NovelToon NovelToon
Reany

Reany

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Wanita Karir / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aerishh Taher

Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.


Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.

Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.

Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.

Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.


Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.

memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.

Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 : Kedatangan Breinzo Wijaya

Paman Aryan dan Tante Cassy telah kembali ke paviliun timur.

Kini diruang keluarga tinggal Doroti, Reani, orang tuanya dan opa Oma Reani.

Setelah hening beberapa saat,

Johan membuka suara. “Rea, Papa ingin dengar langsung rencanamu untuk RUPS.”

Reani menatap ayahnya dengan ekspresi tegas. “Arian sudah siap dengan dokumen pemecatan Juna dari posisi Direktur Operasional. Direksi mendukung. Voting kemungkinan mutlak.”

Opa mengetuk tongkatnya ke lantai satu kali. “Bagus. Pria itu sudah terlalu lama diberi tempat.”

Doroti menahan tawa. “Dia pikir bisa sok berkuasa. Padahal cuma numpang hidup.”

Reani mengabaikannya. Ia menatap Johan lagi. “Setelah voting, aku ambil alih operasional. Kita restrukturisasi cepat. Tidak ada celah untuk drama Juna atau Renata.”

Johan mengangguk pelan. “Papa sudah bicara dengan bagian keuangan. Mereka siap memisahkan semua transaksi yang mencurigakan. Kalau dia memakai uangmu atau dana perusahaan, langsung kita tarik ke ranah hukum.”

Sebuah perubahan kecil terlihat di wajah Oma. Ia mencondongkan tubuh sedikit. “Rea, Oma mau tahu. Kamu masih mau masalah ini diselesaikan secara halus? Atau langsung habis-habisan?”

Reani tidak butuh waktu lama untuk menjawab.

“Tidak ada halus lagi, Oma.”

Doroti mengangkat ibu jari. “Akhirnya.”

Opa menatap Reani lebih lama dari biasanya. Sorot matanya mengeras. “Kalau begitu, Opa siapkan satu tim bantuan. Kau tinggal bilang kapan.”

Johan langsung menoleh. “Pa, kita masih bisa tangani secara internal. Tidak perlu tim luar.”

Opa mengangkat tangan, menghentikan sang anak. “Aku tahu batasmu, Johan. Rea membutuhkan punggung besar. Dan punggung itu keluarga ini.”

Johan terdiam.

Reani menggeser duduknya mendekat ke meja kecil di tengah ruangan. “Baik. Aku terima, Opa. Tapi aku ingin kendali tetap di tangan aku.”

Opa tersenyum tipis. “Tentu. Keluarga ini hanya memberi porsi kekuatan. Yang memegang pedang tetap kau.”

Doroti langsung bersandar santai. “Aduh, suka sekali aku kalau sudah begini.”

Sisilia akhirnya bicara. Suaranya pelan, tapi jelas. “Rea… kalau RUPS selesai, apa kamu yakin mau lanjut bawa kasus Juna sampai pengadilan?”

Reani menatap ibunya. “Iya.”

“Kalau dia memohon?” Sisilia bertanya hati-hati.

Reani tidak berkedip. “Dia tidak punya hak untuk memohon.”

Doroti bertepuk pelan. “Jawaban terbaik malam ini.”

Oma menatap gadis itu dengan bangga. “Cucu Oma sudah besar.”

Namun percakapan belum selesai. Opa masih memandang Reani seakan menyimpan sesuatu.

“Rea,” katanya akhirnya. “Tentang Gerhana.”

Reani menoleh. “Apa?”

“Besok dia datang,” kata Opa tanpa nada dramatis. “Untuk bicara denganmu.”

Suasana langsung berubah.

Doroti menjatuhkan ponselnya ke sofa. “Besok!? Opa, itu terlalu cepat!”

Sisilia menegang. Johan memijat pelipis.

Reani sendiri terlihat kaget, tapi tidak kehilangan kendali. “Opa sudah atur sebelumnya?”

Opa mengangguk. “Sudah. Samuel juga setuju.”

Doroti menempelkan tangan ke wajahnya. “Tolong… jangan bilang ini perjodohan.”

Opa menatapnya tajam. “Kalau iya kenapa?”

Doroti langsung diam.

