Update setiap hari!
Leon Vargas, jenderal perang berusia 25 tahun, berdiri di medan tempur dengan tangan berlumur darah dan tatapan tanpa ampun. Lima belas tahun ia bertarung demi negara, hingga ingatan kelam tentang keluarganya yang dihancurkan kembali terkuak. Kini, ia pulang bukan untuk bernostalgia—melainkan untuk menuntut, merebut, dan menghancurkan siapa pun yang pernah merampas kejayaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24 Kehangatan yang menggairahkan
Dunia Angeline seakan tenggelam dalam kabut yang hangat dan harum. Semuanya terasa samar, seperti terbungkus kapas dan direndam dalam madu. Setiap napasnya dipenuhi oleh aroma melati yang memabukkan, begitu pekat dan manis hingga hampir terasa di ujung lidah.
Aroma itu berbaur dengan sesuatu yang lebih primal, lebih menggairahkan: bau keringat yang asin, wangi yang memicu gelora, tanda dari tubuh-tubuh yang sedang bersatu dalam gejolak cinta.
Ia tidak bisa melihat dengan jelas, hanya merasakan.
Sentuhan.
Itulah yang mendominasi mimpinya. Sentuhan lembut seperti bulu yang menjelajah setiap jengkal kulitnya, membakar jejak api kecil di setiap titik yang disentuhnya.
Ia adalah sebuah instrument, dan sentuhan-sentuhan itu memainkannya dengan mahir, melantunkan simfoni sensasi yang membuatnya melayang-layang, terlempar dari puncak satu kenikmatan ke puncak yang lainnya.
Di telinganya, desahan-desahan napas yang berat dan serak bergema. Itu adalah suara yang intens, penuh dengan hasrat dan usaha yang tertahan. Ia tidak yakin apakah itu desahannya sendiri atau milik orang lain—atau mungkin gabungan dari keduanya, menyatu dalam sebuah duet yang panas dan terlarang.
Angeline terhuyung-huyung di antara keadaan sadar dan tidak, terseret arus sensasi yang begitu kuat. Rasanya seperti mimpi yang paling nyata dan paling menggoda yang pernah dialaminya.
Sebuah mimpi di mana tubuhnya bukan lagi miliknya sendiri, tetapi menjadi bagi sebuah kesenangan yang begitu mendalam, begitu menguasai, hingga ia hanya bisa pasrah dan merasakan setiap gelombangnya yang mengguncang.
....
Matahari pagi menyelinap lembut melalui celah gorden, menebar cahaya keemasan yang menyilaukan.
Angeline mengerjapkan matanya yang masih sayu, rasa berat di kepala mengingatkannya pada mabuk yang aneh tadi malam. Ia menggeliat pelan, otot-ototnya terasa pegal namun juga... sangat rileks.
"Mimpi yang aneh..." gumamnya serak, sisa-sisa kilasan sensasi panas dan sentuhan halus masih membekas dalam ingatannya yang kabur.
Ia merasa seperti baru saja terbang dan melayang dalam sebuah kenikmatan yang tak terlukiskan.
Dengan perlahan, ia mencoba untuk duduk. Saat itulah selimut sutra halus melorot dari tubuhnya, menyengat kulitnya dengan hawa dingin pagi hari yang khas.
Saat itu juga, Angeline menyadari jika dirinya sedang dalam kondisi tanpa busana sedikitpun.
Dadanya sesak dalam sekejap. "Jangan... jangan..." bisiknya gemetar, nalurinya membisikkan sesuatu yang mengerikan. Dengan jantung berdebar kencang, ia berbalik pelan, sangat pelan.
Dan di sana, terbaring seorang pria. Wajahnya tampan dengan garis rahang yang tegas, tertidur lelap. Salah satu lengannya terulur dengan santai memeluk pinggul Angeline.
Panik menyergapnya seperti air bah. Matanya membelalak, menatapi sosok pria asing di sampingnya.
Dengan gemetar, ia menoleh dan menatap tubuhnya sendiri. Dan di sanalah semua kekhawatirannya menjadi kenyataan yang pahit.
Di lehernya, di lekukan tulang selangkanya, hingga di paha bagian dalamnya—terdapat jejak-jejak kemerahan seperti bekas ciuman yang menggila.
Sebuah rasa nyeri yang khas dan mendalam berdenyut-denyut dari bagian paling intimnya, mengirimkan gelombang malu dan ngeri yang menyiksa.
Ia menarik napas tersedu, matanya tertuju pada seprai di dekat pahanya. Di sana, sebuah noda merah tua—kecil tapi terlihat sangat nyata di kain putih—seperti sebuah cap yang menandai kehilangan yang tak ternilai.
"Ini... Tidak mungkin..." ucapnya lirih, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya yang biru keperakan.
Dengan napas tersedu, Angeline menyeka air mata yang mengalir deras di pipinya. Ia memejamkan matanya sebentar, menarik napas dalam-dalam yang getir. Tidak. Menangis tidak akan menyelesaikan apa pun. Dia harus pergi. Sekarang sebelum pria itu terbangun.
