Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional
Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.
Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.
Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
arfan mengajak laila ke kamar
Sore menjelang, mentari mulai condong ke barat. Suasana rumah cukup tenang, hanya terdengar suara TV yang sudah dimatikan beberapa menit lalu. Laila baru saja selesai mengganti pakaiannya dengan daster tipis bermotif bunga setelah pulang dari salon bersama Rani. Wajahnya tampak segar, rambutnya masih mengembang rapi, dan aroma krim salon masih terasa samar-samar.
Arfan yang sejak tadi duduk di ruang tamu menoleh saat mendengar langkah kaki Laila dari arah kamar. Matanya langsung memandang sang istri dari atas ke bawah, lama, tanpa berkedip.
Wajah itu... tampak berbeda dari biasanya. Kulit Laila terlihat lebih cerah, pipinya berseri, dan matanya pun memancarkan aura yang tak bisa dijelaskan. Mungkin karena efek pijatan wajah di salon tadi, atau mungkin karena Laila memang sedang bahagia usai menghabiskan waktu bersama sahabatnya.
Tanpa berkata apa-apa, Arfan berdiri mendekat. Ia menggenggam tangan Laila dengan lembut.
“Sayang… kamu cantik sekali. Terlihat sangat segar,” ucapnya dengan nada pelan namun penuh kekaguman.
Laila tersenyum kecil, meski ada rasa was-was yang langsung muncul di benaknya. Ia tahu persis apa maksud tatapan itu. Ia tahu bagaimana Arfan jika sudah mulai mengucap pujian semacam itu.
“Ah… masa, Mas? Syukurlah kalau kamu suka,” jawab Laila seraya menunduk sedikit. Tangannya tetap berada dalam genggaman suaminya, tapi jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
Ia bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.
“Sayang, hayu kita ke kamar,” ajak Arfan, kini lebih langsung.
Laila menelan ludah. Ia menatap wajah suaminya sesaat, berharap ada keraguan di sana, atau mungkin keinginan lain yang bisa ia alihkan. Tapi tidak. Mata Arfan kini memancarkan hasrat yang tak terbendung.
Dan benar saja, apa yang sempat terlintas di benaknya ternyata jadi kenyataan. Arfan tak memandang waktu. Entah siang, malam, bahkan pagi hari, jika hasrat itu datang, maka Laila harus bersiap melayani. Ia tidak bisa menolak. Arfan suaminya. Dan dalam rumah ini, Arfan adalah raja.
Laila mengangguk pelan. “Iya, Mas…”
Ia pun digandeng masuk ke kamar. Langkahnya terasa berat, bukan karena ia membenci suaminya, tapi karena lelah yang belum sepenuhnya hilang dari tubuhnya. Belum genap sejam ia duduk santai setelah dari salon, kini harus kembali terlibat dalam rutinitas yang sudah seperti kewajiban tak tertulis: melayani suami dalam segala hal, terutama urusan ranjang.
Sesampainya di kamar, Arfan langsung menarik gorden dan menutup pintu. Ia tak berkata apa-apa, hanya menatap istrinya penuh hasrat. Laila hanya bisa pasrah, meyakinkan diri bahwa ini akan cepat selesai. Namun, ia tahu itu tidak akan secepat yang ia harapkan.
Karena Arfan... bukan tipe yang cukup hanya sekali.
Satu jam kemudian, Laila rebah di sisi ranjang dengan napas tersengal pelan. Tubuhnya lemas, keringat membasahi dahi dan lehernya. Ia menatap langit-langit kamar, matanya kosong. Sementara di sampingnya, Arfan terlihat puas, tersenyum sambil menyalakan rokok dan menghembuskan asapnya ke langit-langit kamar.
“Lain kali sering-sering ke salon ya, Sayang,” ucapnya sambil terkekeh.
Laila hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia ingin tertawa getir. Bukan karena pujian itu, tapi karena begitu cepatnya semua terjadi. Dari satu langkah kecil keluar rumah, langsung berakhir dengan lelah di atas ranjang.