Reani bersandar. “Opa… aku sedang menghadapi masalah Juna. Besok RUPS. Kenapa memasukkan Gerhana sekarang?”

Opa mengangkat tongkatnya ke arah Reani. “Karena kamu butuh sekutu yang tidak bisa dibeli siapa pun.”

Reani terdiam.

“Gerhana tidak suka keributan,” lanjut Opa. “Dia tidak peduli status, wajah, atau drama. Dia hanya peduli kemampuan seseorang berdiri tegak ketika dihantam masalah.”

“Lalu kenapa harus aku?” Reani bertanya.

Opa tersenyum kecil. “Karena dia bilang… ‘Jika Reani masih punya nyali berdiri di depan semua orang setelah dihancurkan, aku tidak keberatan bicara dengannya.’”

Ruangan itu benar-benar hening.

Johan membuka suara paling dulu. “Rea… keputusan tetap di tanganmu.”

Oma menepuk lutut. “Kalian terlalu tegang. Gerhana cuma mau bicara, bukan melamar.”

Doroti menggerutu. “Kalau tahu gitu aku pakai lip gloss tadi.”

Reani akhirnya duduk tegak lagi. “Baik. Besok aku temui.”

Opa mengangguk puas sekali, seperti seorang jenderal yang baru memenangkan satu babak.

“Keluarga ini berdiri di belakangmu, Rea,” katanya.

Reani menatap mereka satu per satu.

Ayahnya yang tegas.

Ibunya yang cemas.

Doroti yang berisik tapi setia.

Oma yang lembut.

Opa yang keras kepala tapi selalu ada.

Dan cahaya di luar jendela rumah besar itu.

“Kalian tidak perlu khawatir,” kata Reani akhirnya. “RUPS dua hari lagi. Juna tidak akan pulang dengan kursi direktur.”

“Dia pulang sebagai apa?” tanya Doroti.

Reani menatap lurus ke depan.

“Sebagai mantan suami yang segera menjadi terdakwa.”

Tidak ada yang tertawa.

Semua hanya mengangguk.

Setelah suasana ruang keluarga perlahan mencair, Reani bangkit dari sofa.

“Pa, Ma, Oma, Opa… Rea naik duluan, ya. Besok masih panjang.”

Sisilia mengangguk lembut. “Istirahat, Nak.”

Johan hanya menepuk bahu putrinya—sebuah persetujuan tanpa kata.

Opa menggumam, “Besok kau butuh kepala yang dingin.”

Oma mengibaskan tangan. “Jangan dipikirkan terlalu keras malam ini.”

Reani tersenyum lalu melangkah keluar dari ruang keluarga. Namun baru beberapa langkah, suara langkah cepat terdengar di belakangnya.

“Reaaaa tungguuu!”

Tentu saja—Doroti.

Reani menghela napas sambil setengah menoleh. “Apa lagi, Dorot?”

Doroti menyamakan langkah, wajahnya terang benderang seperti baru dapat ide berbahaya.

“Rea, kira-kira kalau aku bikin sedikit keributan pas RUPS… nggak masalah, kan?”

Reani berhenti total. Menatap sepupunya dari ujung kaki sampai ujung rambut.

“Kita sudah sepakat tidak berlebihan, Doroti. Kenapa sekarang malah mau bikin keributan?”

Doroti menaikkan alis, cengengesan. “Ah… hehehehe… nggak asik ah, Rea. RUPS itu pasti tegang banget. Masa aku cuma duduk diam? Aku mau bersenang-senang lah.”

“Bersenang-senangmu itu biasanya melibatkan seseorang menangis, terlempar mental, atau trauma ringan, Dor.”

“Ya makanya!” Doroti berseru penuh semangat. “Juna cocok banget jadi korbannya!”

Reani menutup wajahnya dengan satu tangan. “Astaga… Doroti….”

Doroti menyengir makin lebar. “Terserah Rea aja. Yang penting besok aku mau tampil kece. Biar Juna ingat bahwa hidupnya mulai hancur dengan gaya.”

“Pulang sana.” Reani menunjuk ke arah paviliun timur. “Sebelum aku berubah pikiran dan mengusirmu.”

Doroti merengut, tapi tetap berbalik.

