Tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus, semua memiliki cerita dan ujiannya masing-masing. Semuanya sedang berjuang, bertahan atau jutsru harus melepaskan.
Seperti perjalanan rumah tangga Melati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
"Walau Om Langit menutupi tapi aku melihat yang dilakukan Tante Viola dan Papa." Sakura memiringkan tubuhnya menghadap Lili.
"Aku juga," sahut Lili.
Karena kejadian itu Sakura dan Lili jadi mengenal sosok Langit yang membantu mereka mengalihkan pandangan mereka dari beberapa adegan yang seharusnya tidak dilihat oleh anak-anak seusianya.
"Terkadang aku pikir Papa sangat jahat pada kita, aku membencinya. Tapi Mama bilang kita tidak boleh karena bagaimanapun juga Papa orang tua kita." Lili beringsut duduk kemudian diikuti Sakura tapi Sakura tidak mengatakan apapun.
"Bukan saja Papa yang aku benci, aku juga benci Tante Viola dan Nini." Lanjut Lili menambah.
Adiknya masih diam tanpa merespon.
"Bagaimana perasaan Mama, ya, Kak?." Justru Sakura mengkhawatirkan Mamanya.
"Pasti Mama sangat sedih," jawab Lili.
Di kamar yang dihuni Melati, wanita itu masih duduk di tepi ranjang. Memikirkan ulang keputusan yang telah diambilnya tanpa memperhatikan luka hati anak-anaknya. Yang dia lihat hanya mereka masih membutuhkan dan tetap menyayangi Papa mereka.
Melati menatap pintu kamarnya yang diketuk, kemudian terdengar suara Mas Kalingga memanggil namanya. Melati berjalan mendekati pintu, tapi bukan untuk membukanya. Dia hanya diam mematung di sana. Setelah kejadian pesta Viola, keinginannya kuat kembali untuk berpisah. Tidak apa-apa kalau pun dia harus pergi dari sana tanpa anak-anak yang tidak bisa jauh dari Mas Kalingga.
Lama kelamaan suara Mas Kalingga yang memanggilnya tidak terdengar lagi. Namun Melati masih di sana sambil menangis.
Keesokan paginya.
Melati yang sudah berada di luar harus kembali masuk ke dalam rumah karena teriakan Mas Kalingga. Melati segera berlari menuju arah sumber suara, ternyata Mas Kalingga ada di kamar Ibu.
Sudah tercium aroma pesing saat memasuki kamar, tempat tidur Ibu sudah basah karena pipis Ibu.
"Mas Kalingga, ada apa?."
"Ibu tidak bisa menggerakkan kedua kakinya, Mel."
"Kenapa begitu, Mas?."
"Mas juga tidak tahu, Mel."
"Panggil saja Viola, Kalingga. Istrimu Dokter hebat, kenapa juga yang kamu panggil malah Melati?." Omel Ibu.
"Aku sudah memanggil Dokter, Ma."
"Memangnya ke mana menantuku yang bergelar Dokter itu?," Ibu sengaja mau membuat Melati sakit hati. Tapi Melati tidak ambil hati, tetap saja dia menganggapnya Ibu.
Tanpa diminta tanpa disuruh Melati izin pada mertuanya untuk mengganti pakaian yang sudah basah karena air pipis. Sempat Ibu menolak, tapi Mas Kalingga pun turun tangan membantu Melati.
Setelah selesai Ibu dipindahkan Mas Kalingga ke sofa. Mas Kalingga dan Melati mengganti kasur Ibu dengan yang kasur yang lain. Kemudian Ibu dipindahkan lagi ke kasur.
"Di laundry saja, Mel, jangan kamu yang cuci."
"Tidak apa-apa, Mas."
"Mana Viola?," Ibu malah menanyakan Viola setelah apa a yang dilakukan Melati untuknya. Memang Melati tidak menginginkan ucapan terima kasih karena ini tanggung jawabnya. Bentuk baktinya kepada Ibu mertuanya.
Mas Kalingga hanya menggelengkan kepala tanpa mampu berkata-kata.
Viola dan Dokter yang dipanggil Mas Kalingga datang bersamaan ke kamar Ibu.
"Mas Lingga tidak bilang padaku kalau Ibu begini?," protes Viola.
Mas Kalingga tidak mendengar pertanyaan Viola, dia meminta Dokter segera memeriksa Ibunya. Di saat Dokter sedang menjalankan tugasnya, Viola menarik Mas Kalingga ke dekat sofa.
"Kenapa Mas Lingga lebih percaya pada Dokter lain daripada istri Mas Lingga sendiri."
"Aku tidak mau berdebat," Mas Lingga kembali mendekati Melati yang menyaksikan pemeriksaan Ibu.
