NovelToon NovelToon
Beauty To Crystal

Beauty To Crystal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Anak Lelaki/Pria Miskin / Romansa
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Reenie

Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.

Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.

Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16. Mama Mulai Curiga

Pagi harinya, sinar matahari yang menerobos masuk dari celah tirai membuat Achazia terbangun dengan malas. Ia meraih ponsel dan terkejut melihat beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Mama.

[1 Pesan Baru dari Mama]

“Mama di parkiran bawah. Keluar ya, sayang. Hari ini kamu sudah libur.”

Achazia membelalak. "Astaga!" Dia langsung melompat dari ranjang, mengambil jaket, dan mengikat rambutnya seadanya sebelum berlari keluar dari kamar asrama.

Lunaria Beauty Institute pagi itu terasa lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa-mahasiswa dengan koper besar berlalu-lalang di lorong, sebagian masih sibuk selfie di taman depan. Tapi Achazia tak sempat menikmati suasana itu. Ia berlari menuruni tangga dan menuju parkiran bawah.

Sebuah mobil hitam mewah sudah terparkir dengan gagahnya. Dari balik kaca jendela, Mama melambaikan tangan, senyum terlukis di bibirnya, namun matanya menyiratkan sesuatu yang lain.

Sementara Pak Gino menunggu untuk menyupir.

Begitu Achazia masuk ke dalam mobil, suasana hening sejenak. Mamanya duduk di kursi belakang pak Gino dan menyuruh putrinya duduk disampingnya. Mamanya menatapnya lama sebelum akhirnya membuka suara.

“Maaf, Ma. Aku nggak tahu Mama nelpon semalam,” ucap Achazia, mencoba terdengar santai, meski jantungnya berdebar.

Mama tersenyum kecil. Tapi bukan senyum yang biasa. Ada sesuatu yang… mengawasi di balik sorot matanya.

“Iya, Mama tahu. Kamu pasti sibuk video call sama teman-temanmu, ya?”

Achazia tertegun. Ia berusaha mencari kata-kata, namun otaknya justru kosong.

“Kamu pikir Mama nggak bisa lihat status WA kamu, Za? Tertulis ‘in a call’ selama hampir dua jam,” lanjut Mama dengan nada datar.

Achazia menggigit bibir bawahnya. Bagaimana bisa dia lupa privasi status dari mamanya. “Iya, Ma. Aku kangen mereka… sudah lama nggak ngobrol bareng.”

Mama menarik napas panjang, memejamkan mata sejenak sebelum menatap Achazia kembali. “Za, Mama nggak marah kamu video call. Mama cuma… khawatir.”

Mobil mulai melaju keluar dari area parkiran, menyusuri jalan kota yang masih lengang di pagi itu. Tapi suasana di dalam mobil jauh dari nyaman.

“Teman kamu yang… anak sepeda tua itu, kamu masih dekat?” tanya mama, kali ini nadanya lebih hati-hati.

Achazia menunduk. Ia tahu siapa yang dimaksud. Elvareon. Nama itu selalu menjadi titik sensitif di antara dia dan orang tuanya.

“Iya, Ma. Namanya Elvareon. Dia sekarang kuliah kedokteran, Mama. Dia dapat beasiswa penuh. Dia orang baik, Ma. Sangat baik.”

Pak Gino yang mendengar percakapan itu, sedikit sedih karena nona Achazia harus dekat dengan laki-laki sepeda tua itu.

Mama tak langsung membalas. Matanya memandang jauh ke depan, seolah mencoba menembus jalanan yang ada di hadapannya.

“Kamu harus tahu, Za… semakin dekat kamu dengan dia, semakin banyak orang yang akan memperhatikan. Termasuk Papa kamu,” ucap Mama akhirnya, lembut namun tegas.

Achazia menggigit bibirnya. “Aku paham, Ma. Tapi aku nggak peduli apa kata orang. Aku nyaman berteman dengan mereka. Aku nggak pernah memandang dia rendah, Ma. Dia orang yang bahkan lebih gigih dari aku.”

Mama menoleh padanya, senyum tipis tersungging di bibirnya. Namun di balik senyum itu, Achazia bisa melihat segunung kecemasan.

“Za, Mama nggak ingin menghalangi kamu punya teman. Tapi dunia Papa dan Mama tidak akan semudah itu menerima semua orang. Kamu harus lebih hati-hati. Kita tidak hidup di dunia yang adil.”

Achazia terdiam. Ia tahu, Mama tidak sedang memarahi, tapi ini adalah peringatan halus. Dunia mereka memang penuh dengan batasan-batasan tak kasat mata.

Mobil memasuki jalan tol, melaju dengan kecepatan stabil. Tapi suasana di dalam mobil seperti berjalan lambat. Achazia meremas jemarinya sendiri, mencoba menahan gelombang emosi yang mendesak dari dalam.

“Besok Papa mau ajak kamu makan malam. Pastikan kamu siap, ya,” ucap Mama pelan.

Achazia hanya bisa mengangguk pelan. Ia tahu makan malam itu pasti bukan sekedar makan malam biasa. Papa pasti akan mulai membicarakan… Elvareon. Tentang status, masa depan, dan segala hal yang sudah sering ia dengar sejak kecil.

Di hatinya, Achazia sudah siap, meski raganya belum tentu.

Di sisi lain, Elvareon sedang duduk di sudut perpustakaan St. Aurelius University, menatap layar laptopnya yang penuh dengan catatan tentang anatomi manusia. Tapi pikirannya jauh melayang. Malam sebelumnya, setelah video call itu, ia merasa… kosong. Perjalanan mereka memang sudah berbeda. Namun setiap malam, lewat obrolan kecil itu, mereka menciptakan jembatan agar tetap terhubung.

“Elvareon, kamu kenapa? Kok senyum-senyum sendiri?” tanya Arvin, teman kuliahnya yang duduk di seberang meja.

Elvareon hanya menggeleng kecil. “Nggak, aku cuma ingat teman-temanku.”

Arvin tersenyum. “Kamu beruntung punya teman yang selalu ada, meskipun dari jauh. Nggak semua orang punya itu.”

Elvareon mengangguk. Ia tahu, selama ia masih punya mereka, terutama Achazia, dunia ini tak akan terasa terlalu berat.

Sesampainya di rumah, Achazia masuk ke kamarnya dan membiarkan dirinya terhempas di atas ranjang empuknya. Ponselnya berdering, notifikasi dari grup chat mereka, Group: Masa SMA Paling Chaos 🌀.

Kaivan: “Za, kau selamat nggak? Mama kau nggak marah, kan?”

Achazia tersenyum tipis.

Achazia: “Nggak marah sih… tapi curiga. Besok aku harus ‘diperiksa’ Papa di meja makan.”

Brianna: “Hahaha. Jangan lupa, Za. Kalau Papa kamu mulai nanya-nanya, langsung alihkan ke topik make up!”

Elvareon: “Kalau butuh aku, aku siap dipanggil buat disidang.”

Achazia membaca pesan itu dan tersenyum. Meski berjauhan, mereka masih menjadi rumah satu sama lain. Hatinya tenang, meskipun dia tahu badai itu akan datang.

1
Nana Colen
ceritanya ringan tapi asiiik 🥰🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!