Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 35
Lampu mobil ketiga berhenti tepat di depan rumah tua Arther.
Tidak terburu-buru.
Tidak panik.
Tidak sembunyi.
Hanya berhenti…
seperti seseorang yang yakin ia berhak berada di sana.
James memegang tangan Hana erat-erat.
Hana memeluk pinggang James dari belakang, tubuhnya gemetar.
Nathan mendekat ke jendela, menengok sedikit.
“Mobil itu…”
suara Nathan pecah.
“…bukan mobil Soni, bukan Davre.
Bukan siapa pun yang aku kenal.”
Raina menutupi mulut.
A berdiri tegak, mata melebar.
Ia tahu mobil itu.
Soni memucat.
Wajahnya berubah drastis—
bukan marah…
bukan benci…
tapi takut.
Arman hanya tersenyum, seperti orang yang sudah menunggu momen ini.
Pintu mobil terbuka pelan.
Suara sepatu menapak tanah terdengar sangat jelas.
Tok.
Tok.
Tok.
Langkah itu masuk ke rumah tanpa izin.
Seolah rumah itu miliknya.
Sosok itu akhirnya muncul di bingkai pintu:
Pria muda, sekitar akhir 30-an.
Wajah terawat, rambut hitam rapi, memakai jas gelap.
Mata tajam… namun kosong.
Senyum tipis… namun sangat berbahaya.
Ia berhenti di depan mereka.
Memandang satu persatu.
Hingga matanya berhenti pada Hana.
Hana langsung bersembunyi ke tubuh James.
James memeluknya lebih erat.
Pria itu tersenyum tipis.
“Hana.”
Hana langsung jatuh berlutut, seluruh tubuhnya gemetar hebat.
“Tidak… tidak mungkin… kau…”
James memeluk bahunya, kaget.
“Hana? Kau kenal dia?!”
Hana menangis tanpa suara.
Pria itu menatap Hana seperti menatap benda rapuh.
“Halo…
gadis kecil yang malam itu kabur dariku.”
James membeku.
A menelan ludah.
Nathan menahan napas.
Soni memejamkan mata, wajah penuh kebencian.
Arman tersenyum.
“Perkenalkan, James.”
Arman menunjuk pria itu.
“Ini Evan Lieman, tangan kanan lamaku… sekaligus orang yang memulai semua kekacauan itu.”
James menoleh cepat.
“…dia?
Dia yang…?”
Evan mengangguk sopan.
“Aku yang membuat ibumu kabur malam itu, James.”
Hana menutup telinganya, menangis keras.
James mencium kepala Hana, menahannya erat.
“Jangan dengar… jangan dengar…”
Evan melanjutkan, tidak peduli:
“Aku mendatangi Melena malam itu.
Aku hanya ingin mengambil sesuatu darinya.
Tapi dia menolak…
dan kabur.”
A maju setengah langkah.
“Kau ancam dia!
Kau buat dia takut sampai lari ke hutan!”
Evan tersenyum miring.
“Aku hanya minta sesuatu yang sebenarnya bukan milik Melena.”
James menatap Evan tajam.
“Apa yang kau minta?”
Evan memiringkan kepala.
“Dokumen kontrak rahasia Davre.
Melena menyimpannya.”
Arman menambahkan dengan tenang:
“Melena tidak seharusnya mengambil dokumen itu.
Tapi dia takut padaku… takut pada Soni…
dan takut pada Evan.”
James menegang.
“Kalian semua membuat dia takut.”
Arman tidak menyangkal.
Evan melihat ke James lagi.
“Melena lari… dan aku mengejarnya.
Tapi aku terlalu cepat.
Aku yang membuatnya panik berlari ke hutan.”
Hana memukul lantai, suara tersedu:
“Aku lihat kau!
Aku lihat kau di malam itu!
Aku lihat wajahmu dari balik lampu mobil…
kau yang dia takuti!”
Evan menatap Hana lembut—lembut yang palsu.
“Hana…
kau saksi kecil yang sangat pintar.”
James menarik Hana ke dalam pelukannya.
“Jangan dekati Hana lagi!”
Evan tersenyum, melihat cara James memegang Hana.
“Oh… jadi dia penting bagimu?”
Soni akhirnya bicara—marah, namun suaranya goyah:
“Evan…
jangan sentuh mereka.
Ini salahku…
biarkan aku yang selesaikan.”
Evan mendengus.
“Salahmu?
Semuanya terjadi karena ketidak bergunaanmu, Soni.”
Soni memukul meja.
“Aku mencoba lindungi keluarga!”
Evan menatapnya dingin.
“Kau gagal.”
Arman melangkah maju.
“Cukup.”
Evan langsung diam.
Seperti anjing yang baru diikat rantai.
Arman menoleh ke James.
“Kau sudah tahu semuanya.
Ibumu kabur dari Evan.
Jatuh karena panik.
A melihatnya terakhir kali hidup.
Soni melihatnya sudah tak bergerak.
Dan aku… memutuskan menyembunyikan kebenaran.”
James menutup mata.
Seluruh tubuhnya bergetar.
Hana memegang wajah James dengan kedua tangan.