Viola pun ikut berdiri di samping Mas Lingga.
"Bagaimana, Dok?."
"Lebih baik Ibu di segara di bawa ke rumah sakit untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat."
"Baik, Dokter."
Kemudian Mas Kalingga mengantar Dokter sambil bicara terkait kesehatan Ibunya.
"Sebenarnya apa yang terjadi padaku, Dok?."
"Kemungkinan terburuknya Ibu anda mengalami kelumpuhan karena beberapa kali aku periksa. Tapi itu bisa saja tidak fatal, makanya Ibu anda harus di bawa ke Dokter spesialis bedah saraf."
"Baik, Dokter."
Mas Kalingga kembali ke kamar Ibu setelah mengantar Dokter.
"Team medis sedang dalam perjalanan ke sini, aku dan Mas Lingga yang akan menemani Ibu ke rumah sakit."
Melati yang tidak diperlukan lagi langsung keluar namun Mas Kalingga menyusulnya. Viola yang hendak protes di tahan Ibu yang meminta tolong padanya untuk mengambil air minum.
"Kamu di rumah saja sama anak-anak, nanti Mas kabari kalau ada apa-apa sama-sama Ibu."
"Iya, Mas." Melati harus menahan keinginannya untuk konsultasi ke psikolog tentang anak-anaknya yang harus hidup dalam situasi ini.
Melati tidak mau mengorbankan anak-anaknya demi apapun juga. Lanjut atau berakhir pernikahannya dengan Mas Kalingga tergantung dari hasil konsultasi tersebut.
Ibu sudah berada di ruangan Dokter, pemeriksaan menyeluruh telah dilakukan dan sekarang untuk melihat hasilnya.
Viola dan Mas Kalingga sudah duduk untuk mendengarnya walau sebenarnya mereka sudah sama-sama hasilnya.
Dan memang tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Dokter sebelumnya, hasilnya menyatakannya kedua kaki Ibu mengalami kelumpuhan.
Ibu yang ikut mendengar sambil tiduran di atas ranjang pemeriksaan menangis. Dunianya terasa runtuh dengan kenyataan yang baru didengarnya. Padahal Ibu sudah menerapkan pola hidup sehat seperti yang selalu dibilang Viola. Tapi sekarang apa hasilnya, justru Dokter memvonisnya lumpuh.
Mas Kalingga dan Viola menghampiri, mereka menguatkan Ibu.
"Kita periksa di rumah sakit lain saja, Kalingga, ini pasti ada kesalahan. Atau Dokter, coba diperiksa sekali lagi pasti ada kesalahan."
"Kami sudah memeriksa dengan baik dan teliti, bisa aku pastikan hasil ini akurat. Tapi kalau memang mau melakukan pemeriksaan di rumah sakit lain silakan saja."
Viola dan Mas Kalingga membawa Ibu keluar dari ruangan Dokter. Mereka langsung membawa Ibu pulang. Di jalan pun Ibu kembali merengek untuk memeriksakan kedua kakinya di rumah sakit lain. Mereka pun menurutinya.
Sementara itu di tempat lain, Melati dan kedua putrinya mendatangi psikologi. Setelah sebelumnya menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
"Kita untuk apa, Ma, di sini?." Tanya Lili.
"Kita hanya konsultasi saja, Kak. Mama tidak mau kalian kenapa-kenapa karena pasti kena imbasnya dari hubungan Mama, Papa dan Tante Viola."
Lili mengangguk lalu seorang wanita meminta masuk. Mereka bertiga duduk dan berhadapan dengan orang yang akan mendengar cerita mereka.
Tanpa ada yang ditutupinya, dengan berbesar hati Melati membagi cerita memilukannya kepada wanita yang memperkenalkan dirinya bermain Sindi. Perihal rumah tangganya bersama sang suami. Anak-anaknya sejak awal sudah mengetahuinya dan bahkan sampai detik ini. Hubungan mereka penuh luka, emosi dan air mata. Lagi-lagi anak-anaknya pun ikut merasakannya.
Lili dan Sakura menjadi yang pertama untuk melakukan pemeriksaan. Melati masih menungu giliran. Tiba-tiba saja ponselnya berdering, Mas Kalingga yang menghubunginya. Melati hanya menatap panggilan itu, kemudian mengabaikannya karena Melati ingin menuntaskan masalahnya.
"Mas Lingga menghubungi Melati?," sambil menarik ponselnya Mas Kalingga.
Viola semakin tersulut emosi sekaligus terbakar api cemburu menemukan faktanya.
"Aku ini sedang hamil, Mas, tidak bisa kah kamu membuatku senang?."
Bersambung