NovelToon NovelToon
Kelahiran Kedua

Kelahiran Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Ketos / Dosen / Spiritual / Reinkarnasi / Iblis
Popularitas:390
Nilai: 5
Nama Author: 62maulana

Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

papan catur yang sesungguhnya

​Pernyataan Pak Tirtayasa—"Dan itulah yang selama ini kucari"—menggema di ruang rapat yang dingin itu, membalikkan seluruh pemahaman kami tentang beberapa minggu terakhir. Kami bukan murid, kami adalah kandidat. Tim Alpha bukan sebuah tim, melainkan sebuah wadah seleksi. Dan misi malam ini bukanlah sebuah kegagalan, melainkan tahap akhir dari ujian masuk yang paling aneh dan berbahaya di dunia.

​Adhitama adalah orang yang paling terguncang. Wajahnya pucat, rahangnya mengatup dan mengendur seolah sedang mengunyah kepingan-kepingan realitas barunya yang pahit. Dia telah mempertaruhkan segalanya pada kepatuhan, pada aturan, hanya untuk diberi tahu bahwa aturan itu sendiri adalah bagian dari ujian untuk orang lain. Kesetiaannya terasa murah, kemarahannya terasa sia-sia. Dia menatap Pak Tirtayasa bukan lagi dengan kekaguman seorang murid kepada guru, tetapi dengan kebingungan seorang prajurit yang baru menyadari bahwa perang yang ia perjuangkan hanyalah latihan.

​Sari, sebaliknya, tampak... bersemangat. Di balik ekspresi datarnya, aku bisa melihat matanya bersinar dengan intensitas baru. Kekacauan malam ini, kebohongan, variabel yang tak terduga—semua itu kini tersusun rapi dalam sebuah kerangka logis yang baru. Dia tidak merasa dikhianati; dia merasa tercerahkan. Baginya, ini adalah pemecahan sebuah teka-teki yang kompleks.

​Dan aku? Aku merasa terpojok. Terjebak. Pak Tirtayasa telah melihat menembus topengku, bukan hanya topeng anak SMA biasa, tetapi topeng dewa yang mendambakan kedamaian. Dia tidak melihat Bima si murid. Dia melihat Bima sang Dewa Perang. Dan yang lebih buruk, dia menyukainya. Dia telah menyalakan kembali api yang susah payah kupadamkan, dan sekarang dia berdiri di sana, siap menuangkan minyak ke dalamnya.

​"Saya tidak mengerti, Pak," Adhitama akhirnya angkat bicara, suaranya goyah. "Ujian? Ujian untuk apa? Apa semua ini?"

​Pak Tirtayasa berjalan ke dinding kaca satu arah yang gelap. Dia menekan sebuah panel tersembunyi di sampingnya, dan permukaan cermin itu berdesir, berubah menjadi sebuah layar monitor raksasa beresolusi tinggi.

​"Kalian hidup di dunia yang nyaman, anak-anak," katanya, suaranya kini lebih dalam, lebih serius. "Kalian pergi ke sekolah, mengkhawatirkan ujian, memikirkan masa depan. Kalian percaya pada berita di televisi dan narasi yang diberikan pemerintah. Sebuah ilusi yang indah dan rapuh."

​Di layar, sebuah peta Indonesia muncul. Awalnya peta itu bersih. Lalu, satu titik merah kecil mulai berkedip di Jakarta. Kemudian satu lagi di Surabaya. Satu di Medan. Bandung. Makassar. Dalam hitungan detik, puluhan titik merah menyala di seluruh nusantara.

​"Sekitar dua dekade lalu, sesuatu berubah," lanjut Pak Tirtayasa. "Manusia mulai berevolusi. Secara acak, sporadis, dan tanpa pola yang jelas, individu-individu mulai menunjukkan kemampuan yang melampaui batas normal manusia. Kami menyebut mereka 'Anomali'."

​Dia menatap kami bertiga. "Kalian. Gadis di pelabuhan tadi. Kalian adalah Anomali. Sebuah lompatan tak terduga dalam rantai evolusi."

