawang merah, bawang putih, cabai rawit, kecap manis khas Jogja, sedikit terasi, dan yang paling penting..."
"Apa itu?"
"Ia selalu memakai minyak bawang merah buatan sendiri. Bawang merah diiris tipis, digoreng sampai kecoklatan, minyaknya disimpan. Itu yang membuat nasi gorengnya wangi dan berbeda dari yang lain."
Doni mencatat dalam kepala. Minyak bawang merah. Detail kecil, tapi bisa jadi kunci besar.
"Telurnya ceplok setengah matang," lanjut Tuti. "Kuningnya masih meleleh. Nona Naira kecil suka memecahkan kuning telurnya, dicampur dengan nasi gorengnya. Berantakan, tapi dia senang."
"Kerupuknya?"
"Kerupuk udang biasa. Yang tipis dan renyah. Kata Ibu Lastri, nasi goreng yang enak harus punya kontras: lembut, kenyal, dan renyah."
Doni tersenyum kecil. Tuti tidak sadar, ia baru saja memberikan resep yang ia cari.
"Kenapa tanya-tanya ini, Pak?" Tuti menatapnya, setengah penasaran. "Mau masak nasi goreng, ya?"
"Mungkin. Kalau berhasil, Nona Naira mungkin mau makan."
Mata Tuti langsung berbinar. "Astaga, Pak Doni. Kalau Bapak bisa membuat Nona Naira makan lagi, saya doakan lancar sampai seribu hari."
Untuk makan siang, Doni membuat salad quinoa dengan ayam panggang. Hidangan ringan, sehat, tidak terlalu berat untuk perut yang lama tidak terbiasa makan.
Dikembalikan setengah dimakan. Setengah. Itu kemajuan.
Malamnya, ia memasak pasta aglio olio dengan udang. Hidangan sederhana tapi beraroma kuat, bawang putih dan cabai menguar sampai ke lantai atas.
Dikembalikan tiga perempat dimakan. Lebih baik lagi.
Naira mulai makan. Sedikit, tapi ada usaha di sana. Ada keinginan yang mulai tumbuh kembali.
Doni bangun pukul tiga. Ia punya misi: membuat nasi goreng kampung yang bisa membuka hati yang terkunci.
Ia mulai dengan minyak bawang merah. Lima siung bawang merah diiris tipis-tipis, setiap irisan setebal kertas, membutuhkan kesabaran dan pisau yang tajam. Digoreng dengan api kecil sampai kecoklatan sempurna, tidak gosong tapi cukup kering. Aroma harum memenuhi dapur, aroma yang bisa membuat siapa pun lapar, aroma yang membawa kenangan pulang ke rumah. Ia tiriskan bawang goreng, lalu menyimpan minyaknya di wadah kaca kecil. Minyak itu berwarna emas, harum, kunci dari segalanya.
Lalu nasi putih sisa semalam yang sudah pera. Ia panaskan wajan besar, tuang minyak bawang merah, aroma langsung menyeruak kuat. Tumis bawang putih dan bawang merah sampai harum, tambahkan cabai rawit yang diiris kasar dan sedikit terasi yang memberi depth rasa.
Nasi masuk. Ia aduk dengan gerakan memutar, spatula bergerak cepat, memastikan setiap butir terlapisi bumbu. Tambahkan kecap manis khas Jogja, kental dan legit. Warna nasi berubah kecoklatan cantik, seperti tanah setelah hujan.
Sedikit garam, sedikit gula, secukupnya penyedap.
Terus aduk. Api besar. Nasi harus kering, tidak boleh lembek. Setiap butir harus terpisah, tidak menggumpal. Bunyi wajan yang berdesis keras, aroma yang makin kuat, kehangatan yang mengepul.
Di wajan lain, ia membuat telur ceplok. Minyak panas, telur pecah dengan bunyi desis lembut, api kecil. Putih telur matang, pinggirnya sedikit renyah kecokelatan, kuningnya tetap lembut, bulat sempurna, berkilau di bawah lampu dapur.
Kerupuk udang digoreng sampai mengembang dan renyah, bunyi gemeletuk keras mengisi dapur.
Pukul setengah tujuh, nasi goreng sudah siap. Doni menatanya di piring keramik putih: nasi di tengah membentuk gunungan kecil, telur ceplok di atasnya dengan kuning telur berkilat lembut, kerupuk berdiri di samping, bawang goreng ditaburkan di atas seperti mahkota emas, ditambah irisan timun dan tomat sebagai pelengkap.
Sederhana. Tidak glamor seperti masakan restoran mahal, tapi ada kehangatan di sana. Cinta yang tidak terlihat tapi terasa. Rumah yang terwujud dalam piring.
Ia tidak menunggu Ratna. Tangannya mengambil nampan, lalu berhenti sebentar.
Pasal 18. Lantai dua adalah area pribadi Nona Naira, dilarang naik kecuali dalam kondisi darurat.
