Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 16
Tubuhku kaku, terdiam menyaksikan apa yang akan terjadi setelah ini. Batinku tak henti-henti berdoa agar semuanya baik-baik saja.
"Malam, Om. Maaf, tadi saya mengikuti Nayla karna khawatir dia pulang sendiri," ucapnya dengan sopan sambil beberapa kali menundukkan kepala.
"Kamu siapa?" tanya ayah tanpa ekspresi.
Ayah benar-benar marah kalau seperti ini.
Karena ayah orang nya ramah banget biasanya.
"Aku Jasson, Om," sahutnya sambil mendakati ayah lalu mengulurkan tangannya.
Ayah menyambut tangannya, lalu Jasson mencium punggung tangan ayah.
Aku masih tak bergeming menyaksikan semuanya.
"Nayla, kamu masuk!" perintah ayah. Aku nggak bisa berbuat apapun selain menuruti perintah beliau.
Kakiku terasa begitu berat meninggalkan Jasson vang mungkin saat ini sama gugupnya denganku. Tapi ini salah dia! Ngapain sih? Dia harus turun, kenapa nggak berlalu saja. Apa dia pikir dia bisa meluluhkan hati abi?
"Kamu sudah pulang, Nak?" tanya umi.
"Sudah, Umi," sahutku dengan mata berkaca-kaca. "Nay ke atas sebentar," sambungku ketika bibir umi bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu.
Aku berlari menyusuri tangga menuju balkon lantai dua. Dari sana aku akan memantau pegerakan mereka.
Sampai atas, ternyata Jasson sudah berjalan menuju mobil. Kulihat abi masih memantaunya hingga mobil itu bergerak meninggalkan abi. Saat dia masuk ke mobilnya dia sempat menengok ke arahku dengan ekspresi datar.
Mobil pun mulai merangkak menjauh meninggalkan rumah. Aku menatap atap mobil yang semakin jauh itu hingga menghilang.
Aku ingin memarahinya. Tapi untuk apa? Semua sudah terlanjur. Marah pun nggak akan menyelesaikan masalah. Malah ini hanya akan menambah rumit.
"Nayla!" panggil abi.
'Bismillah,' kutarik napas panjang sambil memejamkan mata. Bantu hamba ya Allah. 'Lembutkanlah hati kedua orang tuaku jika memang Jasson mau mualaf dan berjodoh denganku.' Aku lalu menuruni tangga demi tangga dengan pelan.
Kulihat umi dan abi sedang duduk di ruang tengah. Hanya suara TV yang terdengar menggema di ruangan ini. Setelah melihat kedatanganku, abi mengambil remote lalu mengarahkannya ke TV. Seketika, rumah ini pun menjadi hening.
Aku terduduk pasrah di depan umi dan abi. Sedihku tak tertahankan lagi. Air mata pun tumpah di hadapan orang yang sudah merawat dan membesarkanku itu.
Umi lalu pindah ke sampingku, mengusap bahuku. Hal itu sedikit bisa membuatku tenang. Setidaknya, salah satu dari mereka berpihak padaku. Eh, berpihak padaku? Bukan-bukan, masksudku, tidak memarahiku.
"Kenapa menangis?" tanya abi tenang.
Tetapi dengan tatapan yang datar.
"Maafin Nay, Bi," pintaku yang mulai terisak.
"Kenapa?" tanya abi lagi dengan tatapan yang sama.
"Karna Nay melanggar nasehat abi," sahutku tertunduk.
"Nasehat yang mana?" Abi terus mencecarku.
"Larangan abi untuk tidak berteman dekat dengan laki-laki," sahutku dengan ekspresi yang sama.
"Abi kecewa berat sama kamu!
Kepercayaan yang umi dan abi titipkan padamu ternyata sia-sia." Suasana hening sejenak. "Kamu pacaran dengannya?" tanya abi berikutnya. Kali ini kemarahan abi nggak bisa dibendung lagi. Tatapan mata itu begitu silau untuk kulihat. Aku benar-benar takut. "Nggak, Bi," jawabku jujur. Karna aku dan Jasson memang tidak ada ikatan apa-apa, walaupun memang ada harapan untuk hidup bersama dihati kami berdua.
"Kamu tahu? Abi tidak suka itu. Tapi diam-diam kamu melakukannya. Ini bukan perintah abi, Nak. Ini perintah Allah!" Suara abi naik bak ustadz yang sedang melakukan pengajian.
"Maaf, Bi. Nay nggak punya keberanian untuk mengatakan semuanya sama abi." Aku tertunduk.
Umi lalu mengusap bahuku lagi untuk menenangkanku. Umi benar-benar paham dengan perasaanku saat ini. namun umi nggak bisa bersuara membelaku karna memang aku salah di sini. Aku tahu, umi juga pasti kecewa mengetahui ini. Tetapi, paling tidak dengan terbukanya masalah ini, ada jalan keluar yang bisa kutempuh agar hubunganku dan Jasson bisa melangkah ke jenjang yang lebih serius lagi.
"Abi pernah bilang, kalau abi hanya ingin kamu taaruf, lalu menikah. Tidak beriring-iringan mobil seperti itu. Abi nggak yakin kalau kamu nggak pernah berduaan dengannya. Tapi sudahlah, abi nggak ingin mendengarkannya. Abi sudah terlalu kecewa." Abi lalu menghela napas dan membuang muka dariku.