​Layar berganti, menampilkan klip-klip video berkualitas rendah, seolah diambil dari CCTV atau ponsel. Seorang pria di pasar senggol yang secara tidak sengaja membakar sebuah kios dengan tangannya. Seorang gadis kecil yang membuat semua kaca jendela di sebuah rusun pecah saat ia menangis. Seorang pekerja kantor yang berlari lebih cepat dari sepeda motor untuk mengejar bus. Klip-klip itu nyata, kacau, dan menakutkan.

​"Untuk waktu yang lama, kemunculan mereka sangat jarang sehingga bisa dianggap sebagai hoaks atau keajaiban yang terisolasi. Tapi dalam lima tahun terakhir, frekuensinya meningkat secara eksponensial." Jari Pak Tirtayasa menunjuk ke peta yang kini penuh dengan titik merah. "Dan ketika ada sumber daya baru yang kuat muncul, akan selalu ada pihak yang ingin memanfaatkannya."

​Layar berganti lagi. Kali ini menampilkan sebuah logo: lingkaran hitam sederhana dengan delapan panah yang menunjuk ke dalam, membentuk pola seperti cakra atau roda. Di bawahnya ada tulisan: KORPORASI CAKRA.

​"Korporasi Cakra," kata Pak Tirtayasa, suaranya dipenuhi kebencian yang dingin. "Di permukaan, mereka adalah konglomerat teknologi dan farmasi yang cemerlang. Mereka memenangkan penghargaan, berdonasi untuk amal, dan memiliki citra publik yang sempurna. Tapi di balik itu, bisnis mereka yang sebenarnya adalah perburuan manusia."

​Layar menampilkan gambar-gambar yang lebih mengerikan. Foto-foto buram dari fasilitas bawah tanah. Orang-orang terbaring di meja operasi, terhubung dengan kabel-kabel aneh. Diagram-diagram biologis yang mencoba memetakan sumber kekuatan para Anomali.

​"Mereka menemukan, menculik, dan melakukan eksperimen pada para Anomali. Mereka tidak melihat manusia; mereka melihat tambang emas. Mereka ingin memahami sumber kekuatan ini, mereplikasinya, dan menjualnya kepada penawar tertinggi sebagai senjata generasi berikutnya. Mereka adalah pedagang budak modern, dan barang dagangan mereka adalah kekuatan anak-anak seperti kalian."

​Dia berhenti, membiarkan kengerian dari informasi itu meresap. Jadi, dua pria di gudang tadi... mereka bukan Tim Beta. Mereka adalah agen Cakra? Atau ujiannya bahkan lebih berlapis dari yang kukira?

​"Gadis yang kalian temui malam ini," kata Pak Tirtayasa, seolah membaca pikiranku, "namanya Rina. Kekuatannya baru aktif tiga hari yang lalu. Cakra sudah bergerak untuk mengambilnya. Tim Beta saya berada di sana untuk mengamankannya lebih dulu. Kehadiran kalian adalah variabel yang saya masukkan untuk melihat bagaimana kalian bereaksi di bawah tekanan situasi nyata yang melibatkan musuh nyata. Dua pria yang kalian hadapi... mereka memang Tim Beta. Tapi mereka berakting di bawah ancaman intelijen Cakra yang sedang mendekat. Misi kalian adalah ujian, tetapi ancamannya seratus persen nyata."

​Ini gila. Tingkat manipulasi ini... dia mempertaruhkan nyawa kami dan nyawa Rina dalam sebuah permainan catur tiga dimensi yang rumit.

​"SMA Pelita Harapan," lanjutnya, "bukanlah sekadar sekolah. Ini adalah program rekrutmen. Sebuah tempat perlindungan di mana saya bisa mengumpulkan para Anomali muda seperti kalian, melatih kalian di depan mata semua orang tanpa ada yang curiga, dan membentuk kalian menjadi satu-satunya hal yang bisa melawan Cakra."

​Dia berbalik dari layar dan menatap kami, matanya membara dengan keyakinan yang fanatik.

​"Saya tidak sedang membangun tim ekstrakurikuler. Saya sedang membangun perlawanan. Garda terdepan dalam sebuah perang rahasia yang akan menentukan masa depan spesies kita. Kalian bukan lagi sekadar murid. Kalian adalah prajurit. Mata-mata. Penyelamat."

​Dia berhenti, napasnya sedikit terengah. Dia telah menelanjangi dirinya, menunjukkan kepada kami tujuannya yang sebenarnya.

