Ana yang baru masuk ke tempat kerja baru, terpikat dengan Aris, pemuda yang tampan, baik, rajin bekerja dan sopan. Sempat pacaran selama setahun sebelum mereka menikah.
Di tahun kedua pernikahan mereka, karakter Aris berubah dan semakin lama semakin buruk dan jahat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Frans Lizzie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 - Masak-masak di rumah Tiur
Hanya membutuhkan waktu setengah jam saja untuk mencapai rumah Tiur di Perumahan Dendang Melayu.
Rumah Tiur adalah tipe 36 hook dengan tambahan tembok yang agak ditinggikan di bagian depan rumah untuk teras dan penambahan atap dan lantai keramik di bagian belakang rumah untuk dapur dan ruang cuci dan jemur.
Walau sederhana tapi rumah Tiur sangat bersih dan rapi. Adanya pohon kersen yang tinggi di depan membuat rumah itu berudara segar karena sinar terik matahari terhalang oleh lebatnya daun pohon kersen.
Setelah menegakkan standar motor, Aris dan Ana memasuki rumah Tiur yang pintunya terbuka. Ada suara percakapan yang seru dari arah belakang. Tak lama kemudian muncul Tiur dari belakang rumahnya.
“Aris. Ana…kalian sudah datang. Kami lagi mempersiapkan bahan-bahan untuk nyate dan bakar jagung nanti.”
“Ada sate ya? Asyik ..,” sahut Aris.
“Eh, tas-tas kalian,” sela Tiur. “Kamu simpan di kamarku saja, biar lebih aman. Di luar gini kan pintunya terbuka…yah siapa tau .. diangkut orang.”
Aris lalu membuka kamar Tiur dan memasukkan tas-tas mereka ke kamar. Cara Aris bertindak terlihat sangat santai seolah-olah seperti di rumah sendiri.
Hal itu cukup membuat Ana bertanya-tanya.
“Mas kayaknya sudah biasa banget hapal seluk-beluk rumah Kak Tiur. Mas Aris sering ya main ke sini?” tanya Ana hati-hati sewaktu Aris yang dengan santainya mengambil dua cangkir dan menyeduh kopi sachet an, untuk dirinya sendiri dan juga Ana. “Kayak rumah mas sendiri saja.”
Aris tertawa dan malah memperkeras suara agar semua yang sudah hadir mendengar.
“Boru…., ini lho Ana heran kenapa aku kok udah kayak di rumah sendiri aja,... di rumahmu.”
Tiur yang sedang menyingkirkan kulit luar jagung lalu menusuk tengah jagung dengan tusuk sate menjawab, “Masmu dulu yang bantu renov rumahku. Dia yang hitung-in keramiknya, cat temboknya, plafon, listrik… Dia juga yang atur anak buahnya dari proyek dan dari engineering untuk ngerjain. Hampir semua lah. Sampai rumah tipe 36 ku yang sederhana ini jadi lebih nyaman dan layak buat dihuni. Aku berterima kasih banget lho sama masmu.”
Yuni menyambung, “Iya syukurlah punya teman yang ngerti soal bangun rumah dan mau bantu. Kalau nggak, kita kita ini cewek yang nggak ngerti soal begituan bisa habis kita di tipu-tipu sama mandor bangunan.”
Ana mendengarkan semua itu sambil membantu Tiur membuka semua kulit jagung. Oke, kata Ana dalam hati. Jadi Aris memang sosok pria yang sangat baik, suka menolong, dan membantu teman.
Karena hal nilai Aris bertambah di hati Ana.
Nilai Aris bertambah lagi di hati Ana ketika mengetahui ketika Aris sangat terampil menyiapkan bumbu racikan sendiri untuk jagung bakar, bumbu sate ayam, juga bumbu sate kambing.
Dalam diam dan tanpa suara pujian langsung, Ana memperhatikan bagaimana Aris bisa bekerja di dapur dengan gesit sambil bercengkrama dengan Tiur dan Yuni yang sibuk menyiapkan yang lain untuk acara malam nanti.
Sebetulnya Ana merasa kikuk. Ia tidak memiliki keterampilan memasak sama sekali. Sebab tidak pernah ada seseorang yang mengajarinya memasak.
Sedari kecil dia dibesarkan dengan seorang ibu yang selalu sibuk berdagang, entah baju jadi, sprei dan sarung bantal untuk mencari nafkah.
Sedang ayahnya masih suka berkumpul dengan teman-temannya, berjudi atau sekedar sabung ayam.
Jadi sudah sedari kecil dia selalu sendiri di rumah. Ibunya selalu meninggalkan nasi di dandang. Sayur dan lauk pauk yang dibeli dari warung sekitar rumah. Lauk pauk dan sayur yang sama dari makan pagi, makan siang dan makan malam.
