Kisah Seorang Gadis bernama Yasmin yang baru pindah ke desa, setelah coba tinggal di kota dan tidak nyaman, dia tinggal di rumah sang nenek, Yasmin seorang gadis yang mandiri, ceria diluar, namun menyimpan sebuah duka, bertemu dengan Ziyad seorang dokter muda yang aslinya pendiam, tidak mudah bergaul, terlihat dingin, berhati lembut, namun punya trauma masa lalu. bagaimana kisahnya.. sedikit contekan ya.. kita buat bahasa seni yang efik dan buat kita ikut merasakan tulisan demi tulisan..
yda langsung gaskeun aja deh.. hehehe
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Bab 3
Mentari pagi menyinari Desa Tembung dengan cahaya keemasan yang menembus sela dedaunan pisang. Embun masih menempel di rumput, dan udara segar menusuk paru-paru Yasmin yang baru saja selesai menimba air di sumur. Suara ayam berkokok bersahutan dari berbagai penjuru, sementara suara kayu dipotong terdengar dari rumah tetangga.
Namun pikiran Yasmin masih tersisa di sore kemarin—tatapan tajam Ziyad ketika ia berdiri terlalu dekat dengan rumahnya, lalu melembut saat menyuruhnya menjauh. Ada sesuatu di sorot mata itu: dingin di permukaan, tapi hangat tersembunyi di dasar.
“Min, airnya jangan terlalu penuh. Berat nanti,” kata Nek Wan pelan sambil menata sayur di dapur.
“Iya, Nek,” jawab Yasmin ringan.
Meski suaranya terdengar tenang, hatinya bergemuruh. Yasmin ingin tahu lebih jauh tentang Ziyad. Tentang rahasia yang membuat semua orang berbisik, dan yang membuat Nek Wan begitu waspada.
**
Siang itu, Yasmin pergi ke mushola kecil di tengah kampung. Ada pengajian ibu-ibu, dan ia membantu menyiapkan air minum. Saat ia menuangkan teh panas ke dalam gelas, langkah berat seseorang terdengar mendekat.
Ziyad masuk, membawa tas kecil berisi obat-obatan. Beberapa warga segera menghampirinya, meminta tolong.
“Dokter, anak saya batuk dari semalam,” keluh seorang ibu cemas.
“Bisa saya lihat sebentar?” jawab Ziyad tenang.
Ia memeriksa anak kecil itu, kemudian mengeluarkan obat sirup dari tasnya. “Minum ini sesuai aturan, insyaAllah reda. Jangan lupa kasih air hangat lebih sering,” jelasnya sabar.
“Terima kasih banyak, dok,” ujar si ibu penuh syukur.
Ziyad hanya mengangguk kecil. Wajahnya tetap dingin, tapi gerakannya penuh ketelitian. Yasmin yang memperhatikan dari jauh merasa kagum—lelaki itu tampak berbeda saat menolong orang. Ada kelembutan yang tidak ia tunjukkan dalam kata, tapi nyata dalam tindakan.
Tak sengaja, Ziyad menoleh dan mendapati Yasmin sedang memperhatikannya. Yasmin buru-buru menunduk, pura-pura sibuk merapikan gelas. Namun hatinya berdebar.
“Sedang bantu di sini?” tanya Ziyad datar.
“Iya, cuma menuang teh,” jawab Yasmin gugup.
“Bagus. Orang kampung butuh banyak yang peduli,” ujar Ziyad tenang.
Yasmin menelan ludah, lalu memberanikan diri. “Dokter sendiri… selalu sibuk menolong. Padahal… pasti lelah juga, kan?” tanyanya hati-hati.
Ziyad diam sejenak, matanya menerawang. “Lelah itu biasa. Yang penting orang lain tertolong,” balasnya lirih.
Jawaban itu membuat dada Yasmin hangat, tapi juga menambah rasa penasaran. Ada kelelahan lain di balik suaranya—bukan sekadar fisik, melainkan batin.
**
Sore menjelang, Yasmin membantu Nek Wan merapikan gudang kecil di samping rumah. Gudang itu penuh barang lama: karung goni, anyaman bambu, hingga peti kayu berdebu. Saat membersihkan sudut ruangan, Yasmin menemukan sebuah kotak besi kecil terkunci rapat.
“Min, jangan asal buka-buka. Itu barang lama,” ujar Nek Wan tegas.
“Tapi… ini milik siapa, Nek?” tanya Yasmin penasaran.
Nek Wan menunduk, wajahnya berubah. “Milik keluarganya Ziyad. Dulu dititipkan di rumah ini. Nek sudah lupa, jangan diutak-atik,” jawabnya cepat.
Yasmin terdiam, tapi matanya tetap terpaku pada kotak itu. Ada rasa ingin tahu yang menggerogoti dadanya. Kenapa benda itu ada di rumah neneknya? Kenapa harus disembunyikan?
**
Malam datang, dengan suara jangkrik yang meramaikan pekarangan. Yasmin duduk di beranda, menatap langit yang dipenuhi bintang. Angin malam bertiup lembut, tapi pikirannya resah.
Ia teringat kotak besi di gudang, teringat bisik-bisik warga, teringat tatapan Ziyad yang penuh beban. Semuanya seperti potongan puzzle yang menunggu untuk dirangkai.
Tiba-tiba suara langkah mendekat. Dari kejauhan, terlihat sosok tinggi dengan payung hitam. Ziyad.
“Masih terjaga?” tanyanya datar.
“Eh, iya… belum mengantuk,” jawab Yasmin gugup.
Ziyad menatapnya lama, seolah ingin mengatakan sesuatu, lalu mengalihkan pandangan ke halaman. “Angin malam kurang baik untukmu. Jangan terlalu sering di luar,” ucapnya pelan.
Yasmin mengangguk, jantungnya berdebar. Ia ingin bertanya tentang keluarganya, tentang ibunya, tentang masa lalu. Tapi lidahnya kelu.
“Dokter…” panggilnya akhirnya.
Ziyad menoleh. “Ya?” sahutnya tenang.
“Kalau… seseorang menyimpan rahasia, apakah selalu buruk?” tanya Yasmin ragu.
Ziyad terdiam lama. Sorot matanya tiba-tiba dalam, seperti menembus hatinya sendiri. “Kadang, rahasia itu bukan untuk disembunyikan… tapi untuk melindungi orang lain,” jawabnya lirih.
Yasmin tercekat. Kata-kata itu menusuk batinnya, membuat rasa penasarannya semakin kuat.
Namun sebelum ia bisa melanjutkan pertanyaan, Ziyad melangkah mundur. “Selamat malam, Yasmin,” ucapnya datar.
“Selamat malam, dokter,” balas Yasmin pelan.
Ia menatap punggung Ziyad yang perlahan menghilang di jalan desa yang remang. Dalam hati, Yasmin tahu satu hal: rahasia itu nyata, dan ia semakin ingin mengungkapnya.
Di gudang, kotak besi berdebu menunggu, seakan menyimpan kunci menuju bayangan masa lalu keluarga Ziyad.
Bersambung…