​Keheningan yang mengikuti adalah keheningan yang berbeda. Bukan lagi karena ketegangan atau kebingungan. Ini adalah keheningan yang lahir dari pemahaman. Beban dari kebenaran ini terasa berat di pundakku. Perang lagi. Selalu ada perang lagi. Aku melarikan diri dari satu perang antar dewa, hanya untuk dilahirkan kembali ke dalam perang lain antar manusia. Takdir adalah seorang komedian yang kejam.

​"Jadi," kata Adhitama pelan, matanya kini bersinar dengan cahaya baru. Kemarahannya yang tanpa arah kini telah menemukan target yang sempurna. "Semua latihan ini... semua aturan... adalah untuk mempersiapkan kami melawan mereka? Melawan Cakra?"

​"Tepat," kata Pak Tirtayasa.

​"Apa sumber daya yang kita miliki?" tanya Sari, sudah masuk ke mode analis. "Menghadapi sebuah korporasi membutuhkan lebih dari sekadar tiga agen lapangan."

​"Sumber daya kita terbatas, tetapi signifikan," jawab Pak Tirtayasa. "Saya memiliki koneksi di pemerintahan dan militer yang percaya pada perjuangan saya, yang membocorkan intelijen dan menyediakan dana secara diam-diam. Fasilitas ini adalah salah satunya. Tapi aset terbesar kita... adalah kalian. Kemampuan kalian adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli atau direkayasa oleh Cakra. Itu adalah keuntungan asimetris kita."

​Dia berjalan kembali ke ujung meja, mengambil posisi awalnya. Dia telah memberikan kami kebenaran, menunjukkan kepada kami musuh, dan memberi kami sebuah tujuan. Sekarang, saatnya untuk penutupan.

​"Malam ini, kalian semua telah membuktikan bahwa kalian memiliki apa yang diperlukan. Adhitama, loyalitas dan kekuatanmu akan menjadi ujung tombak kita. Sari, kecerdasan dan kemampuan analisismu akan menjadi otak kita. Dan Bima..." dia menatapku. "Kekuatanmu... akan menjadi bom nuklir kita. Sesuatu yang kita lepaskan ketika semua pilihan lain telah gagal."

​Aku benci deskripsi itu. Benci bagaimana deskripsi itu begitu akurat.

​"Pilihan ada di tangan kalian sekarang," katanya, suaranya melembut. "Pintu di belakang kalian tidak terkunci. Kalian bisa berjalan keluar sekarang, mencoba melupakan semua yang kalian dengar malam ini, dan kembali ke kehidupan normal kalian. Aku tidak akan menghentikan kalian."

​Dia berhenti, membiarkan tawaran kebebasan itu menggantung di udara.

​"Tapi tanyakan pada diri kalian sendiri," lanjutnya pelan. "Setelah mengetahui bahwa di luar sana ada monster seperti Cakra yang memburu anak-anak seperti kalian, setelah mengetahui bahwa ada gadis seperti Rina yang nasibnya bergantung pada orang-orang seperti kita... bisakah kalian benar-benar pergi dan tidak melakukan apa-apa?"

​Itu adalah sebuah jebakan. Sebuah pilihan yang bukan pilihan sama sekali. Dia telah memberi kami pengetahuan, dan pengetahuan adalah sebuah beban. Dia tahu kami tidak bisa pergi. Adhitama tidak akan pergi, karena dia akhirnya menemukan musuh yang pantas untuk kekuatannya. Sari tidak akan pergi, karena ini adalah teka-teki terbesar dalam hidupnya.

​Dan aku... aku juga tidak bisa pergi. Bukan karena aku ingin menjadi pahlawan. Tapi karena aku tahu, jika aku pergi, cepat atau lambat Cakra akan datang mencariku. Dan mereka akan menyakiti orang-orang di sekitarku untuk mendapatkanku. Perang akan datang kepadaku, suka atau tidak suka.

​Mungkin... mungkin lebih baik menghadapinya dengan caraku sendiri, daripada menunggu dihantam dari belakang.

​Pak Tirtayasa menatap kami bertiga, menunggu jawaban atas pertanyaan retorisnya. Di ruangan cermin ini, di bawah tanah Jakarta, Tim Alpha telah mati. Dan sesuatu yang baru, sesuatu yang jauh lebih berbahaya, akan segera lahir dari abunya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!