Dengan hati-hati, ia mengangkat lengan pria itu yang masih terkulai di pinggangnya. Otot-ototnya yang keras terasa sangat nyata, mengingatkannya pada kekuatan yang tadi malam yang menahan dan menguasainya. Pipinya memerah karena campuran malu dan kemarahan. Ia mengendap keluar dari tempat tidur, kakinya yang gemetaran menyentuh karpet.
Setiap langkah terasa menyiksa. Rasa nyeri yang mendalam di antara pahanya mengingatkannya pada apa yang telah hilang. Lututnya terasa lemah, hampir menyerah. Tapi tekadnya untuk melarikan diri lebih kuat.
Dengan gigitan di bibir, ia memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai—gaun biru tua yang kini kusut, sepasang high heels, dan pakaian dalam yang sudah sobek. Ia mengenakan semuanya dengan cepat dan terburu-buru.
Sekali lagi ia menatap pria asing itu yang masih tertidur lelap. Wajahnya yang tampan di bawah sorotan matahari pagi terlihat begitu damai, begitu berbeda dengan kekacauan yang ia rasakan di hatinya.
"Aku tidak akan membiarkanmu berpikir kalau aku adalah wanita murahan..." gumamnya lirih, suaranya bergetar penuh tekad.
Dengan gerakan cepat, ia meraih dompet kecilnya yang tergeletak di lantai, mengambil selembar uang kertas senilai 10 dollar dan meletakkannya di atas meja.
"Selamat tinggal, bajingan..." desisnya, suara itu hampir tidak terdengar, penuh dengan segala rasa pahit yang mengganjal di kerongkongannya.
Dia berbalik dan berjalan secepat mungkin menuju pintu, berusaha keras untuk tidak berlari, tidak menunjukkan betapa hancurnya dia.
Pintu kamar hotel tertutup dengan bunyi klik yang halus, meninggalkan keheningan yang tersisa.
Begitu pintu tertutup, Leon membuka matanya. Pandangannya yang tajam dan jernih sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda orang yang baru saja terbangun. Dia telah terbangun bahkan sebelum Angeline tersadar untuk pertama kalinya.
Pandangan Leon tertuju pada selembar uang kertas yang tertinggal di meja. Dia mengulurkan tangan, mengambilnya.
"Sepuluh dollar?" gumannya lembut, uang kertas itu terasa sangat kecil di tangannya yang besar. "Semurah itukah diriku?"
Senyum samar, sebuah ekspresi yang sangat langka, menguar di sudut bibirnya yang biasanya keras. Matanya memancarkan kehangatan yang tak terduga, dihiasi bayangan kenangan yang jelas tentang panasnya tubuh wanita itu.
Namun, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Leon dapat merasakan apa yang dinamakan dengan 'tidur nyenyak'.
Biasanya, malam-malam Leon dipenuhi dengan mimpi buruk. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan-bayangan masa lalu datang menghantam tanpa ampun. Ia terbangun basah kuyup oleh keringat dingin, napas terengah, tubuh tegang seakan masih berada di medan perang.
Dalam tidurnya, Leon selalu kembali ke masa ketika dunia hanyalah darah, api, dan jeritan orang yang mati. Ia melihat wajah-wajah prajurit yang ia pimpin, yang roboh satu per satu. Suara peluru, ledakan, dan tulang yang patah seolah terus terpatri di dalam telinganya.
Dan terkadang, mimpi itu membawanya jauh lebih mundur—ke masa kecilnya. Saat ia masih bocah, kurus, lapar, dengan leher kecil yang tercekik tali kasar. Hari ketika ia hampir mati digantung oleh orang-orang yang menganggap hidupnya tidak berharga.
Bekas tali itu masih tertinggal sampai sekarang, guratan samar yang tak pernah hilang dari kulit lehernya. Setiap kali ia bercermin, ia bisa melihatnya—pengingat abadi bahwa ia pernah dirundung hingga hampir kehilangan nyawanya.
Namun malam tadi… entah kenapa rasanya berbeda.
Tidak ada ledakan.
Tidak ada jeritan.
Tidak ada bayangan tali gantungan.
Yang ada hanyalah hangatnya tubuh seorang wanita. Aroma melati yang menenangkan. Desahan napas yang teratur, lembut, mendesak telinganya untuk ikut larut.
Untuk pertama kalinya, Leon tertidur lelap—tanpa terbangun, tanpa kaget, tanpa dihantui rasa bersalah. Ia memeluknya sepanjang malam, dan justru di situlah ia menemukan ketenangan yang selama ini mustahil baginya.
"Semoga kita bertemu lagi..." gumamnya lembut.
ayooo muncullah!!!
gmn malu'a klu tau angeline anak si komandan🤭😄
ternyata sang komandan telah mengenal leon
ah, leon akhir'a dpt sekutu