Blurb:
Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.
Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.
Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.
Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?
Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Pukul dua puluh dua tepat, laju mobil hitam itu melambat, lalu berhenti di sebuah halaman depan rumah megah yang tampak tenang dalam temaram malam. Lampu di beranda menyala sedikit redup, menciptakan bayangan panjang yang menyapu tanah berkerikil.
Pintu mobil terbuka secara perlahan. Mia turun dengan langkah gontai, tubuhnya terasa goyah dan ringan, seolah semua tenaganya telah terkuras habis. Pandangannya buram, berkunang-kunang, dan hawa dingin malam ini hanya memperparah pusing yang sejak tadi ia tahan.
“Aku merasa... sedikit pusing…” bisiknya pelan, nyaris tidak terdengar. Suaranya menguap bersama embusan angin malam yang dingin itu.
Dari sisi pengemudi, Christopher keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hanya satu lirikan yang ia arahkan padanya, sebelum ia melangkah menuju pintu rumah dengan langkah panjang dan penuh keengganan.
Di teras depan, seorang pria paruh baya dengan jas abu gelap sudah berdiri menyambut mereka.
“Tuan Muda,” sapa Paman Jack dengan sopan. “Apakah malam ini Anda akan bermalam di sini?”
Christopher tidak menghentikan langkahnya. Ia menjawab dengan datar, tanpa menoleh ke arahnya serta tanpa memberi kehangatan apa pun dalam intonasinya.
“Iya.”
Setelah itu, ia langsung menaiki tangga menuju lantai atas, menuju ruang belajar, ruangan yang entah mengapa terasa lebih nyaman baginya daripada kamar tidur dimana pun.
Mia hanya bisa berdiri di tempatnya, dan membiarkan udara malam menyesap tubuhnya yang semakin melemah. Ia menatap punggung Christopher yang perlahan menghilang di balik sudut tangga.
“Aku yakin… dia mengira aku berpura-pura tidur tadi,” gumamnya dalam hati dengan getir.
Pandangan Mia tertunduk. Bibirnya sedikit bergetar, namun tidak satu pun air matanya jatuh menetes. Ia tidak menangis, hanya diam, karena menahan luka yang tidak kasat mata.
“Aku tidak tahu apa yang dikatakan Lusy padanya… sampai-sampai dia sangat membenciku seperti ini…”
Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, seolah tanah ini sedang menarik tubuhnya ke bawah. Namun ia tetap lanjut melangkah. Tubuhnya mungkin merasa lelah, tapi pikirannya tidak kunjung diam.
“Aku harus lebih berhati-hati… Jangan sampai membuatnya marah lagi…”
Saat hendak melewati ruang belajar, langkah Mia terhenti.
Ia berdiri di depan pintunya, memandangi kayu cokelat tua itu dengan tatapan ragu. Dari balik pintu, samar-samar ia bisa mendengar denting kaca atau suara lembaran kertas, tanda bahwa Christopher memang sedang ada di dalam sana.
Mia menunduk, menekan dadanya yang terasa sesak oleh perasaan yang tidak bisa ia definisikan. Ada dorongan di dalam hatinya, suara kecil yang menginginkan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak bisa akui.
“Dia ada di dalam sana…” batinnya berbisik. “Tapi kenapa… kenapa aku masih saja berharap… dia akan tidur di kamarku malam ini?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, dingin dan sunyi.
Tak ada jawaban. Hanya hening yang menyelimuti malam itu... dan perasaan rindu yang tidak pernah benar-benar Mia izinkan untuk bertumbuh dalam hatinya.
Mia memasuki kamarnya dalam diam. Pintu ditutup dengan pelan, lalu tubuhnya ia hempaskan ke atas tempat tidur tanpa berpikir panjang. Namun, meski tubuhnya terasa letih, matanya tidak kunjung terpejam. Langit-langit kamar menatapnya kembali dalam keheningan, seperti ingin menanyakan apa yang sedang ia pikirkan.
