Kehidupan Jansen, seorang pemuda biasa, berubah secara drastis ketika ia secara tak terduga mendapatkan sesuatu yang misterius bernama "System". Sistem ini memberinya kekuatan untuk mengubah takdir hidupnya dan membawanya ke jalan kesuksesan dan kebahagiaan.
Dengan bantuan sistem ini, Jansen berusaha untuk meraih impian dan cinta sejatinya, sambil menghadapi berbagai rintangan yang menguji keteguhan hatinya.
Akankah Jansen mampu mengatasi tantangan-tantangan ini dan mencapai kehidupan yang ia inginkan, ataukah ia akan terjebak dalam keputusasaan karena kekuatan baru yang ia miliki?
Jansen mendapatkan beberapa kemampuan dari sistem tersebut, seperti kemampuan bertarung, peningkatan kecepatan dan kekuatan, serta kemampuan untuk mempelajari teknik baru lebih cepat. Sistem tersebut juga memberikan Hansen akses ke pengetahuan yang luas tentang dunia, sejarah, dan berbagai aspek kehidupan, yang membantu Jansen dalam menghadapi berbagai tantangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jenos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16
DING...
102
[Selamat, Anda telah melakukan cek-in dan mendapatkan dua puluh poin,] ucap suara itu dengan semangat yang menggairahkan.
Jansen terbangun dari lamunannya, merasa termotivasi oleh poin yang baru saja ia peroleh. Namun, ia juga sadar bahwa kehidupannya tidak akan pernah sama setelah peristiwa yang baru saja terjadi. Ke depannya, ia harus lebih berhati-hati dalam menghadapi tantangan yang mungkin menghadangnya.
Tampilkan status:
Nama: Jansen Gillard
Poin Utama: 110
Kekuatan: 70
Kelincahan: 70
Semangat: 70
Keterampilan: Teknik Tapak Naga Lv 1
Inventory: Tidak Ada.
Dana: 6.000.000.00
"Rena, mengapa kamu tidak datang kemarin sore?" Tanya Wanda dengan ekspresi kecewa, mendekati mobil Lorenza. "Aku menunggumu cukup lama, lho!"
"Maaf, aku kemarin menemani ibuku yang sedang pusing," sahut Lorenza seraya tersenyum haru, lalu menambahkan, "Terima kasih sudah menunggu, Wan. Tapi sekarang aku sedang ada urusan mendesak. Sampai jumpa!" Lorenza melambaikan tangan dan berlari menuju Jansen yang sedang menuju gedung.
Jansen kini tampil berbeda, ia tidak lagi mengenakan kacamata tebal yang selalu ia pakai. Dukungan Sistem membuatnya memutuskan untuk berubah, menjauh dari Jansen yang lama. "Jansen!" seru Lorenza dengan semangat.
Dengan senyum hangat, Jansen menoleh dan menatap Lorenza. "Hai Rena, kamu seperti
Bunga yang sedang mekar. Indah sekali!"
pujinya tulus dan spontan.
Mendengar pujian itu, Lorenza memerah wajahnya bak tomat matang yang baru dipetik. Dibalik wajah cantiknya yang mempesona, ia tersenyum lembut bagai bunga yang sedang menyapa kumbang. "Kamu pandai merayu, ya sekarang!" selorohnya sambil menutup wajah yang semakin memerah.
Dari kejauhan, Wanda menghentakkan kakinya kesal, amarah membuncah karena apa yang telah ia janjikan dengan Dony gagal terlaksana, hanya gara-gara alasan sepele dari Lorenza. Ia tak bisa menerima kenyataan ini, apalagi saat melihat kedekatan Lorenza dengan Jansen yang terlihat semakin mesra. Perasaan cemburu meluap-luap di hatinya, hingga Wanda mengambil ponselnya dan segera menghubungi seseorang.
"Dony, kau harus tahu! Lorenza dan Jansen tampak sangat akrab. Bahkan sekarang mereka berdua baru saja memasuki Gedung," ungkap Wanda dengan nada ketus.
Di sisi lain, Dony yang menerima informasi itu merasa tersentak. Emosinya terguncang dan ia langsung beranjak, mengajak Anto serta Yandi untuk menyusul.
Di perjalanan, dengan wajah muram, Dony berkata, "Sepertinya Andika gagal menjalankan tugasnya. Cari tahu segera, di mana Andika berada sekarang!"
Yandi bergegas menghubungi Andika, namun sayangnya yang terdengar hanyalah suara operator. "Nomornya tak aktif!" lapor Yandi dengan kecewa.
"Biarkan saja dulu," ucap Dony sambil mengatupkan bibirnya, memendam amarah. "Nanti setelah kita selesaikan urusan dengan Jansen, kita akan mengunjungi rumah Andika dan menghakiminya."
Dony berkata dengan nada dingin dan tajam, ia memimpin seakan-akan seorang Mafia yang hendak mematahkan leher lawan.
Tampak aura misterius dan kejam menyelimuti wajahnya.