"Nay, sejauh apa hubungan kamu dengan laki-laki itu? Apa kamu mau taaruf dengannya?" tanya umi lembut. Pertanyaan umi bagaikan tiupan angin di panasnya padang pasir. Rasanya aku ingin melompat sambil menggendong umi.
Sudur bibirku terasa ditarik kuat sesuatu yang tak bisa kutakan. "Iya, Umi. Mau," sahutku malu-malu sambil menahan girangku. Kini aku mulai berani mengangkat kepalaku lagi dengan sempurna. Aku juga sudah berani menatap abi lagi.
"Bagaimana, Bi? Dari pada anak kita terjerumus dalam dosa. Lebih baik kita nikahkan saja jika memang mereka sudah siap lahir dan batin?" tanya umi lagi. Hatiku berbunga-bunga mendengarkannya. Umi memnag the best pokoknya. "Dia itu masih 23 tahun, Mi. Apa kamu yakin, Nay?" tanya abi padaku.
"Yakin, Bi. Insya Allah." Aku menjawab mantap.
"Sebenarnya abi dan teman abi punya rencana menjodohkan kalian. Anaknya adalah seorang guru tahfiz di pesantren. Rencananya abi akan memintamu mengajar di sana juga, lalu taaruf dengannya," papar abi.
Aku terdiam, tunas-tunas harapan yang tadi mulai tumbuh kini gugur berjatuhan. Aku menatap sayu kepada umi menyiratkan meminta bantuannya.
"Abi, sekarang sudah nggak zamannya lagi perjodohan sepeti kita dahulu. Jika Nayla memang punya pilihan sendiri kita restui saja. Mana tau memang pria itulah jodohnya," tutur umi seolah tahu permintaanku.
"Ya sudah, kalau begitu, minta dia datang ke sini besok."
Aku berpegangan ke tangan-tangan kursi mendengarkan permintaan abi. Tubuhku kini terasa begitu ringan hendak melayang-layang di udara sambil menari-nari.
"Beneran, Bi!?" teriakku kegirangan.
"Jangan keras-keras bicara pada orang tua," canda abi menampakkan senyumnya yang dari tadi bersembunyi dibalik raut dinginnya.
Aku melompat ke arah abi dan memeluk pria yang sudah mulai beruban itu.
"Terimakasih banyak, Bi." Kuciumi punggung tangannya berkali-kali. Kemudian kulakukan hal yang sama pada umi yang sudah menjadi pahlawan bagiku.
"Nayla, kamu jangan terlalu senang, ya.
Abi dan umi besok akan menanyakan banyak hal pada siapa itu namanya?" tanya abi.
"Jasson, Bi," sahutku.
"Nah, itu. Restu umi dan abi nanti tergantung dengan pertemuan dengannya besok." Abi memperingatkanku.
"Iya, Bi." Sahutku dengan kegembiraan yang sama.
Nggak akan memberitahu abi dan umi dulu tentang agamanya. Jika nanti abi sudah merestui, aku meminta Jasson masuk islam. Setelah itu barulah kukatakan pada umi dan abi jika Jasson adalah seorang mualaf.
Setelah ngobrol-ngobrol ringan dengan umi dan abi, aku pamit untuk beristirahat.
Mamasuki kamar, aku tak sabar menghubungi Jasson untuk memberitahukan berita bahagia ini.
Begitu menyalakan ponsel, ternyata sudah ada pesan darinya.
[Aku sudah sampai di rumah, tadi abi menanyakan apa?] tanyanya.
[Alhamdulillah. Aku duluan yang nanya, tadi abi ngobrol apa sama kamu?] tanyaku juga.
[Hanya bertanya, apakah mau mampir dulu. Itu saja, abi orangnya baik, nggak seperti yang kamu katakan,] balasnya disertai emotikon cibiran. Hah? Masa abi hanya nawarin mampir? Apa dia berbohong lagi? [Di rumah gimana? Aman?] pesannya masuk lagi.
Lanngkah pertama sudah selesai. Aku Iya, Aman. Aman banget malah,] pancingku.
[Maksudnya?] tanyanya dengan emotikon mata love merah. Ini pertama kalinya dia memberikan emotikon ini.
[Abi memintamu besok datang ke sini. Tolong siapkan diri lahir batin. Kata abi, pertemuan besok adalah penentu restu dari mereka.]
Beberapa detik setelah centang hijau, dia langsung meneleponku.
"Kenapa telepon?" tanyaku berbisik. Aku masih takut ketahuan abi. Aku nggak pernah teleponan dengan laki-laki di dalam rumah ini.
"Kangen," jawabnya nakal.
"Hush!" ucapku sambil menahan tawa.
"Canda," paparnya. "Aku nggak sabaran," sambungnya.
"Kamu yakin? Kamu nggak deg-degan?" tanyaku penasaran.
"Sedikit, lebih banyak ke nggak sabar sih.Karna semankin cepat bertemu orang tuamu.
Semoga semakin cepat juga kita menemukan titik terang hubungan ini." Suaranya terdengar begitu bersemangat.
Aku dan dia sama-sama optimis menghadapi hari esok. Walaupun aku nggak tahu apakah hari esok akan sama jika abi mengetahui kalau Jasson non muslim.