Ia menghela napas panjang.
“Aku tidak bisa tidur…” gumamnya lirih.
Dengan pelan, ia bangkit dari tempat tidur, menyeret kakinya untuk melangkah ke arah meja belajar di pojok ruangan. Ia duduk, lalu membuka laptop yang sudah lama tidak disentuh. Begitu layar sudah menyala, puluhan notifikasi langsung bermunculan, memercikkan cahaya kecil dalam matanya yang tadi sempat redup.
“Banyak pesan yang masuk…” bisiknya dengan raut terkejut.
Dengan jemari sedikit ragu, ia membuka situs musik tempat biasa ia mengunggah karyanya. Deretan komentar penggemar muncul satu per satu, memenuhi layar seperti angin hangat yang menyusup ke ruang beku dalam hatinya.
> “Kapan kau akan merilis lagu baru lagi?”
“Karyamu telah menyelamatkanku di tahun lalu.”
“Kami masih menunggumu kembali!”
Senyum tipis menyembul tulus di wajahnya.
“Mereka... masih ingat aku?” ucapnya pelan, suaranya gemetar karena emosi yang membuncah tiba-tiba.
Namun, matanya lalu terpaku pada satu notifikasi khusus, sebuah pesan pribadi dari pengirim yang tidak asing.
“Dari: ACE Entertainment.”
Ia membaca dengan pelan, lalu napasnya tercekat.
> “Kami tertarik untuk bekerja sama dalam proyek musik terbaru. Kami bersedia membayar dengan harga tinggi.”
Mia terdiam.
“ACE...?” bisiknya tidak percaya. “Itu… salah satu agensi terbesar…”
Seketika kenangan dua tahun lalu melintas di dalam benaknya. Ia pernah menulis lagu untuk label musik asing di bawah naungan UNEnt. Lagu itu memang dirilis di luar negeri, dan sejak saat itu, ia tidak pernah tahu seberapa jauh karyanya melangkah. Ia hanya menulis… lalu menyerahkan semuanya.
Ia memejamkan mata, tangan kirinya menggenggam dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Ada sesuatu yang menekan dadanya, entah luka lama atau keraguan baru.
“Kalau aku menerima tawaran ini… apakah Christopher akan peduli?” tanyanya lirih, nyaris tanpa suara. Ia tahu jawabannya, tapi tetap ingin menanyakannya, hanya sekadar untuk memastikan bahwa hatinya masih punya alasan untuk merindukan seseorang yang tidak pernah benar-benar melihatnya.
Perlahan, Mia menutup laptopnya. Cahaya biru dari layar menghilang, dan kembali meninggalkan kesunyian di dalam kamar itu. Ia menatap ke arah langit-langit lagi, kali ini dengan mata yang berkaca-kaca.
Senyum miris menyusup ke wajahnya.
“Setidaknya… masih ada yang menganggapku layak.”
***
Pukul tiga dini hari. Kamar Mia masih saja terang, satu-satunya sudut rumah yang belum terlelap dalam malam itu.
Mia baru saja menyelesaikan balasan untuk komentar-komentar penggemarnya. Meski matanya mulai terasa berat, senyum tipis itu tetap menghiasi wajahnya. Ia menguap pelan dan melirik ke arah pojok layar laptop.
“Hampir pagi...” bisiknya lirih. “Sepertinya aku harus tidur sekarang.”
Ia menutup laptop dengan perlahan, seperti enggan mengakhiri kehangatan virtual yang sempat mengisi relung hatinya. Ia bangkit dari kursi, Mia berjalan ke arah pintu, lalu membukanya dan berjalan menyusuri lorong.
Cahaya hangat menyambutnya. Rumah terasa sunyi dan senyap, namun lampu-lampu otomatis menerangi jalannya, sesuatu yang sudah diatur oleh Paman Jack, karena ia tahu betul bahwa Mia takut akan kegelapan.