Ia menatap tangga yang menuju lantai atas. Lima ratus juta rupiah kalau melanggar. Pemecatan tanpa kompensasi. Tuntutan hukum.
Lalu ia teringat wajah Naira tadi malam. Mata kosong yang memohon kehangatan. Permintaan yang nyaris berbisik. Besok pagi. Kalau Anda mau...
Lima ratus juta vs satu jiwa. Bukan pilihan yang sulit.
Doni naik ke lantai dua. Untuk pertama kalinya, ia melanggar Pasal 18 tentang akses terbatas. Tapi ada hal yang lebih penting daripada aturan.
Pintu kamar Naira ada di ujung koridor, kayu jati dengan ukiran halus. Doni mengetuk pelan.
"Nona Naira? Saya Doni. Saya bawa sarapan."
Tidak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi. "Nasi goreng kampung. Seperti yang Anda minta."
Pintu terbuka perlahan.
Naira berdiri di sana dengan rambut berantakan, mata sembab, seperti baru bangun dari mimpi buruk yang panjang. Tapi ketika melihat nampan di tangan Doni, sesuatu berubah di wajahnya.
Ia menatap piring nasi goreng. Mata melebar. Tangan gemetar menutup mulut, napasnya tertahan.
"Ini..." Suaranya pecah. "Ini persis seperti yang Mama masak."
Doni menyerahkan nampan itu dengan hati-hati. "Mungkin tidak seenak buatan Mama Anda, tapi saya coba sebaik mungkin."
Naira mengambilnya dengan tangan bergetar. Ia berjalan ke balkon, duduk di kursi kecil. Doni berhenti di ambang pintu, tidak masuk lebih jauh.
Naira mengambil sendok, memecahkan kuning telur. Kuning itu meleleh, merembes ke nasi goreng seperti matahari terbenam di atas bukit coklat, perlahan menyebar, mewarnai segalanya dengan kehangatan. Ia aduk perlahan, mencampur semuanya.
Doni menahan napas. Jantungnya berdetak keras, berdentum di telinganya sendiri. Ini moment yang menentukan. Apakah rasanya sama? Apakah kenangan akan kembali? Atau justru mengecewakan dan membuat luka lebih dalam?
Suapan pertama masuk ke mulut.
Ia berhenti mengunyah.
Lalu menangis.
Air mata jatuh deras, tidak bisa dibendung. Ia menangis sambil terus makan, suap demi suap. Nasi goreng bercampur air mata, tapi ia tidak peduli. Ia makan seperti orang yang kelaparan bertahun-tahun dan akhirnya menemukan rumah.
Doni berdiri di ambang pintu. Dadanya sesak, tenggorokannya tercekat. Ia tidak tahu harus pergi atau tetap di sana. Haruskah ia beri dia privasi? Atau kehadirannya justru yang dibutuhkan, saksi bahwa ia tidak sendirian dalam kesedihan ini?
Ia memilih tetap. Diam. Menjaga dari jauh. Seperti menjaga api kecil yang baru dinyalakan dari angin yang bisa memadamkannya.
Naira menghabiskan semuanya. Setiap butir nasi. Setiap remah kerupuk. Bahkan menjilat sisa telur dengan kerupuknya.
Saat piring kosong, ia meletakkan sendok. Mengusap matanya dengan punggung tangan yang basah.
"Ini persis seperti yang Mama buat," katanya serak. "Bahkan minyak bawangnya sama. Bagaimana Anda tahu?"
"Saya tanya Bu Tuti," jawab Doni lembut. "Dan saya masak dengan ingat bahwa ini bukan sekadar nasi goreng. Ini kenangan. Ini pelukan. Ini rumah."
Naira menatapnya. Mata merah, tapi ada cahaya di sana. Cahaya kecil, tapi nyata. Seperti bintang pertama yang muncul di langit senja.
"Terima kasih, Pak Doni. Ini pertama kalinya dalam enam bulan saya merasa... kenyang. Bukan cuma di perut, tapi di sini." Ia menunjuk dadanya.
Doni tersenyum. "Itu yang seharusnya dilakukan makanan. Membuat kenyang lebih dari sekadar perut."
Dan pagi itu, di balkon kamar Naira Adani, dengan piring kosong dan mata basah, sesuatu mulai sembuh. Perlahan, nyaris tidak terlihat, tapi pasti. Seperti retakan es di musim semi, tidak dramatis tapi irreversible.
Pintu yang terkunci mulai terbuka. Dan Doni, tanpa sadar, sudah melangkah masuk, tidak hanya ke kamarnya, tapi ke hidupnya. Ke dunia yang dilarang oleh lima puluh pasal kontrak. Ke zona bahaya yang harganya lima ratus juta rupiah.
Tapi di pagi itu, dengan cahaya matahari menyinari balkon dan Naira yang tersenyum tipis sambil mengusap mata, tidak ada yang lebih penting dari ini: seseorang yang mulai ingin hidup lagi.
Dan Doni tahu, apa pun konsekuensinya, ia tidak akan menyesal.
...---•---...
...Bersambung...