Terkadang saat makan malam adalah satu dua lauk tambahan dari ibunya yang sudah pulang dari berdagang. Karena itu sejak kecil, tak pernah ada pelajaran bagaimana cara membuat masakan ini dan itu, tetapi pelajaran bagaimana bisa memenuhi kebutuhan harian makanan dengan budget yang ada. Itulah pelajaran untuk bertahan hidup dari orangtuanya.
Keadaan itulah yang membuat Ana saat ini harus menekan rasa malu dan canggung ketika berada di tengah teman-temannya yang sangat cekatan dengan kerjaan dapur.
Bahkan Aris, yang seorang laki-laki pun sangat pandai meracik berbagai bumbu, mengiris sayur daging dan ikan.
Yuni yang melihat bahwa Ana sudah cukup banyak menyiapkan untuk jagung bakar nyeletuk, “Udah cukuplah jagung bakarnya. Sisanya biar dibawa anak-anak pulang buat yang di rumah.”
Ana semakin kikuk.
Apa yang harus ia lakukan jika menyiapkan jagung bakar sudah beres. Apa lagi yang bisa dia lakukan. Ana malu jika ketahuan kalau soal masak memasak dia itu nol besar.
Pada saat-saat kritis, suara Yudi yang baru saja datang mengalihkan perhatian dari Ana yang tampak ‘tidak berguna’.
“Assalamualaikum.“
“Walaikumsalam…..” sambut Yuni dan Aris hampir bersamaan.
Yudi dan Aniek, istrinya yang cantik masuk ke dalam. Tangan keduanya penuh dengan bawaan.
Aniek terbiasa menerima pesanan snack untuk acara-acara seperti arisan, pengajian, ulang tahun atau semacamnya. Jadi untuk memeriahkan acara ulang tahun Tiur dan kumpul-kumpul orang sales, Yudi dan istri menyumbang kudapan berupa, risol, lemper dan puding.
Yuni dan Tiur menggosok-gosokkan tangan mereka dengan puas. “Wah udah komplit hidangan kita. Sate, jagung bakar, jajan pasar, buah ada pisang dan jeruk.”
“Tinggal sayurnya…,” potong Tiur. “Bikin sayur apa ya…??”
Yuni, Yudi, Aniek dan Tiur memandang ke arah Ana.
Keringat dingin Ana langsung keluar. Apa yang harus dia lakukan?
Sampai usia 22 tahun kini, satu-satunya sayur yang ia tahu bentuk segarnya hanyalah wortel dan bayam. Tentu saja ia tak pernah tahu bagaimana prosesnya dari wortel dan bayam mentah sampai bisa matang dan enak dimakan.
Entah seperti apa warna raut wajah Ana saat itu. Dan entah sudah berapa lama bibirnya terkunci. Ana tak bisa berkata apa-apa.
Untunglah terdengar suara Aris yang membuka kulkas Tiur.
“Boru, aku lihat ada wortel, bunga kol, buncis,..ehmm sawi putih juga. Kalau aku memasak cap cay, mau??”
Tiur terlihat agak ragu. “Untuk membuat cap cay kayaknya aku tidak punya saus tiram lalu apa yang akan dipergunakan agar cap cay enak…tak ada daging atau seafood….”
“Aku lihat ada pasar kaget di tepi jalan masuk perumahan ini, lalu ada Indomaret. Semoga ada protein segar di sana. Aku pergi ke sana sebentar lah untuk belanja.”
“Setuju! Setuju!” seru Yudi, Anik dan Yuni bersamaan.
“Mantap!” Tiur bertepuk tangan. “Makan enak kita malam ini.”
“Masakan Chef Aris mantap jiwa.”
Aris tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Yuk Ana, kita belanja dulu buat bikin cap cay.”
Ana ikut beringsut mengikuti Aris keluar. “Aku pergi dulu ya.”
“Ris, bar blonjo balik mrene lho, ojo malah nyasar neng endi-endi..,” ceplos Yudi seperti biasa.
Tiur dan Yuni menatap kedua suami istri itu sambil mengangkat alisnya karena mereka kurang paham bahasa Jawa.
“Mas Yudi bilang supaya Mas Aris balik ke sini sehabis belanja, jangan malah nyasar ke….,” Aniek kembali cekikikan. “Mas Yudi sering cerita di rumah. Katanya banyak cowok-cowok di hotel yang naksir Mbak Ana. Mas Aris salah satunya.”
Itulah yang sayup-sayup sempat tertangkap telinga Ana sebelum ia naik membonceng motor Aris.