Sania pernah dihancurkan sampai titik terendah hidupnya oleh Irfan dan kekasihnya, Nadine. Bahkan ia harus merangkak dari kelamnya perceraian menuju titik cahaya selama 10 tahun lamanya. Sania tidak pernah berniat mengusik kehidupan mantan suaminya tersebut sampai suatu saat dia mendapat surat dari pengadilan yang menyatakan bahwa hak asuh putri semata wayangnya akan dialihkan ke pihak ayah.
Sania yang sudah tenang dengan kehidupannya kini, merasa geram dan berniat mengacaukan kehidupan keluarga mantan suaminya. Selama ini dia sudah cukup sabar dengan beberapa tindakan merugikan yang tidak bisa Sania tuntut karena Sania tidak punya uang. Kini, Sania sudah berbeda, dia sudah memiliki segalanya bahkan membeli hidup mantan suaminya sekalipun ia mampu.
Dibantu oleh kenalan, Sania menyusun rencana untuk mengacaukan balik rumah tangga suaminya, setidaknya Nadine bisa merasakan bagaimana rasanya hidup penuh teror.
Ketika pelaku berlagak jadi korban, cerita kehidupan ini semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bebas Bersyarat
Semua orang telah keluar dari ruang sidang, termasuk Max, Rob, dan Rey.
Sania masih berbincang dengan Lita Jordan di belakang sendiri, membicarakan apa saja yang akan Lita lakukan untuk mendampingi Mutiara dalam beberapa kunjungan di rumah, dan pasca pertemuan dengan ayah kandungnya.
Sania setuju saja, toh Mutiara tidak memiliki apapun untuk disembunyikan dari psikolog. Mutiara bersikap selayaknya anak seusianya, hanya sedikit lebih bijaksana karena ia telah menyelidiki masa lalunya. Ah, mungkin saja dalam proses itu, Mutiara kecewa dan sakit hati pada orang tuanya, tapi berhasil disembunyikan dengan baik olehnya.
Benar, mungkin Lita Jordan bisa membantunya soal itu.
Rob menunggu Sania di mobilnya. Menatap Sania di kejauhan dengan perasaan penuh cinta. Sania di kejauhan tampak seperti bidadari yang bersinar. "Pasti Sania menoleh ke arahku, lalu dia berlari dan memelukku. Mengucapkan terimakasih yang tak terhingga atas dukungan yang aku berikan, dan akhirnya kita bisa saling mengungkapkan perasaan ... ah, indahnya."
Rob gemas sendiri dengan kehaluannya. Tapi Sania sungguh tidak peka dan pintar sekali merusak suasana. Ah, sial!
"Oh, hai Max!"
Rob melotot mendengar Sania memanggil polisi itu. Baru saja Rob memikirkannya, eh, malah beneran kejadian. Sania memang pandai merusak angan bahagianya. "Sebenarnya, apa yang Sania lihat dari seorang pria?"
Rob berdecak sebal. Dia memiliki banyak harta, mereka saling mengenal sejak kecil, apapun telah ia usahakan untuk membantu Sania, tapi Sania sama sekali tidak melihatnya sebagai pria. "Hanya teman masa kecil yang kurus dan ingusan!"
Rob mengumpat lagi. "Sialan!"
Sania segera melepaskan Lita untuk menyapa Max yang hari ini benar-benar menjadi hero baginya. "Akhirnya kasus beku berhasil kamu pecahkan lagi!"
Max menyeka tangannya yang sedikit terkena darah dengan bajunya sebelum menyalami Sania. "Maaf, aku agak lama karena orang itu sulit dihadapi."
Sania menepuk pundak Max yang begitu keras, penuh dengan otot-otot kuat di balik seragam detektifnya. "Tidak masalah sama sekali, kau belum terlambat."
Ada jeda hening cukup lama karena Max sibuk merapikan bajunya. Sania menunggunya dengan sabar.
"Nanti mungkin kau akan dipanggil sebagai saksi dan aku mengambil barang bukti yang kau punya untuk pendalaman kasus. Bukti yang kau miliki termasuk bukti nomor 1."
Sania mengangguk sebagai tanda ia memahami yang Max katakan.
"Orang itu, apa dia kembali ke sini untuk menyulitkan aku lagi?" Sania berpikir, jika ia menang gugatan, atau setelah Mutiara bisa diambil alih hak asuhnya oleh mereka, akan melakukan teror lagi seperti dulu hingga Sania menyerah dibuatnya.
Max mengangguk, sedikit mencuri pandang dari Sania. "Ya, benar! Nadine sepertinya akan melakukan itu mengingat transferan uang dari rekening Bob Berdy jumlahnya 3 kali lipat dari transferan sebelum-sebelumnya!"
Sania menelan ludahnya karena takut. Ia kembali merasakan perasaan takut seperti yang waktu itu ia rasakan. Seakan perasaan itu tidak pernah hilang, hanya Sania selalu menutupinya demi Mutiara. Setiap hari, Sania selalu was-was dan panik sendiri memastikan Mutiara benar-benar terlindungi.
