NovelToon NovelToon
Regresi Sang Raja Animasi

Regresi Sang Raja Animasi

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjadi Pengusaha / Bepergian untuk menjadi kaya / Time Travel / Mengubah Takdir / Romantis / Romansa
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Chal30

Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.

Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?

Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 16

Bulan keempat adalah fase paling krusial, final animasi dan pengomposisian. Semua elemen harus disatukan, gambar, warna, suara, dan musik. Satu kesalahan kecil bisa merusak keseluruhan flow film.

Kael membuat sistem quality check yang ketat. Setiap urutan harus di review minimal tiga kali oleh tiga orang berbeda sebelum dianggap final. Proses ini memakan waktu tapi memastikan konsistensi kualitas yang tinggi.

"Mas Kael, urutan tujuh sudah siap untuk review ketiga." Agus menyerahkan tumpukan frame yang sudah disusun, wajahnya menunjukkan kelelahan tapi juga kepuasan karena sudah menyelesaikan bagian yang sulit.

Kael mengambil frame-frame itu dan memeriksa satu per satu dengan teliti seperti seorang detektif yang mencari petunjuk kecil. Matanya tajam menangkap inkonsistensi sekecil apapun, warna yang sedikit berbeda di frame tertentu, timing yang meleset sepersekian detik, atau detail kecil yang terlewat.

"Frame dua ratus tiga puluh lima, bayangan pohon di background-nya terlalu gelap. Gak cocok sama lighting di frame sebelum dan sesudahnya. Ini harus disesuaikan." Kael menunjuk dengan pensil merah, memberikan note detail di margin kertas.

Agus mengangguk sambil mencatat dengan serius. "Oke, Mas. Gue benerin hari ini juga."

"Tapi overall, ini udah bagus banget, Gus. Lu improvement-nya luar biasa. Dari awal join sampai sekarang, skill lu naik drastis." Kael memberikan pujian yang tulus, membuat Agus tersenyum lebar dengan wajah yang sedikit memerah karena senang.

"Itu karena Mas Kael ngajarin dengan detail. Gue belajar lebih banyak di sini dalam enam bulan daripada tiga tahun di sekolah seni." Agus menjawab dengan jujur, matanya menatap Kael dengan rasa hormat yang mendalam.

Di pojok ruangan, Budi dan Arman sedang bekerja sama untuk final mixing musik dan sound effect. Mereka punya chemistry yang unik, Budi dengan pendekatan yang playful dan experimental, Arman dengan sense musikal yang kuat dan terstruktur.

"Bud, kalau kita layer suara angin dengan angklung yang dikumandangkan, kedengarannya mistis tapi gak serem. Pas banget buat scene anak kecilnya pertama kali masuk ke bagian dalam hutan." Arman mendemonstrasikan dengan mixing software sederhana yang mereka pinjam dari teman mahasiswa, telinganya fokus menangkap setiap nuansa suara.

Budi mendengarkan dengan kepala mengangguk-angguk mengikuti irama. "Perfect! Gue tambahin lagi sound effect dedaunan bergesekan dengan volume yang tak kentara. Biar ada kedalaman lapisan di audio-nya."

Mereka bekerja dengan flow yang natural, tidak perlu banyak komunikasi verbal karena sudah saling paham apa yang dibutuhkan. Setiap layer suara ditambahkan dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang sangat kuat tapi semuanya berkontribusi untuk membangun atmosfer yang kuat.

Sementara itu di lantai dua, Rani dan Sari sedang melakukan koreksi warna untuk semua background. Ini adalah pekerjaan yang monoton tapi sangat penting, memastikan setiap background punya palet warna yang konsisten dengan mood scene tersebut.

"Mbak Ran, urutan ini kan scene sore hari. Apa kita perlu bikin warna langit-nya lebih warm? Kayak berwarna jingga gitu?" Sari bertanya sambil menunjuk ke salah satu background yang warna langitnya terlihat terlalu pucat.

Rani menatap background itu sambil memicingkan mata, membayangkan bagaimana warna itu akan terlihat ketika disatukan dengan karakter animasi. "Iya, bagus itu. Tapi jangan terlalu orange sampai kayak matahari terbenam yang dramatis. Kita mau warm tapi masih natural. Coba sesuaikan sedikit aja, terus kita lihat hasilnya."

Sari langsung bekerja dengan cat air, melayer warna orange yang sangat tipis di bagian langit, membiarkannya mengering sebentar, lalu mengevaluasi hasilnya. "Kayak gini gimana, Mbak?"

"Perfect. Itu pas banget. Lu punya kesadaran dalam warna yang kuat, Sar. Gue kadang iri." Rani memuji sambil tersenyum, tangannya menepuk bahu Sari dengan lembut penuh dengan kebanggaan seperti guru yang melihat muridnya berkembang pesat.