Karena belum sempat sarapan, memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal, sementara Lorenza pergi mengikuti kelas. Entah mengapa, akhir-akhir ini Jansen merasa malas untuk belajar, berbeda dengan masa lalu ketika ia dikenal sebagai Kutu Buku. Di kantin, Jansen memesan, "Bu, Susu sama Roti Bakar."
"Tunggu sebentar, Nak, Ibu siapin!" Ujar Ibu Kantin dengan ramah.
Jansen melihat-lihat tempat duduk dan menjatuhkan pilihan pada satu meja kosong yang nyaman. Namun, tak disangka, ada seorang wanita cantik yang juga tengah berjalan ke arah meja itu dengan membawa minuman di tangannya. Ketika Jansen hendak menarik kursi untuk duduk, wanita itu juga berbuat hal yang sama. Sejenak, mereka hanya saling pandang, suasana pun menjadi sedikit canggung.
"Bisakah aku duduk di sini?" ujar wanita itu dengan wajah ragu, menatap Jansen yang masih memegangi kursi. Ia melirik ke sekeliling dan tampak tidak menemukan kursi
Kosong lainnya.
"Tidak masalah, lagipula, ini juga tidak merugikan aku!" sahut Jansen sambil tersenyum ramah. Mereka akhirnya duduk berseberangan.
"Hai, aku Marisa," perempuan itu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, memulai percakapan dengan semangat. Ketika tangan mereka bersentuhan, Jansen merasa ada getaran yang aneh di dalam hatinya, seperti ada energi baru yang menyala di kehidupannya.
"Namaku Jansen, senang bisa berkenalan dengan wanita tercantik di Universitas!" ucap Jansen penuh percaya diri. Ia tersenyum lebar, melepaskan jabat tangan mereka. Meski di dalam hatinya masih ada rasa gugup yang membayangi, ia berjanji pada dirinya untuk terus mengasah kemampuannya berkomunikasi dengan lawan jenis.
Jansen, seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang belum pernah merasakan indahnya cinta. Ia selalu menjomblo,
Disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, ia sadar bahwa untuk menjalin hubungan asmara memerlukan cukup banyak biaya, namun ia belum mampu untuk itu. Kedua, ia merasa dirinya kurang menarik, sehingga lebih memilih menyelam dalam dunia buku.
Namun kini, kehadiran Sistem membawa perubahan besar dalam hidupnya, memberi Jansen keyakinan untuk mencari kebahagiaan bersama pasangan idamannya.
Marissa tersenyum manis, "Apakah kamu juga salah satu pengagumku?" tanyanya lugu.
"Siapa yang tidak mengagumi kecantikan sepertimu. Aku katakan, orang itu pasti buta." sahut Jansen dengan penuh penghayatan, sambil tertawa gembira.
DING...
[Misi Terpicu: Berciuman dengan Marissa. Kartu Gold akan terbuka + kartu Perak.]
Saat Jansen menatap Marissa yang cantik mempesona, tiba-tiba sebuah notifikasi
Muncul dengan jendela pop-up. Matanya terbelalak dan hatinya berdebar tak menyangka isi dari notifikasi itu. "Apakah ini nyata, bukan hanya mimpi?" gumam Jansen dengan merasa bingung dan kaget.
Marissa menyadari tatapan Jansen yang terus mengebor dirinya, membuatnya merasa risih dan bingung. Keningnya berkerut dan dia melambaikan tangan di depan Jansen, seolah ingin membangunkan pemuda itu dari lamunannya. "Hei, ada apa denganmu? Mengapa kamu menatapku seperti itu?" tanyanya dengan nada yang agak kesal.
Jansen tersadar dari lamunannya dan membuang muka, merasa sangat malu. Ia khawatir Marissa menganggap dirinya seorang pemuda yang tidak tahu sopan santun, mengingat ia terus menatap tanpa sadar. "Ah, maafkan aku," Jansen merasa terbuka dan malu, dia mencoba menjernihkan pikirannya dari misi yang dia dapatkan tadi.
Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam, pikiran tentang misi berciuman dengan Marissa itu terus bergema dan bergulir
Bak gelombang ombak yang tak kunjung usai. "Apakah aku harus menciumnya? Apa yang akan terjadi jika aku melakukannya? Aku takut...," bisik hati Jansen yang bimbang antara menjalankan misi dan menyimpan perasaan pada Marissa.
Jansen berusaha mengusir rasa cemas yang menghantuinya. Rupanya, kebetulan pelayan kantin datang membawakan pesanannya, sehingga suasana yang awalnya canggung menjadi teralihkan.
Marissa lantas berkata, "Jansen, besok aku akan merayakan ulang tahun di rumahku. Maukah kamu datang?"
Dengan ekspresi terkejut, Jansen membalas, "Kamu mengundangku? Apakah ini bukan salah paham?"
Marissa tersenyum tipis. "Aku bisa tahu jika kamu tertarik, jadi jangan pura-pura. Suaramu cukup menggambarkan semuanya."