Max tersenyum. "Ada aku, kamu jangan takut!"
Sania tersenyum ketika Max menepuk pundaknya dua kali. "Aku merepotkanmu terus, Max! Tapi kali ini sepertinya kamu bisa bekerja dengan tenang karena biang masalah sudah diamankan."
Max berekspresi tidak yakin. "Kau harus ingat siapa Nadine, Sania."
Max memandang Sania dengan sebuah senyum hangat. Sania yang semula santai kini kembali terlihat tegang. Mungkin sedang memikirkan ucapan Max.
"Aku pergi dulu, tapi kau harus mentraktirku kopi sore nanti! Oh, mungkin makan malam juga tidak masalah." Max melambai ringan saat berbalik dan melangkah cepat ke mobil polisi miliknya. Sania membalas lambaian Max ringan sembari tersenyum melihat tingkah Max.
Setelah mobil Max berjalan, Sania menuju mobilnya sendiri, dan tanpa sengaja berpapasan dengan Irfan.
Sania mengabaikan Irfan dan terus melangkah. Tetapi Irfan menghentikannya.
"Sania, aku minta maaf atas apa yang sudah aku lakukan."
Sania berbalik, menatap Irfan heran. Irfan benar-benar tak berdaya dan lesu, tampak kacau dan lebih tua dari usia sebenarnya jika dipandang dari jarak sedekat ini.
"Terimakasih sudah membesarkan Mutiara dan berbesar hati membiarkan Mutiara bertemu denganku."
Sania sedikit sinis menanggapi. "Itu tidak mengubah apapun, Pak Irfan ... fakta bahwa kau sama sekali tidak terlibat dalam membesarkan Mutiara tetap Mutiara ingat sampai kapanpun. Tolong nanti jika Mutiara bosan dengan rutinitas kunjungan, anda bisa memaklumi! Mutiara beranjak dewasa, dia sekarang bukan bayi yang bisa anda lempar ke pinggir jalan dan hanya bisa menangis."
Kembali ingatan memilukan itu muncul di kepala Irfan. Ia sungguh tidak habis pikir dengan pikirannya sendiri waktu itu. Padahal Sania sudah terluka karena perselingkuhannya, masih juga ia tambah dengan penghinaan luar biasa.
"Sania, teror itu aku sama sekali tidak tahu—"
"Tidak mungkin!" potong Sania cepat dan sinis. "Kalian saja saling tahu hasrat gila masing-masing, sampai akhirnya berselingkuh dan kompak menendangku ke jalan, apa kau masih saja mengelak padahal sudah terungkap sejauh ini?"
Irfan menghela napasnya yang terasa sesak. "Aku mengerti jika kau tidak mempercayai ucapanku."
"Stop berkata seolah kau memahami semuanya, Irfan!" Sania tidak suka kata-kata Irfan yang membuatnya muak. Kata-kata itu terdengar seolah dia adalah Nadine yang keras kepala akan keinginannya. Sementara Sania, kukuh berprasangka karena dia trauma oleh perbuatan dua manusia itu. Sania dan Nadine jelas berbeda soal apa yang menjadi hal prinsip dalam hidup mereka.
"Aku mungkin sudah memaafkan perbuatan kamu, tapi aku tidak pernah melupakan luka yang pernah kau buat! Luka itu mengering karena aku jahit sendiri, bekasnya masih ada, dan tidak akan hilang meski aku mati!"
Sania benar-benar pergi dari hadapan Irfan, menyisakan Irfan yang begitu terpukul atas apa yang menimpa hidupnya.
Ia mengerti tidak mudah dimaafkan, tapi ia tetap ingin berdamai dengan Sania. Meski terdengar agak sulit.
...
Sania pulang untuk memastikan bahwa Mutiara baik-baik saja. Ia mempekerjakan asisten rumah tangga yang lama sebab dalam beberapa waktu ke depan, tampaknya ia akan sibuk dengan urusan baru.
Rey mengirimi sebuah email dan segera ia buka di meja makan.
Lumivia lolos menjadi vendor baru Brick Internasional menyisihkan puluhan pesaing lain. Pun dengan brand skincare yang Rey ikuti audisinya kemarin. Savero juga sudah setuju dengan konsep yang Sania ajukan, jadi mereka akan bekerja begitu keras untuk 3 perusahaan ini selama sebulan.
Untuk Brick, Sania memutuskan hadir sendiri. Mungkin yang Nadine lakukan ada hubungannya dengan perusahaan besar ayahnya.
...
Sementara di ruang penyelidikan, Nadine menolak berbicara sampai pengacara datang dan memberikan jaminan uang yang cukup banyak untuk membebaskan Nadine.
"Saya pastikan Nyonya Nadine akan menepati semua ketentuan kepolisian. Anda semua pasti tahu siapa orang tua Nyonya Nadine dan pamannya adalah orang penting di kepolisian!"
Max membuang napas kasar. Jika saja ia presiden, pasti ia akan menghapus bagian ini. Penjahat sekelas Nadine sudah sepantasnya dihukum kurungan seumur hidup tanpa keringanan hukuman sama sekali.