“James… lihat aku.
Lihat aku.”
James membuka matanya.
Mata merah, penuh luka dan kemarahan.
“Aku hanya ingin satu hal.”
Arman mengangkat dagu.
“Apa?”
James menjawab pelan namun tajam:
“Hentikan semuanya.”
Hana menggenggam tangan James.
Evan menatap Arman.
“Dia tidak mau ikut kita?”
Arman menghela napas.
“Jelas tidak.”
Evan mendengus.
“Kalau begitu… aku selesaikan masalah kecil ini.”
Ia melangkah maju ke arah James dan Hana.
James berdiri melindungi Hana sepenuhnya.
“JANGAN DEKAT.”
Evan tersenyum sinis.
“Aku hanya butuh satu—”
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya—
A bergerak lebih cepat daripada semua orang.
Ia menahan Evan dengan tubuhnya, mendorongnya mundur.
Evan hampir terjatuh.
“A…” bisik Hana.
A menatap Evan dengan mata membara.
“Kau sudah hancurkan satu keluarga.
Kau tidak sentuh keluarga ini lagi.”
Evan mengangkat alis sedikit.
“Oh?
Jadi kau ingin jadi pahlawan sekarang?”
A balas:
“Tidak.
Tapi aku tidak biarkan James mengalami apa yang Melena rasakan.”
James terkejut.
Hana menutup mulutnya, air mata jatuh.
Arman mengangkat tangan.
“Cukup, Evan.”
Evan menegang.
“Tapi—”
“Cukup,” ulang Arman, dingin.
Evan mundur dua langkah—patuh.
Arman menatap James dan Hana.
“Kau bukan milikku, James.
Dan aku tidak akan memaksamu.”
James tidak menjawab.
Arman melanjutkan:
“Tapi Evan benar soal satu hal—
kau sekarang berada dalam permainan besar.
Dan satu-satunya cara keluar adalah…”
Arman memandang Hana.
“…menyembunyikan kebenaran, atau mengubahnya.”
Hana menggigil, memeluk James.
James memegang wajah Hana.
“Aku akan lindungi kita.
Apa pun caranya.”
Arman menatap mereka berdua lama—lebih lama dari sebelumnya.
Kemudian ia berkata:
“Aku akan pergi malam ini.
Tapi Evan… akan kembali mencari dokumen itu.”
Evan tersenyum ke Hana—senyum yang membuat darahnya membeku.
“Karena gadis kecil itu… tahu sesuatu.”
James langsung memeluk Hana, marah.
“HENTIKAN MENYENTUH HIDUP KAMI!”
A berdiri di antara James dan Evan, siap menghadapi apa pun.
Arman berbalik.
“Sampai kita bertemu lagi, James.”
Ia berjalan keluar.
Soni terdiam, seperti kehilangan seluruh kekuatannya.
Evan mengikuti Arman, tapi sebelum keluar ia memandang Hana sekali lagi.
“Jangan kabur lagi, Hana.
Kali ini aku tidak akan membiarkanmu lari.”
Hana jatuh ke lantai, menangis keras.
James memeluknya.
A menutup pintu, wajahnya gelap.
Nathan dan Raina tidak bisa berkata apa-apa.
Rumah tua Arther tenggelam dalam keheningan besar.
Karena sekarang mereka tahu:
Soni bukan ancaman terakhir.
Davre bukan musuh utama.
Evan Lieman adalah bayangan yang kembali untuk merampas sesuatu—atau seseorang.
Suasana di rumah tua Arther berubah seperti ruang yang ditutup ribuan tahun.
Tidak ada suara dari luar.
Angin pun tidak berani masuk.
Hana duduk di lantai, kedua tangan memeluk lutut.
James berlutut di depannya, memegang pipinya lembut.
“Hana… lihat aku.”
Hana menatapnya—mata merah, penuh ketakutan.
“Dia… Evan… dia masih ingat aku…”
suara Hana pecah.
James langsung memeluknya erat.
“Aku tidak biarkan dia sentuh kau.
Tidak sekarang. Tidak selamanya.”
Hana menggigit bibir, menahan isak.
A berdiri di dekat pintu, memastikan tidak ada yang mengikuti.
Nathan dan Raina duduk di kursi tua, masih syok.
Soni berdiri di sudut ruangan, wajahnya benar-benar hancur.
Untuk pertama kalinya, ia tampak seperti manusia yang menyesal, bukan manipulator.
Nathan mengambil napas panjang, lalu berkata:
“Kita… harus mulai dari dokumen itu.
Apa sebenarnya yang Evan cari?”
A menatap Nathan.
“Dokumen itu… memuat catatan korup Davre Corporation dua puluh tahun terakhir.
Kontrak ilegal.
Nama-nama besar.”
James menegang.
“Melena punya semua itu?”
A mengangguk.
“Dia pernah menemukan dokumen itu saat bekerja di Davre.
Melena tahu jika dia melaporkan secara resmi…
Davre akan hancur.”
Raina mengerutkan kening.
“Tapi… itu berarti dia seharusnya melapor, kan?”
A menghela napas.