Sari tersenyum malu tapi senang. "Gue belajar dari Mbak Ran kok. Mbak yang ngajarin gue cara liat warna gak cuma sebagai warna, tapi sebagai mood dan emosi."

Meeting evaluasi mingguan kali ini berbeda dari biasanya. Ada atmosfer yang lebih serius, bukan karena ada masalah, tapi karena mereka semua menyadari bahwa deadline final sudah semakin dekat. Satu bulan lagi, film harus selesai dan siap untuk disubmit ke festival.

"Status update dari semua department. Kita mulai dari animasi." Kael membuka meeting sambil menatap notes di tangannya yang penuh dengan checklist.

Dimas yang sudah pulih sepenuhnya dan kembali bekerja full time, memberikan laporan dengan nada yang cukup optimis. "animasi sudah delapan puluh lima persen. Semua urutan utama sudah selesai. Yang masih dalam progress adalah beberapa transisi scene dan detail gerakan sekunder di beberapa karakter background."

"Background dan warna?" Kael beralih ke Rani.

"Sembilan puluh persen. Semua background major sudah final. Tinggal beberapa prop kecil yang masih perlu ditambahkan di scene tertentu. Koreksi warna juga hampir selesai, masih ada tiga urutan yang perlu sentuhan akhir." Rani menjawab sambil menunjukkan checklistnya yang hampir semua itemnya sudah dicoret dengan marker hijau.

"Desain suara dan musik?"

Budi dan Arman saling pandang sebentar sebelum Budi yang menjawab. "Tujuh puluh lima persen. penilaian musik sudah selesai semua. Efek suara mayor juga done. Yang masih kita kerjain adalah pelapisan dan pencampuran, ini yang paling memakan waktu karena kita harus pastiin keseimbangan antara musik, sound effect, dan dialog."

"Rekaman dialog kapan mulai?" Kael bertanya sambil mencatat progress masing-masing department.

"Minggu depan. Gue udah kontak beberapa temen yang punya suara bagus dan bersedia rekaman gratis atau dengan bayaran seadanya yang kita bisa afford." Budi menjelaskan sambil menunjukkan list nama-nama voice actor amatir yang sudah ia hubungi.

Kael mengangguk puas. "Good. Kita di jalur yang benar. Tapi gak boleh lengah. Satu bulan itu cepet banget lewatnya. Yang udah selesai harus dikunci, gak boleh ada revisi lagi kecuali emang ada error kritis. Fokus semua tenaga ke yang belum selesai."

Meeting dilanjutkan dengan diskusi detail tentang beberapa issue teknis yang masih ada dan bagaimana solusinya. Tidak ada drama, tidak ada konflik, semua orang sudah sangat sinkron dan fokus pada tujuan yang sama.

Ketika meeting selesai dan semua orang kembali ke pekerjaan masing-masing, Kael duduk sendirian sebentar di ruang meeting dengan secangkir kopi dingin yang sudah ia biarkan terlalu lama. Ia menatap timeline produksi yang terpampang besar di dinding, garis-garis merah yang menandai tonggak pencapaian, checklist yang sebagian besar sudah dicoret, dan tanggal deadline final yang dilingkari berkali-kali dengan marker merah tebal.

"Satu bulan lagi," bisiknya pada diri sendiri, perasaan campur aduk antara excited dan nervous membuat dadanya sesak. "Setelah ini, gak ada jalan balik. Film ini bakal jadi statement kita. Bakal jadi bukti bahwa Studio Garasi bukan cuma kebetulan yang beruntung."

Ia teringat pada kehidupan sebelumnya, bagaimana ia pernah membuat film dengan budget yang jauh lebih besar, tim yang lebih profesional, tapi hasilnya hambar karena tidak punya jiwa. Film itu sukses secara komersial tapi gagal secara artistik. Dan itu adalah awal dari kehancurannya ketika ia mulai mengorbankan visi untuk profit, mulai membuat keputusan yang safe daripada yang berani.

Kali ini berbeda. Sang Penjaga dibuat dengan keterbatasan yang luar biasa budget minimal, peralatan seadanya, tim yang sebagian besar masih belajar. Tapi film ini punya sesuatu yang film-film besar di kehidupan sebelumnya tidak punya, hati yang tulus, visi yang jelas, dan team yang bekerja bukan karena kontrak tapi karena cinta pada keahlian mereka.

"Apapun yang terjadi di festival nanti, gue gak akan nyesel. Karena gue tau kita udah kasih semuanya yang kita punya," bisiknya lagi sambil tersenyum kecil, air matanya hampir keluar tapi ia tahan dengan kuat.

Pintu meeting room terbuka pelan. Rani masuk dengan dua gelas kopi hangat. "Gue tau lu belum makan dari tadi pagi. Ini kopi sama roti. Makan dulu."

Kael menatap Rani dengan senyum lelah tapi bersyukur. "Makasih, Ran. Lu selalu perhatian sama gue."

