Xander tubuh dengan dendam setelah kematian ibunya yang di sebabkan kelalain sang penguasa. Diam-diam ia bertekat untuk menuntut balas, sekaligus melindungi kaum bawah untuk di tindas. Di balik sikap tenangnya, Xander menjalani kehidupan ganda: menjadi penolong bagi mereka yang lemah, sekaligus menyusun langkah untuk menjatuhkan sang penguasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hukum terpojok
Para polisi dan detektif melihat semua rekaman itu, merasa geram sekaligus terpojok. Mereka sadar publik kini menaruh mata pada mereka, menunggu penjelasan. Beberapa polisi berbisik, meragukan mengapa kelompok misterius seperti Avengers bisa lebih dulu membongkar kebenaran dibanding aparat.
Detektif utama hanya menghela napas panjang, tatapannya tajam ke arah layar yang masih menampilkan berita tersebut.
"Kalau benar mereka yang membocorkan ini..." ucapnya pelan, "maka mereka bukan sekedar pengacau. Mereka sedang menantang kita."
Suasana ruangan jadi hening. Rasa malu, marah, sekaligus tertantang bercampur di dada setiap orang. Mereka tahu–perburuan baru saja dimulai.
Di dinding, layar besar masih menampilkan potongan vidio bertopeng yang tadi mengguncang seluruh negeri.
Seorang detektif senior, Pak Rendra, menepuk meja dan keras. "Kita dipermalukan! Orang-orang bertopeng itu berhasil membongkar skandal besar, sementara kita bahkan tidak tahu siapa mereka!"
Seorang polisi muda mencoba angkat bicara, suaranya gemetar, "Pak, saya sudah cek rekaman vidio yang tersebar. Sumber unggahannya tidak jelas. Server-nya lompat-lompat antarnegara, pakai enkripsi berlapis. Mustahil dilacak."
Kepala intel menambahkan dengan nada berat, "Kalau benar mereka menamakan diri Avengers, artinya ini bukan kebetulan. Mereka punya tujuan. Tapi... siapa mereka? Warga sipil biasa? Organisasi bawah tanah? Atau... mungkin orang dalam?"
Ruangan mendadak hening. Kata orang dalam membuat semua orang saling pandang penuh curiga.
Pak rendra menghela napas panjang, kemudian berkata lirih, "Selama ini kita yang seharusnya jadi pelindung rakyat. Tapi sekarang... kita bahkan tidak tahu siapa kawan, siapa lawan."
Diskusi berlanjut hingga larut malam. Mereka memeriksa setiap jejek digital, menyusun kemungkinan, bahkan menyebar informan ke jalanan. Namun, setiap pintu yang mereka coba buka hanya berakhir pada kebuntuan.
Salah sati detektif muda akhirnya berkata, "Seolah-olah mereka... hantu. Muncul sekali, bikin geger, lalu hilang tanpa jejak.
Pak Rendra menatap layar yang kini hanya menampilkan kata AVENGERS.
"Tidak, mereka bukan hantu. Mereka nyata... dan mereka baru saja mendeklarasikan pereng."
Malam itu, di markas beser kepolisian, suasana nampak menyesakkan. Tumpukan berserakan di meja panjang. Foto-foto hasil investigasi, rekaman CCTV dari berbagai sudut kota, hingga transkrip digital forensik terpampang, namun semua mengaruh pada jalan buntu.
"Tidak masuk akal!" bentak salah satu komandan. Ia melemparkan map ke meja hingga kertas-kertas beterbangan. "Mereka muncul dengan vidio sejelas itu, tapi kita bahkan tidak bisa menemukan satu petunjuk pun. Tidak satu wajah, tidak satu lokasi!"
Seorang detektif muda membuka laptopnya, suaranya berat penuh tekanan.
"Kami sudah mencoba melacak IP vidio. Tapi setiap kali mendekati sumber, alamat itu langsung hilang–seperti ada sistem yang sengaja menghapus jejaknya. Seakan mereka tahu kita sedang mengintai."
Kepala penyelidik menatap layar lelah, kemudian menyandarkan diri di kursi. "Ini lebih dari sekedar kelompok bayangan. Mereka punya sumber daya... teknologi, koneksi, bahkan informasi yang mungkin lebih dalam daripada milik kita."
Keheningan menguasai ruangan. Hanya bunyi jarum jam yang terdengar.
Seorang polisi paruh baya yang sejak tadi diam akhirnya berucap lirih, "Kalau begini terus, masyarakat akan lebih percaya pada 'Avengers' ketimbang kita. Kita terlihat lemah."
Ucapan itu menampar semua yang hadir. Wajah-wajah mereka menegang, rasa frustasi bercampur dengan ketakutan akan hilangnya kepercayaan publik.
Pak Rendra, sang detektif senior, akhirnya berkata dengan nada getir, "Kita bukan hanya gagal menemukan mereka. Kita sedang kehilangan kendali... Kota ini sudah mulai percaya pada bayangan, bukan lagi pada hukum."
Suasana rapat pecah. Beberapa polisi saling tuduh–ada yang yakin Avengers punya orang dalam, ada yang menuduh media sengaja membesarkan nama mereka, ada pula yang percaya Avengers hanyalah dalang lain yang ingin mengguncang negeri.
Namun satu hal pasti: setiap jam yang berlalu tanpa jawaban membuat kepolisian semakin frustasi.
Di sudut ruangan, layar besar masih menampilkan satu kata dengan warna merah menyala.
AVENGERS
Seolah mengajak setiap usaha mereka.