“Dia tidak bisa.
Seseorang mengancam akan mengambil James.”
Semua mata beralih ke James.
James menatap lantai, berusaha mengendalikan napas.
Hana menarik napas pelan… lalu berkata:
“Aku…
aku pernah lihat dokumen itu.”
Semua menoleh ke Hana.
Soni paling terkejut.
“HA— apa?”
Hana menelan ludah.
“Melena… malam itu… sebelum dia kabur…
dia datang ke rumah Soni.
Dia membawa map cokelat…
dia memintaku menyimpannya.”
James memegang tangan Hana.
“Hana… kenapa kau tidak pernah bilang?”
Hana menggoyang kepala cepat.
“Aku takut…
Soni bilang… kalau aku buka mulut… aku akan buat semuanya lebih buruk…
jadi aku diam…”
James meraih pipinya, memeluk Hana erat.
“Kau tidak salah.
Tidak ada yang salah.”
A mendekat.
“Hana…
di mana dokumen itu sekarang?”
Hana menutup mata.
Keringat dingin turun dari pelipisnya.
“Aku… kubur.”
Nathan mengangkat alis.
“Kubur?”
Hana mengangguk.
“Di belakang taman bunga kecil yang Soni bangun…
di bawah batu besar…
Melena suruh aku simpan…
dia bilang… ‘kalau aku tidak kembali… jangan berikan pada siapa pun’.”
James menelan ludah, emosinya naik.
“Hana…
kau simpan rahasia itu sendiri selama dua tahun…?”
Hana mengangguk sambil menahan tangis.
“Karena… aku takut…
dan aku tidak mau James terluka…”
James langsung memeluknya.
“Hana… kau luar biasa.
Kau bertahan sendirian selama ini.”
Hana menangis, tapi kali ini bukan karena ketakutan, melainkan lega.
Semua menoleh ketika Soni melangkah maju.
Matanya tidak lagi dingin.
Tidak lagi penuh kontrol.
Tetapi penuh penyesalan yang sangat dalam.
“Hana…” suara Soni berat.
Hana langsung mundur dan memeluk James.
Soni terhenti—seperti seseorang yang baru sadar betapa hancurnya dia di mata Hana.
Soni menunduk.
“Selama ini aku pikir…
aku melindungi James.
Melindungi keluargaku.”
Soni mengalihkan pandangan ke James.
“Tapi aku salah.
Aku… membuat semuanya lebih buruk.”
James tidak menjawab.
Soni menatap Hana lagi.
“Hana…
aku minta maaf.”
Semua terdiam.
Kata itu… “maaf”…
bukan sesuatu yang pernah keluar dari mulut Soni.
Soni mengepalkan tangan.
“Aku tidak bisa menghapus apa yang sudah kulakukan.
Tapi aku bisa melakukan satu hal…
yang benar untuk pertama kalinya.”
James menaikkan alis.
“Apa itu?”
Soni mengangkat wajah, akhirnya menatap semuanya.
“Aku akan berpihak pada kalian.”
Nathan hampir tidak percaya.
Raina melihat James.
A memandang Soni tanpa ekspresi.
Soni melanjutkan:
“Davre—Arman—tidak akan berhenti sampai dia dapat James.
Evan… tidak akan berhenti sampai dapat dokumen.”
Hana memegang lengan James.
Soni menatap James dengan tegas.
“Kalau kalian berperang sendirian, kalian kalah.
Tapi kalau aku ikut…
aku bisa beri akses.
Informasi.
Tempat aman.
Semua yang aku tahu tentang Davre.”
James menatapnya lama…
menimbang…
mengenang semua luka yang Soni berikan…
Lalu ia menjawab:
“Kalau kau bohong satu kali saja…
aku tidak akan memaafkan.”
Soni menunduk.
“Aku tidak akan bohong lagi.”
Hana menatap Soni lama, ragu, takut, namun… ada sedikit perubahan.
Sedikit saja.
A akhirnya bicara.
“Kalau begitu…
kita harus bergerak cepat.
Evan akan kembali untuk mencari Hana…
dan dokumen itu.”
James mengangguk.
“Kita ambil dokumen itu malam ini.”
Hana memegang dadanya.
“Tapi, James… tempat itu… dekat rumah Soni…”
James menatapnya dalam.
“Aku bersama kau.
Tidak ada yang sentuh kau.”
Hana mengangguk pelan namun tegas.
“Baik…
mari kita akhiri ini.”
Raina mengambil jaketnya.
Nathan mengamankan laptop dan rekaman.
Soni mengambil ponsel dan kunci cadangan.
A berdiri paling dekat dengan pintu.
“Kita pergi sekarang.
Semakin lama kita di sini, semakin mudah Evan menemukan kita.”
James memutuskan:
“Kita ke taman bunga…
kita ambil dokumen itu…
dan kita akhiri permainan Davre.”
Hana menarik napas panjang.
“James…
aku siap.”
Dan mereka keluar bersama-sama.
Untuk pertama kalinya…
bukan sebagai orang yang dikejar.
Tapi sebagai pihak yang akan menyerang balik.
By : Elara21
03-12-2025