"Karena lu selalu lupa perhatian sama diri lu sendiri. Kalau gue gak ingetin, lu bisa gak makan seharian." Rani duduk di sebelah Kael, menyerahkan roti yang masih hangat dengan selai kacang favorit Kael yang ia hafal tanpa pernah ditanya.

Mereka makan dalam keheningan yang nyaman sambil menatap timeline di dinding. Tidak perlu banyak kata-kata, mereka berdua merasakan hal yang sama. Campuran antara takut dan excited. Antara ragu dan yakin. Antara capek dan semangat.

"Ran, kalau nanti film kita gak menang di festival… lu bakal kecewa?" Kael bertanya tiba-tiba, suaranya pelan hampir seperti bisikan.

Rani menatap Kael dengan tatapan yang lembut. "Kecewa pasti. Tapi gak akan nyesel. Karena yang penting buat gue bukan menang atau kalah, tapi proses kita bikin film ini. Gimana kita belajar bareng, struggle bareng, dan grow bareng. Itu yang gak akan pernah bisa diambil sama siapapun."

Kael tersenyum, senyum yang penuh dengan kehangatan dan rasa syukur. "Lu tau gak, Ran? Lu salah satu orang terbaik yang pernah gue kenal. Lu kuat, bertalenta, dan punya hati yang besar. Gue beruntung banget punya lu di tim ini."

Rani merasa pipinya memanas. Ia menunduk sambil tersenyum malu. "Jangan lebay ah. Gue cuma… gue cuma melakukan apa yang seharusnya gue lakukan."

"Itulah yang membuatmu istimewa. Lu gak ngerasa lu special, tapi lu adalah." Kael menjawab dengan tulus, tidak menyadari betapa kata-kata itu membuat jantung Rani berdegup lebih cepat dari biasanya.

Mereka menghabiskan sisa sore itu bersama, bukan bekerja, tapi hanya duduk dan ngobrol tentang hal-hal kecil. Tentang masa kecil mereka, tentang mimpi-mimpi yang mereka punya dulu, dan tentang masa depan yang mereka bayangkan untuk Studio Garasi.

"Gue pengen suatu saat Studio Garasi punya program beasiswa buat anak-anak yang punya bakat tapi gak punya biaya untuk sekolah animasi. Kita kasih mereka kesempatan yang mungkin gak akan mereka dapet di tempat lain." Rani berbicara sambil menatap jauh dengan mata yang berbinar penuh dengan visi yang indah.

"Kita akan bikin itu terjadi, Ran. Gue janji. Kalau Studio Garasi berkembang, program kayak gitu bakal jadi prioritas. Karena gue percaya setiap orang berhak mendapatkan kesempatan untuk mengejar mimpinya, terlepas dari latar belakangnya." Kael menjawab dengan keyakinan yang kuat, tangannya terkepal di atas meja menunjukkan tekad yang bulat.

Dan di sore itu, di studio kecil yang sudah menjadi rumah kedua mereka, dua anak muda itu bermimpi tentang masa depan, masa depan di mana mereka tidak hanya membuat animasi yang bagus, tapi juga membuat perubahan nyata dalam industri dan dalam kehidupan orang-orang yang mereka sentuh.

Satu bulan lagi. Satu bulan untuk menyelesaikan mimpi yang sudah mereka kejar selama lima bulan penuh dengan darah, keringat, dan air mata. Satu bulan untuk membuktikan bahwa mereka layak berdiri di panggung internasional.

Dan mereka siap, siap dengan segala kekurangan dan keterbatasan mereka, tapi dengan hati yang penuh dengan harapan dan tekad yang tidak akan pernah padam.

1
Syahrian
🙏
Syahrian
😍🙏
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍🙏
Revan
💪💪
Syahrian
Lanjut thor
Kila~: siap mang💪
total 1 replies
pembaca gabut
thorr lagi Thor asik ini 😭
±ηιтσ: Baca karyaku juga kak
judulnya "Kebangkitan Sima Yi"/Hey/
total 2 replies
pembaca gabut
asli gue baca ni novel campur aduk perasaan gue antara kagum dan takut kalo kael dan tim gagal atau ada permasalahan internal
Syahrian
Lanjut thor👍👍
Revan
💪💪💪
Revan
💪💪
Syahrian
Tanggung thor updatenya🙏💪👍
Kila~: udah up 3 chapter tadi bang/Hey/
total 1 replies
Syahrian
🙏👍👍
Kila~: makasii~/Smile/
total 1 replies
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍
Syahrian
Lanjut 👍😍
Kila~: sudah up 2 chapter nih
total 1 replies
Syahrian
Lanjuut🙏
Kila~: besok up 3 chapter 😁
total 1 replies
Syahrian
Mantap💪🙏
Kila~: terimakasih bang/Rose/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!