Ia membalikkan tubuh, punggungnya menghadap Arfan. Ia menarik selimut, menutupi tubuh yang masih setengah telanjang. Ingin menangis, tapi tak ada air mata.
Ini bukan pertama kalinya. Dan sepertinya tak akan jadi yang terakhir.
Arfan, suaminya, memiliki hasrat yang luar biasa tinggi. Bahkan sehari pun kadang tak cukup sekali. Pernah suatu malam, Laila sudah tertidur lelap setelah sesi panjang menjelang tengah malam, namun Arfan kembali membangunkannya sekitar pukul tiga dini hari, meminta lagi.
Awalnya Laila mengira itu hanya karena rasa sayang. Tapi semakin lama, ia merasa seperti boneka yang tak punya hak menolak. Bahkan saat tubuhnya sakit, atau sedang datang bulan, Arfan tetap menuntut, setidaknya dengan cara lain.
Dan kini, di siang hari, saat matahari masih tinggi, ketika kebanyakan orang menikmati waktu santai atau tidur siang, ia harus kembali melayani.
Satu jam kemudian, Laila bangun dari ranjang setelah memastikan Arfan tertidur. Ia melangkah pelan ke kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba menghapus rasa lelah dan sisa-sisa perasaan tak nyaman di tubuhnya. Matanya menangkap bayangannya sendiri di cermin. Ia menatap lama.
“Apa aku memang hanya sebatas pelayan baginya?” gumamnya lirih.
Ia kembali mengingat masa awal pernikahan mereka. Arfan saat itu begitu romantis. Menggenggam tangan Laila saat tidur, membawakan sarapan, bahkan menolak menyentuh Laila ketika ia sedang lelah. Tapi itu semua berubah seiring waktu. Ketika rumah tangga berubah menjadi rutinitas, ketika keinginan Arfan semakin menjadi, dan Laila tak punya pilihan selain menurut.
Satu-satunya tempat ia bisa menenangkan diri adalah kamar mandi. Di sinilah ia bisa menangis tanpa terlihat. Di sinilah ia bisa meluapkan amarah tanpa didengar. Di sinilah ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa perlu menjadi istri, pembantu, pelayan, atau objek.
Laila keluar dari kamar mandi lima belas menit kemudian. Ia mengenakan kembali dasternya, lalu duduk di kursi dekat jendela kamar. Tangannya meraih ponsel, dan ia membuka pesan dari Rani.
Rani:
Gimana, Lai? Arfan kaget lihat kamu cantik, ya? Hihihi.
Laila mengetik perlahan.
Laila:
Iya, kaget banget. Tapi bukan kaget biasa. Langsung ajak masuk kamar.
Rani membalas dengan emot tertawa.
Rani:
Waduuh... bener-bener, deh. Kamu harus jaga kesehatan, Lai. Jangan dipaksain terus.
Laila diam sejenak, lalu mengetik:
Laila:
Kadang aku ngerasa bukan istri, Ran. Tapi kayak... pemuas hasrat.
Kali ini tak ada balasan cepat dari Rani. Baru beberapa menit kemudian, Rani mengirimkan balasan:
Rani:
Lai, kalau kamu udah ngerasa kayak gitu... kita harus ngobrol serius. Kamu nggak sendiri.
Laila membaca pesan itu berulang kali. Ada haru yang naik ke dadanya. Setidaknya masih ada yang peduli. Masih ada yang bisa mendengarkan tanpa menghakimi.
Di balik semua kerapihan dan wajah cantiknya yang segar sore itu, Laila menyimpan luka yang terus menganga. Luka yang tak bisa diobati dengan creambath atau masker wajah. Luka yang hanya bisa sembuh jika ia benar-benar dicintai sebagai manusia… bukan sebagai objek hasrat semata.
Dan hari itu, ia kembali menyadari: cinta saja tidak cukup, jika ia tidak dihargai.