Mess Up!
Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.
Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 15 Permainan Perasaan
Vincent terbaring tengkurap di atas ranjang pasien, tempat yang seharusnya menjadi milik Leo. Seprai rumah sakit yang dingin menempel pada kulit wajahnya, menyalurkan hawa logam dan bau antiseptik yang menusuk hingga ke dalam hidung. Cahaya putih dari lampu langit-langit menyorot lembut, menciptakan bayangan kusam di sisi wajahnya yang tampak lelah. Matanya kosong, seolah pandangannya menembus dinding kamar, menatap sesuatu yang jauh dan tak kasatmata. Di tulang pipinya, masih ada sisa garis tipis—bekas air mata yang sudah mengering. Seolah waktu sendiri enggan menyentuh sisa luka itu, membiarkannya tetap tertinggal, menjadi bukti dari malam yang terlalu panjang.
Suara air mengalir dari kamar mandi terdengar tajam di telinganya, kontras dengan kesunyian yang menekan ruang. Suara itu seperti gema dari sesuatu yang tak ingin diingat—mengoyak ruang batin yang sudah terlalu sesak. Vincent mengedipkan mata pelan, satu kali, dua kali, lalu mencoba menggerakkan tubuhnya. Gerakan sekecil itu saja terasa berat, seakan tubuhnya menolak perintah untuk bangun. Otot-otot di punggungnya menegang, tangannya bergetar ketika menopang berat tubuhnya. Setiap napas seperti ditarik dari dalam luka, nyeri menjalar dari dada hingga ke lutut.
Namun rasa sakit itu tak mampu menahannya lebih lama. Ia memaksa diri untuk bergerak. Pelan, ia turunkan kedua kakinya dari ranjang, menjejak lantai yang dinginnya seperti menyambut dengan ejekan. Dalam sekejap, lututnya goyah. Dunia di sekitarnya bergeser. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh dengan suara tumpul yang nyaris tak terdengar. Suara benturan itu hanya bergema sebentar sebelum ditelan oleh bunyi air yang masih mengalir tanpa belas kasihan.
Vincent diam. Suara napasnya patah-patah, sementara udara yang dihirup terasa terlalu tipis. Seketika, ia menyadari betapa menyedihkannya dirinya saat ini—tergeletak di lantai, kehilangan martabat dan arah. Matanya terasa panas, tapi air mata itu tak lagi bisa mengalir dengan leluasa; seolah tubuhnya sudah kehabisan sumber kesedihan. Hanya dadanya yang terasa sesak, seperti ditekan sesuatu dari dalam. Ia tahu apa itu: patah hati. Tapi bukan patah hati yang sederhana—melainkan sesuatu yang lebih gelap, lebih memuakkan dari sekadar kehilangan.
Ia sempat percaya bahwa orang itu, pria yang kini sedang dengan tenang mandi di ruangan sebelah, mungkin benar-benar membutuhkannya. Ia sempat merasa diinginkan, meski hanya sekejap. Namun keyakinan itu kini terasa seperti lelucon kejam. Ia tertawa kecil tanpa suara, getirnya menggantung di tenggorokan.
“Kenapa kau duduk di bawah sana?”
Suara itu memecah pikirannya. Vincent tersentak, buru-buru mengusap sisa air mata yang masih tertinggal di kelopak mata. Baru saat itu ia sadar—suara shower telah berhenti. Ia menoleh perlahan, dan di sana, berdiri sosok yang membuat jantungnya terasa ingin berhenti.
Leo.
Pria itu berdiri di ambang pintu kamar mandi, hanya mengenakan bathrobe putih yang tampak terlalu bersih untuk seseorang sekejam dirinya. Uap hangat masih mengepul dari ruangan di belakangnya, seperti kabut tipis yang membingkai siluet tubuhnya. Pemandangan itu seharusnya indah—namun tidak malam ini. Tidak setelah semua yang terjadi.
“Kukira kau sudah pergi...” suara Leo datar, nyaris terdengar malas. “Malah menangis di sana seperti itu? Kau ingin aku merasa kasihan?”
Nada suaranya menampar, dingin, tanpa ampun. Bagi Vincent, ini bukan hal baru. Ia sudah mendengar banyak kalimat seperti itu darinya. Tapi entah kenapa, kali ini rasanya berbeda. Seperti sesuatu dalam dirinya yang patah untuk terakhir kali. Ia mengabaikan sindiran itu, menunduk, menatap lantai yang terasa lebih aman daripada mata Leo.
“Aku memang berniat pergi…” ucapnya lirih. Suaranya terdengar pecah, serak, dan letih. Tak ada kemarahan tersisa, hanya kelelahan yang terlalu dalam untuk disembunyikan.
Ia tahu, tak ada yang bisa diharapkan dari Leo. Tidak kasih sayang, tidak pengertian, bahkan tidak rasa hormat. Pria itu terlalu rusak, terlalu bengkok untuk memahami sesuatu yang sederhana seperti perasaan.
Dengan langkah goyah, Vincent mencoba berdiri. Tubuhnya gemetar, tapi tekadnya memaksa untuk tetap tegak. Setiap gerakan adalah perlawanan kecil, setiap tarikan napas adalah bentuk keberanian yang nyaris terlupakan. Ia tidak menoleh lagi, tidak ingin melihat wajah pria yang membuatnya berada di titik sehancur ini. Ia hanya ingin pergi.
“Tunggu,” suara Leo menghentikannya.
Vincent berhenti tanpa niat. Ia menoleh perlahan, setengah malas, dan saat matanya bertemu dengan Leo—amarahnya meledak tanpa peringatan.
Leo berdiri di sana dengan tenang, menyodorkan beberapa lembar uang seolah semuanya bisa diselesaikan dengan nominal. Tatapan matanya dingin, datar, bahkan sedikit merendahkan.
“Aku tidak tahu berapa hargamu,” ucapnya dengan nada ringan, seolah tak sadar betapa kejam kalimat itu terdengar. “Tapi ambillah.”
Waktu berhenti sejenak. Udara di antara mereka membeku.
Seketika, Vincent menepis kasar tangan Leo. Uang itu berhamburan, beterbangan di udara sebelum jatuh berserakan di lantai rumah sakit.
“Aku tidak butuh uangmu, brengsek!” suaranya pecah, bergema di ruangan yang kini sunyi.
Tanpa memberi kesempatan untuk balasan, Vincent berbalik dan bergegas keluar. Setiap langkahnya cepat dan berat, seperti pelarian dari sesuatu yang terlalu menakutkan untuk dihadapi. Nyeri di tubuhnya terasa tak ada artinya dibanding luka yang mendera hatinya.
“Brengsek! Brengsek!” teriaknya di lorong rumah sakit, membiarkan suaranya menggema di antara dinding putih yang dingin.
Harga dirinya telah diremukkan oleh Leo. Bukan hanya dihina, tapi juga dipecah menjadi serpihan yang tak bisa disatukan lagi. Ia diperlakukan seolah dirinya hanyalah hiburan sementara, seseorang yang bisa dibuang kapan pun.
Sementara itu, di kamar, Leo masih berdiri di tempatnya. Tatapannya tertuju pada pintu yang baru saja ditutup dengan keras. Hening kembali menguasai ruangan. Detik jam di dinding menjadi satu-satunya suara yang hidup. Ia mengusap tengkuknya perlahan, menunduk menatap uang yang berserakan di lantai.
Bayangan dari kegiatan panas mereka sebelumnya muncul di pikirannya—tangis Vincent, suara lirih yang memohon Leo berhenti, dan sorot mata yang kini terus menghantui pikirannya. Ada sesuatu di dadanya yang mengganjal, sesuatu yang menyesakkan, tapi ia tidak tahu apakah itu rasa bersalah atau sekadar ketidaknyamanan. Ia menarik napas panjang, tapi udara yang masuk terasa sesak, seperti terperangkap di dada.
Segalanya tampak seperti mimpi buruk yang ia ciptakan sendiri, dan kini tak tahu bagaimana menanggung akibatnya.
...***...
Vincent akhirnya tiba di gedung kosnya. Lampu parkiran menyala redup, memantulkan bayangan tubuhnya yang tertatih di aspal. Udara malam menusuk kulit, membawa aroma lembap dan sedikit karat dari pagar besi yang berkarat. Ia berjalan pelan, menahan rasa sakit di tubuhnya, mencoba menata napas yang tidak beraturan.
Dari kejauhan, ia melihat sosok Ben—bersama Lya, kekasihnya. Mereka berjalan berdampingan menuju kamar, bercakap pelan, terlihat hangat. Biasanya, Vincent akan tersenyum, menyapa, atau melontarkan lelucon kecil. Tapi malam ini, tidak.
Ia hanya menatap sekilas, lalu menunduk. Langkahnya terus berlanjut tanpa suara.
Tenaganya sudah habis. Tidak hanya fisiknya, tapi juga hatinya. Perasaan yang sempat hangat kini berubah menjadi luka. Apa yang dulu terasa seperti kebahagiaan sederhana kini menjadi ironi yang menghancurkan. Di dadanya, rasa itu membusuk pelan, seperti bunga yang layu di bawah hujan.
Ben memperhatikan dari kejauhan. Awalnya ia ingin menyapa, tapi langkahnya tertahan. Ada sesuatu di wajah Vincent yang membuatnya diam. Matanya kosong, pipinya pucat, dan ada bayangan asing di sana—bayangan seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang penting.
Berbeda dari pagi tadi, ketika Vincent masih sempat bercanda, matanya berkilau, suaranya ringan. Sekarang semua itu lenyap. Ia berjalan seperti tubuh tanpa jiwa.
Ben hanya bisa menatap, mencoba membaca sesuatu dari raut itu. Tapi kadang, kesedihan terlalu dalam untuk dijangkau oleh kata-kata. Ia memilih diam, membiarkan pria itu lewat dalam senyap. Memasuki kamar tanpa kata.
“Apakah tugas akhir seburuk itu?” tanya Lya, yang berdiri di sampingnya. Nada suaranya pelan, tapi ada rasa prihatin di baliknya.
Ben menggeleng, bibirnya menegang. “Entahlah... Dia masih baik-baik saja pagi ini. Bahkan bilang padaku kalau dia sudah berpindah hati—dari aku, ke orang lain.”
Lya menoleh cepat, matanya membulat tidak percaya. Ia yakin tidak salah dengar. “Apa?” tanyanya tajam.
Ben bergidik kecil, sedikit canggung. “Vincent orang yang bebas. Dia pernah bilang padaku kalau dia bisa menyukai pria maupun wanita... tapi aku tidak menyangka kalau dia pernah menyukaiku. Dia mengakuinya tadi pagi.”
Hening sejenak. Ekspresi Lya berubah, matanya menggelap. Ia menggenggam tangan Ben erat, lalu menariknya menuju kamar tanpa sepatah kata pun.
“Lya! Pelan-pelan! Kakimu masih sakit!” seru Ben cemas, tapi perempuan itu tidak mendengar. Suara ketukan tongkat bantu jalan berpadu dengan langkah tergesa mereka, menggema di lorong kos yang sempit. Irama itu berhenti ketika pintu kamar tertutup rapat di belakang mereka.
“Lya... apa kau cemburu?” tanya Ben dengan nada setengah bercanda, sudut bibirnya terangkat menahan senyum.
Lya memandangnya dalam diam, lalu tiba-tiba memeluknya erat. Tubuhnya menegang, tapi genggamannya kuat, seolah takut kehilangan.
“Aku tidak tahu,” bisiknya, suaranya bergetar. “Perasaan seperti ini... baru pertama kali kurasakan. Tapi aku tidak suka.”
Ia terdiam sejenak, lalu perlahan melepaskan pelukannya. Tatapan matanya kosong, seperti menatap sesuatu yang jauh.
Ben menatapnya bingung, wajahnya sedikit memerah. “Lya?”
Lya menarik napas, lalu memaksakan senyum. “Ayo kita kerjakan tugas kita, Ben.”
Nada suaranya terlalu tenang, terlalu terukur untuk situasi barusan. Membuat Ben tidak yakin apakah ia harus tertawa atau khawatir. Akhirnya, ia memilih diam dan mengikuti Lya ke meja belajar.
Keduanya duduk bersebelahan. Suara ketikan laptop mulai terdengar, berbaur dengan dengung lampu kamar. Namun jari-jari Lya bergerak kaku. Sesekali matanya melirik Ben di sebelahnya—lebih sering daripada menatap layar miliknya sendiri.
Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergejolak. Sebuah perasaan aneh yang baru saja ia sadari keberadaannya. Bukan cemburu, setidaknya bukan seperti yang ia kenal. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih tak terjelaskan. Ia menatap tangannya, lalu mengepalkannya erat, seolah mencoba menahan sesuatu agar tidak meledak dari dalam dirinya.
“Lya? Kau baik-baik saja?” tanya Ben pelan, menyadari perubahan kecil di wajahnya.
Lya tersentak dari lamunannya. Ia menggeleng cepat. “Aku baik-baik saja,” ujarnya singkat. Tapi nada suaranya terlalu datar untuk meyakinkan siapa pun.
Ben tidak percaya sepenuhnya. Ia tahu, Lya terbiasa memendam perasaannya sendiri. Meski mereka kini lebih terbuka, masih ada jarak yang kadang terasa seperti jurang. Ia khawatir, suatu hari jarak itu akan muncul lagi di antara mereka.
“Kau berkata yang sebenarnya?” tanyanya lagi.
Lya menatap matanya, menyadari kecemasan yang bersembunyi di sana. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan tak ia pahami sendiri? Alih-alih menjawab, ia mendekat dan mengecup pipinya—cepat, lembut, tapi cukup untuk membuat Ben membeku.
“Kau kira rayuanmu bisa mengalihkan topik, Lya?” Ben berkata dengan nada datar, mencoba menahan senyum.
“Percayalah, aku sungguh baik-baik saja,” ucap Lya pelan. Ia menuntun kening Ben mendekat pada wajahnya. Sentuhan itu — kebiasaan yang dulu dilakukan oleh Anna dan Leo — kini menjadi sesuatu yang perlahan terbiasa ia lakukan.
Ben terdiam. Ia menarik napas, lalu mengalah.
“Aku percaya padamu, Lya... selalu,” katanya akhirnya.
.
.
.
To Be Continue
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
✿⚈‿‿⚈✿
Tapi... Dahlah bodoamat🗿