“Oke, oke. Aku pulang… Tapi Rea, serius ya… kalo nanti aku kepikiran ide bagus—”

“Doroti.”

“—aku bakal kasih kejutan manis!”

“DOROTI!”

“Hehehehe! Good night, cucu emas Wijaya!”

Doroti melambai sambil berlari kecil menuju paviliun timurnya, rambutnya berkibar seperti bendera perang menjelang pertarungan.

Reani hanya bisa memijat pelipis.

“Ya Tuhan… kalau dia mulai menikmati permainan ini… bisa-bisa Juna nangis darah.”

Ia menatap langit malam di halaman, tarikan napas panjang lolos pelan.

“Juna… ini karma-mu. Sebentar lagi kau akan jadi mainan Doroti.”

Reani menggeleng lirih dan melanjutkan langkahnya menuju kamarnya, bersiap menghadapi hari esok.

___

Ke esokan paginya......

udara di halaman depan rumah utama Wijaya masih basah oleh embun ketika sebuah mobil hitam panjang berhenti tepat di depan tangga marmer. Mesin dimatikan. Dalam jeda beberapa detik, pintu belakang terbuka.

Sosok tinggi dengan setelan abu gelap turun perlahan—rambut hitamnya rapi, wajahnya kaku seperti patung marmer yang tak pernah mengenal senyum. Breinzo Wijaya. Kakak sulung Reani. Pewaris pertama keluarga setelah Johan.

Ia tidak tergesa. Napasnya tenang. Setiap langkahnya memiliki bobot yang membuat udara di sekitar seakan menahan diri.

Pintu rumah terbuka dari dalam—Oma, Opa, Johan, Sisilia, dan beberapa pelayan refleks menunduk memberi hormat.

Breinzo hanya mengangguk singkat.

“Akhirnya pulang juga kamu, Mas.” Suara Johan terdengar rendah, formal, lebih seperti menyambut partner bisnis daripada anak sendiri.

Breinzo menjabat tangan ayahnya. “Papa.”

Tapi detik berikutnya, tatapannya bergerak. Melesat. Terhenti pada sosok yang berdiri sedikit di belakang Sisilia.

Reani.

Ia bersandar pada salah satu pilar dengan cangkir teh di tangan, rambut panjangnya tergerai setengah basah setelah mandi, wajahnya tenang tapi waspada. Pagi ini ia tidak berencana menyambut siapa pun—tapi sapaan para pelayan memaksanya keluar.

Breinzo menatap adiknya beberapa detik. Wajah dinginnya retak—tipis, sekilas, tapi jelas.

Senyum. Sangat tipis. Tapi itu sudah cukup membuat Sisilia menghembus napas lega.

“Rea.” Breinzo memanggil.

Reani menurunkan cangkir lalu menghampiri. “Mas Breinzo.”

Saat berdiri di hadapannya, Reani baru sadar betapa besar perubahan kakaknya setelah setahun di luar negeri. Bahunya lebih kokoh. Auranya lebih tajam. Mata yang dulu sering terlihat letih kini memantulkan ketenangan yang berbahaya—seperti seseorang yang baru keluar dari peperangan panjang.

Breinzo mengulurkan tangan, tapi sebelum Reani sempat menyambut, kakaknya menariknya ke dalam pelukan singkat.

Hangat. Singkat. Tegas.

“Mas kangen,” gumam Breinzo nyaris tidak terdengar.

Reani tersenyum kecil. “Aku juga.”

Saat mereka melepaskan pelukan itu, Oma tersenyum bahagia. “Ah, cucu-cucu Oma sudah tua sekali, tapi si sulung belum juga punya pasangan.”

Breinzo mengalikan pembicaraan dari sang Oma. Langsung, beralih ke Johan.

“Ehemm... Papa… aku pulang bukan hanya untuk urusan bisnis.”

Johan menatapnya hati-hati. “Papa tahu.”

Breinzo menoleh lagi pada Reani, kali ini tatapannya berat.

“Aku sudah dengar masalah Juna,” katanya tanpa basa-basi.

Udaranya berubah. Tegang. Opa mengetuk tongkat sekali, seolah menyuruh semua orang diam.