Mia tersenyum samar.
“Paman Jack selalu memperhatikanku,” gumamnya dalam hati, merasa sedikit hangat di tengah malam yang dingin itu.
Langkahnya ringan menuju dapur. Ia mengambil segelas air putih, lalu membuka sebuah lemari pendingin. Pandangannya langsung tertuju pada beberapa potong kue manis buatan Bibi Im yang tersimpan rapi di sana.
“Wah... masih ada kue,” katanya pelan, serta senyum kecil terukir di bibirnya. “Terlihat enak sekali.”
Ia bersandar pada kulkas, lalu menggigit sepotong kue sambil memejamkan matanya. Rasa manisnya perlahan membawa kembali potongan-potongan kenangan yang selama ini ia simpan dengan rapat.
“Aku selalu menyukai rasa manis…” bisiknya dalam hati.
“Dulu... saat Ibu masih ada, kue adalah alasanku bisa tersenyum.”
Kedua tangannya memeluk dirinya sendiri, seperti berusaha menghangatkan luka lama.
“Setelah Ibu tiada… aku bahkan tidak sanggup menatap wajah Ayah lagi…”
Suara lirih lolos dari bibirnya.
“Tapi saat aku membawakannya sepotong kue… entah kenapa, kami bisa berbicara lagi.”
Namun sebelum ia sempat larut lebih dalam, tiba-tiba suara berat dan dingin membuyarkan lamunannya.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Mia tersentak. Punggungnya menegang seketika. Ia menoleh dengan cepat.
Christopher berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kaus hitam dan celana panjang santai. Matanya tampak lelah, namun sorotnya tetap tajam. Wajahnya sedikit sayu, tetapi nada suaranya tetap dingin seperti biasa.
Dengan panik, Mia meletakkan kue ke atas piring dan berdiri tegak, tubuhnya kaku seperti telah tertangkap basah.
“A-aku... tidak bisa tidur. Aku hanya sangat haus dan mengambil minuman,” jawabnya cepat, berusaha terdengar tenang.
Christopher tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengambil gelas dari rak dan mengisi air, lalu menatap Mia sekilas sebelum meneguknya perlahan. Udara di dapur menjadi terasa sunyi, hanya terdengar suara detik jam dinding.
Setelah meneguk air itu, ia menurunkan gelasnya.
“Di mana Paman Jack?” tanyanya, suaranya lebih pelan namun tetap tak berperasaan.
“Suruh dia membawakanku secangkir kopi.”
Mia menelan ludah, dan menatap Christopher dengan ragu.
“Paman Jack sudah tidur... Aku bisa membuatkan kopi untukmu, jika... kau tidak keberatan.”
Lagi-lagi Christopher tidak menjawab. Ia hanya berjalan ke meja makan lalu duduk disana dan memejamkan mata. Karena tidak ada penolakan dan tidak ada isyarat mengiyakan, tapi bagi Mia itu sudah cukup.
Dengan hati-hati, Mia mulai menyeduh kopi dan berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Tangannya sedikit gemetar saat menuangkan air panas ke dalam cangkir.
“Aku tahu dia tidak akan pernah memujiku…” batinnya lirih, lalu menatap punggung pria itu yang kini diam tidak bergerak.
“Tapi setidaknya… dia tidak menolakku kali ini.”
Setelah selesai, Mia meletakkan secangkir kopi panas itu di atas meja, tepat di hadapan Christopher. Gerakannya perlahan dan hati-hati, seakan ia takut jika suara kecil dari cangkir itu saja mampu menyulut amarah pria di depannya.
“Kopinya sudah jadi,” ucapnya lembut.
“Hati-hati... karena masih panas.”
Christopher membuka matanya perlahan. Mata yang biasanya tajam dan tajam kini terlihat merah dan letih. Tapi bukan kelembutan yang Mia temukan di sana, melainkan tatapan kehampaan. Seakan hidup telah mengurasnya hingga tidak menyisakan apapun kecuali bayang-bayang yang menyesakkan.