Ketika Nadine dan pengacara ayahnya pergi, Max menyusun kembali semua bukti mengenai keterlibatan paman Nadine, Napoleon Brooch, dalam kasus Sania. Mungkin bisa saja merembet ke kasus lain, yang selama ini ditutup secara sepihak selama Napoleon menjabat.
"Juan, kumpulkan semua kasus yang ditutup secara sepihak selama Napoleon menjabat, kita buka satu-satu, dan kita seret si perut bundar itu ke pengadilan!"
Juan mengangguk tanpa bertanya dua kali, sebelum kembali ke mejanya.
Max mengambil rokok dan menyalakannya. Meski ia harus bekerja puluhan ribu kali lebih keras, tapi tidak menjadi masalah. Banyak sekali orang yang menderita karena keserakahan Napoleon. Orang kaya memakai koneksi untuk menutup kasus, imbalannya sangat besar sampai perut Napoleon membengkak seperti wanita hamil 9 bulan.
...
Rumah kosong ketika Nadine tiba. Hanya asisten yang menyambutnya, sementara Irfan tidak kembali ke kantor ataupun ke rumah usai sidang.
"Kau—" tunjuk Nadine pada seorang pelayan. "Semua yang ada di kamar itu, bakar tanpa sisa!"
Kamar yang ia persiapkan dengan menyewa desain interior dua hari lalu kini rasanya hanya akan menjadi duri yang merusak mata. Kamar itu untuk Mutiara, tapi jangankan ke kamar, Mutiara bahkan tidak akan menginjakkan kaki di ruang tamu rumah ini.
"Kemana Tuan pergi?" sambung Nadine kemudian.
"Tuan belum kembali sejak pergi bersama anda tadi pagi, Nyonya!"
"Laki-laki sialan itu!" Nadine meraih ponsel dan menelpon Irfan.
Ketika dijawab, suara musik menghentak, membuat Nadine menjauhkan ponsel dari telinga, lalu mematikannya.
Mata Nadine dipenuhi amarah, lalu ia kembali melangkah keluar dan mengemudi sendiri menuju club langganan sang suami.
...
Aroma parfum dan minuman keras bercampur jadi satu. Denting gelas dan tawa pria wanita memenuhi ruangan. Musik DJ menghentak keras hingga mendebarkan dada.
Irfan duduk di kursi ruang VIP dengan pandangan kosong, urus ke arah ponsel yang sedari tadi digenggamnya. Pikirannya tidak lagi rasional karena pengaruh alkohol yang terlalu banyak ia minum hari ini.
Diantara riuh isi kepalanya, hanya teringat satu nama yaitu Sania. Kadang ia melantur teringat bahwa Sania masih istrinya, namun detik berikutnya, ia ingat Sania sudah diceraikan bertahun-tahun lalu.
Irfan merasa dia hampir gila.
"Tambah lagi, Tuan," ujar seorang wanita yang sejak tadi duduk disebelah Irfan. Ia mengangkat botol minuman dengan kadar alkohol 50%.
Irfan menaikkan gelasnya ke depan mulut botol, lalu setelah terisi setengah ditenggaknya hingga habis.
Di sisi kiri dan kanan Irfan ada lebih dari 5 orang wanita penghibur yang cantik dan mempesona, tetapi Irfan sama sekali tidak tertarik. Sania jauh lebih menarik baginya.
Namun, Sania kini terasa jauh dengan dua pria perkasa di sisinya.
"Isi lagi!" perintah Irfan seraya menoleh ke samping kiri, dimana seorang wanita muda tampak malu-malu didekati oleh Irfan. Mata pria itu lekat menatap wajahnya, bahkan jakun Irfan tampak naik turun seperti sedang menahan hasrat.
Wanita muda itu meraih gelas di tangan Irfan, menyentuh jemari Irfan lembut. "Anda ternyata pria yang kuat, Tuan."
Senyum menggoda dan gerakan yang begitu gemulai, membuat Irfan kerasan menatapnya. Ia membiarkan wanita itu semaunya, bahkan ia biarkan wanita itu menempelkan badannya yang seksi ke tubuhnya.
Ketika bibir Irfan menyentuh tepi gelas, pintu ruangan yang ia pesan didobrak dari luar. Muncul sosok Nadine disana. Ekspresi wajahnya begitu marah.
"Oh, jadi begini kelakuan kamu jika di club malam?"
Nadine melangkah lebar lalu menarik perempuan yang paling dekat dengan Irfan. "Minggir kau, Jalaaang!"
Wanita itu menjerit ketakutan, tapi masih terdengar menggoda dan manja.
"Berani kau mengganggu laki-laki milik orang lain!" Nadine menjambak rambut wanita itu dan menghempaskan wanita itu ke dinding. "Dasar wanita murahan! Enyah kau ke neraka!"
tp gk apa2 sih kl mau cerai juga, Nadine pasti nyesek🤣
Sifat dasar Nadine suka menghancurkan. Bukan hanya benda, pernikahan orang lainpun dihancurkan.
Dan sekarang rumahtangganya mengalami prahara akibat ulahnya yang memuakkan.