Breinzo bertanya langsung pada adiknya, “Apa kamu baik-baik saja?”

Reani merapikan rambutnya ke belakang sambil menatap balik kakaknya. Sorot matanya sama tajamnya, seolah mereka berasal dari cetakan yang sama.

“Ya, Mas.”

Breinzo mengangguk perlahan. “Aku lega.”

Ia menatap seluruh keluarga.

“Kalau begitu… aku juga akan ikut memberi pelajaran pada Juna keparat iti.”

Doroti yang tiba-tiba muncul dari arah tangga hampir menjatuhkan ponselnya. “Astaga… akhirnya ini akan jadi seru.”

Breinzo menatap sepupunya itu datar. “Kau tidak pernah berubah Doroti, Masih saja suka mempermainkan orang lain.”

Doroti tertegun beberapa detik. “Tentu, apalagi musuh. Aku merasa paling keren saat bermain.”

Reani menyilangkan tangan di dada, menatap kakaknya.

“Kalau Mas ikut terlibat… Juna benar-benar tamat.”

Breinzo memiringkan kepala sedikit, bibirnya melengkung tipis.

“Dia sudah adik kesayangan ku.”

Doroti bersiul pelan. “Sepertinya aku punya ide untuk RUPS besok, nggak sabar liat waja Juna besok, hihihi.”

Johan menghela napas. “Breinzo… RUPS akan diadakan esok hari. Kita tetap jalankan sesuai rencana. Tidak boleh ada aksi gegabah.”

“Aku tidak gegabah,” jawab Breinzo tenang. “Aku hanya melindungi adikku.”

Ia menyalami Oma, menepuk bahu Opa, lalu berbalik pada Reani.

“Rea,” katanya, suaranya dalam dan mantap. “Mas janji, Juna akan mendapatkan ganjarannya, akan Mas lakukan apapun.”

Sampai di situ, barulah Reani tersenyum—senyum yang tidak ia tunjukkan sejak seluruh masalah Juna dimulai.

“Makasih Mas, dan maaf sudah buat Mas khawatir.” katanya pelan.

“Jangan lupa, aku Mas mu,” jawab Breinzo. “Melindungi mu dan keluarga Wijaya adalah tugas Mas mu ini.”

Doroti terkekeh. “Duhh so manis sekali adik kakak ini.”

Reani mengangkat dagunya sedikit. “Jangan iri, makanya suruh Tante Cassy buat adik untukmu.”

Breinzo mengangguk tenang. “Betul.”

Doroti mencebikkan bibirnya. Sedangkan anggota keluarga yang lain tertawa melihat seperti yang kesal.

bersambung.....

1
Noor hidayati
wah saingan juna ga kaleng kaleng
Noor hidayati
ayahnya juna tinggal diluar kota kan,waktu ayahnya meninggal juna balik kampung,ibunya juna itu tinggal dikampung juga atau dikota sama dengan juna,ibunya juna kok bisa ikut campur tentang perusahaan dan gayanya bak sosialita,aku kira ibunya juna tinggal dikampung dan hidup bersahaja
drpiupou: balik Lampung bukan kampung beneran kak, maksudnya kita kecil gitu.
ibunya Juna itu sok kaya kak 🤣
total 1 replies
Noor hidayati
mereka berdua,juna dan renata belum mendapatkan syok terapi,mungkin kalau juna sudah tahu reani anak konglomerat dia akan berbalik mengejar reani dan meninggalkan renata
drpiupou: bener kak
total 1 replies
Noor hidayati
lanjuuuuuuuut
Aulia
rekomended
drpiupou
🌹🕊️🕊️👍👍👍👍
Noor hidayati
apa rambut yang sudah disanggul bisa disibak kan thor🙏🙏
drpiupou: makasih reader, udah diperbaiki/Smile/
total 2 replies
Noor hidayati
juna berarti ga kenal keluarga reani
drpiupou: bener kak, nanti akan ada di eps selanjutnya.
total 2 replies
Noor hidayati
definisi orang tidak tahu diri banget,ditolong malah menggigit orang yang menolongnya,juna dan renata siap siap saja kehancuran sudah didepan mata
Noor hidayati
lanjuuuuuuut
Noor hidayati
kok belum up juga
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!