Mia berdiri terpaku. Ia ingin mengatakan sesuatu. Ia ingin menunjukkan bahwa ia sangat peduli padanya, bukan karena keharusan, tapi karena ia sungguh mengkhawatirkannya.
“Ini sudah hampir pagi...” katanya dengan pelan, hampir seperti bisikan. “Kau sebaiknya tidur dulu. Tubuhmu—”
“Aku tidak butuh kepedulian palsu darimu.”
Kalimat itu begitu tajam dan dingin. Disemburkan dari bibir Christopher dengan kemarahan yang tertahan, seolah hanya menunggu waktu untuk siap meledak. Mia menggigit bibirnya, berusaha tetap tenang meski dadanya mulai sesak.
“Kau tidak akan kembali ke kamar... untuk tidur?” tanyanya dengan hati-hati, berharap masih ada ruang yang bisa ia sentuh di dalam diri pria itu.
Christopher menatapnya tajam, seperti pisau yang hendak menguliti kejujuran yang baru saja ia ungkapkan.
“Kembali ke kamar?” gumamnya lalu tertawa sinis. “Kamar siapa?”
Ia sedikit mendekat. Suaranya merendah, tapi setiap kata yang terdengar terasa menusuk hingga ke dasar hati.
“Trik apa lagi yang sedang kau mainkan, Mia? Jangan lupa... kita akan bercerai.”
Mia menahan napasnya. Ia tidak membalas ucapan itu. Ia tahu, apapun yang ia katakan hanya akan membuat luka itu bertambah lebih dalam.
Christopher lalu berdiri dan melangkah pergi. Pintu dapur ditutup dengan suara keras, hingga menggema di seluruh rumah yang hening.
Mia berdiri sendiri. Tertinggal dalam keheningan yang menggigit.
“Aku tidak ingin membuatmu marah...” bisiknya, hampir tidak terdengar.
“Aku hanya...”
Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Kata-kata yang akan dia keluarkan terasa terlalu berat. Matanya memanas. Mia menunduk, menahan air mata yang akhirnya jatuh juga tanpa suara.
Christopher duduk di depan komputer, tubuhnya condong ke depan, matanya tertuju pada layar. Ia tidak mematikannya seperti biasa. Tangannya malah bergerak membuka situs musik. Tanpa sadar, ia mengetik beberapa huruf yang kini telah menjadi penghibur satu-satunya di dalam hidupnya.
“Lee MM...”
Ia menekan tombol play pada salah satu lagu yang muncul. Musik instrumental mulai mengalun dengan pelan, melodi yang terasa begitu menenangkan, menyentuh, dan terasa sangat akrab di hatinya.
Christopher menyandarkan kepalanya di kursi, dan menutup matanya.
“Semua lagu-lagu miliknya...” gumamnya lirih. “...selalu bisa membuatku merasa tenang.”
Hening sejenak, lalu ia menunduk.
“Aku tidak tahu siapa dirimu, Lee MM... tapi kau adalah satu-satunya yang tahu bagaimana rasanya... tersesat seperti ini.”
Tangannya mengepal di atas paha. Suara musik itu memenuhi ruang belajar, seolah musik itu telah mengisi kekosongan yang tidak bisa disentuh oleh kata-kata. Namun, di balik setiap nada yang mengalun itu, Christopher tidak pernah tahu—
Wanita yang tengah duduk di dapur.
Wanita yang baru saja menangis dalam diam.
Wanita yang ia tolak secara mentah-mentah...
adalah pencipta dari lagu itu.
Sosok di balik nama samaran Lee MM—adalah Mia.
Dan jika saja ia tahu... mungkin malam itu tidak akan berakhir setenang ini.
.
.
.
.
.
.
.
- 𝐓𝐁𝐂 -
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah