Sebastian Adiwangsa. Nama yang selalu bergaung dengan skandal, pesta malam, dan perempuan yang silih berganti menghiasi ranjangnya. Baginya, cinta hanyalah ilusi murahan. Luka masa lalu membuatnya menyimpan dendam, dendam yang membakar hasratnya untuk melukai setiap perempuan yang berani mendekat.
Namun, takdir memiliki caranya sendiri. Kehadiran Senara Ayunda, gadis sederhana dengan kepolosan yang tak ternodai dunia, perlahan mengguncang tembok dingin dalam dirinya. Senara tidak seperti perempuan lain yang pernah ia kenal. Senyumnya membawa cahaya, tatapannya menghadirkan kehangatan dua hal yang sudah lama terkubur dari hidup Sebastian.
Namun, cara Sebastian menunjukkan cintanya pada Senara bermula dari kesalahan.
Tidak Ada Yang Membaik
Hari menjelang sore, Sena duduk sendirian di taman area Penthouse. Taman itu cantik, cukup jadi hiburan sesaat, meski lama-lama rasa bosan tetap menyelinap juga.
Langit sedikit mendung. Awan kelabu menggantung, seperti menahan hujan yang siap jatuh kapan saja. Melihat cuaca seperti itu, tiba-tiba muncul sebuah keinginan aneh dalam diri Sena. Dia rindu soto favoritnya yang dijual di depan kampusnya.
“Baby, kamu mau soto itu, ya?” gumam Sena pelan, berbicara sendiri sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit.
“Tapi gimana caranya kita bisa makan soto itu, hmm?” tanyanya lagi, seolah perutnya bisa memberi jawaban.
Ia duduk di bangku taman, menopang dagu, matanya menerawang. “Apa kita minta Bastian beliin, ya?”
Seolah menjawab, ada satu tendangan halus dari dalam perutnya. Sena terkekeh kecil.
“Ah, ternyata kamu mau merepotkan ayahmu, ya,” ucapnya lembut sambil tersenyum kecil, tangannya tak lepas mengusap perutnya.
“Tapi, dia mau nggak ya beliin kita?”
Tendangan lain terasa.
“Ah, oke, oke. Kita minta ayahmu aja beliin, ya. Kan dia yang pernah bilang, mau apa pun, bilang aja ke dia. Kamu inget, kan?” Tendangan berikutnya terasa lebih kuat, sampai Sena meringis pelan.
“Aduh, pelan-pelan dong, baby…” desahnya, kembali mengusap perut itu dengan penuh sayang.
“Baby, kamu mau nunggu sampai ayahmu itu pulang kerja dulu, kan? Sabar ya, baby. Kita telpon dulu ya.”
Sena pun berdiri, kembali masuk ke dalam Penthouse untuk mengambil ponselnya.
...****************...
Di sisi lain, suasana di kantor benar-benar tegang.
Satu masalah belum tuntas, masalah lain yang lebih besar sudah datang menghantam. Layar besar di tengah ruangan menampilkan angka-angka grafik merah panjang ke bawah menandakan kondisi bisnis yang sangat buruk sedang terjadi saat ini.
“Kontrak lima tahun… ratusan juta dolar, lenyap begitu saja,” suara Bastian memecah keheningan di ruangan itu.
“Valcont group narik diri. Mereka nggak mau kerja sama dengan kita sebelum nama kita bersih” lanjutnya lagi.
Tender raksasa mereka kini di ujung tanduk. Kerugian akan menjalar ke mana-mana.
Bastian berdiri di ujung meja, kedua tangannya menekan permukaan kayu, matanya merah, tatapannya tajam seperti pisau. “Bertahun-tahun kita bangun hubungan ini. Satu berita, satu kebocoran… semua ancur?” Suaranya rendah, tapi setiap kata seperti hantaman keras.
Ravian akhirnya berbicara pelan, “Kita nggak bisa kejar tender yang udah lari. Itu udah mati.”
Bastian menatap dingin Ravian, “Apa tanggapanmu dengan reputasi kita yang udah jadi bangkai?”
Ravian mencondongkan tubuh ke depan, nadanya tegas, “Reputasi bisa diperbaiki. Bangkai pun bisa jadi berguna. Makanya sekarang kita harus beli cerita baru. Damage control, Bastian. Kita siapkan rilis resmi, tunjukkan dokumen legal, tracking shipment, bukti bersihnya proses kita. Tim legal dorong penyelidikan independen. Kita buka semua pintu, biar mereka lihat sendiri, nggak ada yang kotor di sini.”
Bastian belum sepenuhnya yakin. “Itu cukup nahan investor?”
“Kalau masih kabur juga, kita harus kasih umpan,” Ravian menjawab cepat, matanya tajam. “Buka tender kecil, kasih harga manis buat satu dua negara sekutu. Biar ada headline positif baru.”
Masukan Ravian selalu daging. Inilah alasan Bastian mempertahankannya sebagai tangan kanannya. Kombinasi keduanya seperti racikan sempurna. Bastian dengan keberaniannya dan Ravian dengan kepintarannya.
Diskusi masih berlangsung panas ketika ponsel Bastian tiba-tiba bergetar di saku jasnya.
Panggilan pertama dia abaikan.
Kedua pun sama.
Hampir saja ponsel itu dia banting saat panggilan ketiga masuk, sampai matanya menangkap nama yang tertera di layar.
Senara.
Bastian mengerjap, lalu akhirnya mengangkat telepon, melangkah menjauh dari meja rapat.
“Bastian?” suara Sena di seberang, lembut, menenangkan.
Suara itu saja cukup meredakan sedikit bara di dadanya.
“Kenapa, Sena?” tanyanya, masih datar.
“Bastian, kamu pulang jam berapa?”
Alih-alih menjawab, Bastian balik bertanya, “Kenapa memangnya?”
“Hmm… aku pengen Soto Mang Ujang di depan kampus ku. Kamu bisa beliin?”
“Ya. Nanti aku belikan,” jawabnya singkat, nada tetap dingin.
“Makasih, Bastian,” suara Sena di sana terdengar ceria, bahagia bahkan.
“Ada yang kau mau lagi?” tanya Bastian.
“Tidak. Hanya itu,” Sena menjeda, lalu menambahkan, “Aku tunggu kamu di ruang tamu, ya. Terima kasih, Bastian.”
“Hmm. Kututup,” ucap Bastian, lalu memutus teleponnya.
Bastian kembali ke meja, memijat pelipisnya lama, lalu mendongak. Sorot matanya kembali tajam. “Siapkan tim untuk urus ini. Malam ini investigasi internal harus jalan. Legal siapkan dokumen pembelaan. PR bentuk narasi balik. Kita nggak boleh tunggu diserang lagi.”
… … …
Satu jam… dua jam… tiga jam berlalu.
Kantor itu masih sibuk. Semua orang lembur, tak terkecuali sang bos besar.
Bastian masih menatap layar, satu demi satu data dianalisisnya, sampai ia lupa bahwa ada seseorang di Penthousenya yang menunggu soto pesanannya.
...****************...
Di Penthouse, Sena mulai gelisah.
Bastian belum juga pulang. Ravian pun tak menampakkan batang hidungnya sejak semalam.
Sena sudah berkali-kali menelpon, mengirim pesan, tak satu pun dibalas. Rasa kesal mulai merayap diam-diam.
Dia sudah sangat ingin soto itu. Tapi Bastian tak kunjung datang. Satu pikiran buruk tiba-tiba muncul . Jangan-jangan Bastian bermalam dengan wanita lain?
… … …
Jam sudah menunjuk pukul sepuluh malam.
Sena masih setia di ruang tamu, menonton variety show malam. Lama-lama, rasa ingin sotonya hilang. Perutnya sudah kenyang, setelah akhirnya ia menyerah dan membuat mie kuah sendiri sebelum menonton variety show itu.
Variety show yang ditontonnya akhirnya selesai. Sena bangkit dan memilih untuk naik ke kamarnya. Namun baru sampai di anak tangga kedua, pintu Penthouse terbuka.
Bastian pulang. Dengan kantong kresek di tangan.
Bau soto menyeruak. Soto yang tadi ia minta. Tapi sekarang… keinginannya sudah tak ada lagi.
“Sena,” panggil Bastian pelan.
“Ini sotonya.”
Bastian berjalan ke dapur, menuangkan soto itu ke mangkuk, sedikit merasa bersalah karena lama.
Sena ragu-ragu mendekat ke meja makan. Bastian sudah duduk di sana, menunggu.
“Makanlah,” ucapnya singkat.
Sena mulai menyendok kuah soto, perlahan, seperti terpaksa.
“Kamu nggak makan?” kini Sena bertanya dan seperti menawarkan soto itu kepada Bastian.
Bastian menggeleng.
Baru tiga suap, perut Sena rasanya tak sanggup lagi. Bau soto yang tadinya ia idamkan, kini justru membuatnya mual.
“Cepat habiskan, Sena. Ini sudah malam,” tegur Bastian setelah sepuluh menit berlalu, ia melihat isi mangkuk itu yang nyaris tak berkurang.
“Bas… aku udah nggak mau sotonya. Kamu aja yang habiskan, ya?”
Mata Bastian membulat. Tatapannya tajam, menusuk.
“Habiskan.”
“Aku… aku nggak bisa, Bas. Aku sudah nggak mau,” Sena mulai takut.
“Habiskan, Sena!” suaranya meninggi.
Kepala Bastian rasanya mau pecah karena kondisi kantor berantakan, reputasi perusahaan di ujung tanduk, dan baru sama ia bela-belain mampir jauh hanya demi soto ini… dan wanita itu hanya memakannya tiga sendok.
Tapi Sena tak tahu semua itu. Yang ia tahu, Bastian pulang larut.
Sena tetap diam. Tak sanggup menelan.
Bastian merasa darahnya mendidih. Matanya melirik gelas berisi air di meja, lalu menamparnya keras. Pecahan kaca berderai, air tumpah ke lantai.
Sena terlonjak, kaget.
Bastian bangkit, dan ikut meraih mangkuk soto itu, mengangkatnya tinggi.
“Kau nggak mau makan ini?” suaranya terdengar marah.
“Kau nggak menghargai aku yang sudah menyempatkan untuk beli ini?”
Tangan Bastian hampir saja membanting mangkuk itu, sebelum Sena buru-buru memegangnya.
“Aku akan habiskan, Bas. Maafkan aku,” ucap Sena lirih, bergetar.
Bastian masih menatapnya tajam.
“Tadi kau yang bilang sangat ingin soto itu. Aku beliin. Aku turutin. Dan kau malah nyuruh aku yang ngabisin? Dimana otakmu, ha?!” bentaknya lagi.
Air mata Sena menetes. Ia tidak bermaksud seperti itu. Perutnya benar-benar tak bisa diajak kompromi.
“Aku… aku akan habiskan, Bas,” ucapnya, sambil menyeka air mata.
Bastian berbalik, melangkah pergi. Di lorong, Mbok Jena baru keluar dari kamarnya.
Bastian menoleh sekali lagi ke arah Sena.
“Jangan sampai kau minta bantuan orang lain buat habiskan soto sampahmu itu!” nadanya dingin, menusuk.
Lalu ia masuk ke kamarnya. Meninggalkan Sena sendirian di dapur yang berusaha menghabiskan soto itu sambil menahan mual dan isak tertahan.
Beberapa kali Sena hampir muntah. Ia berusaha sekuat tenaga menghabiskan makanan itu.
Dia berulang kali memaksa menelan soto itu. Tangannya selalu menutup mulut ketika ia merasa perutnya bergejolak.
“Non, kalau nggak bisa, jangan dipaksa, non,” ucap Mbok Jena pelan, iba melihat nona mudanya itu.
Tapi Sena hanya diam, terus memaksa, menelan air mata bersama kuah soto yang kini terasa pahit di lidah dan di hati.
...----------------...
^^^Cheers, ^^^
^^^Gadis Rona^^^