NovelToon NovelToon
JATUH CINTA PADA PENCULIKKU

JATUH CINTA PADA PENCULIKKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Gangster / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: julius caezar

Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.

Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 16

Aku harus bisa melarikan diri sejauh jauhnya dari gerombolan ini, pikir Jeane. Tetapi baru sepuluh langkah ia mengayun kakinya ketika didengarnya langkah langkah kaki di belakangnya. Sebuah tangan menyambar sikunya dan Jeane disentak berputar sehingga membuatnya terpelanting dan roboh. Pembunuh Edgar itu berdiri di atasnya. Air mukanya penuh kemarahan dan kegeraman, menuntut pembalasan. Dua orang penunggang kuda yang lain menghentikan kudanya masing masing di sebelah kanan dan kiri Jeane, lalu turun dari kuda masing masing.

    Jeane merangkak mundur, dengan mata yang tidak sekejap pun melepaskan pria bernama Jerome itu. Dengan susah payah ia berusaha berdiri, sedangkan pria itu dengan sikap mengancam berjalan mendekatinya. Ke dua pria lainnya, yang barusan turun dari kuda masing masing juga bergerak mendekati Jeane, menyambar lengan lengannya, kanan dan kiri, menahannya. Jeane berusaha membebaskan diri, menendang, menyepak, menggigit tangan tangan yang mencengkeram ke dua lengannya.

    Tiba tiba Jeane merasa dirinya dilepaskan. Tidak menunggu untuk bertanya mengapa ia dilepaskan, seketika itu juga dia berbalik dan lari lagi. Selama pergumulannya tadi, para penunggang kuda yang lain telah membentuk sebuah lingkaran mengelilingi Jeane.

    Dengan napas memburu karena kelelahan dan kepanikannya, Jeane berbalik lagi, kesal dan waspada, tetapi ia tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya. Matanya memandang langsung pada pria kurus yang menjadi pemimpin rombongan itu. Air muka pria tu tertutup dan tidak acuh. Pandangan matanya yang kelam itu ditujukan pada buah dada Jeane yang telanjang dan bergelombang naik turun seirama napasnya, memperhatikan blus yang robek dan terbuka itu. Reflek, Jeane mengangkat ke dua tangannya untuk menutupi ketelanjangan dirinya.

    Melihat gerak defensif yang dilakukan Jeane, mulut pria itu bergerak gerak seolah menertawakan usaha Jeane untuk menyembunyikan sesuatu yang telah dilihat oleh semua mata. Setelah turun dari kudanya, pria itu melepaskan sesuatu dari pelananya. Kelihatannya seperti sebuah selimut dan tali lasso. Jeane bergetar, tetapi juga tidak mau meperlihatkan kepanikannya ketika pria itu berjalan mendekat.

    Pria itu ternyata tidak kurus sebagaimana yang disangka Jeane. Dia jauh lebih jangkung dan bertubuh lebar. Matanya yang sulit dijajagi itu sesaatpun tidak meninggalkan wajah Jeane.

    Pria itu berhenti di depan Jeane dan membentangkan sehelai serape, Serape itu diangkatnya di atas kepala dan dikenakannya pada Jeane. Ujung ujungnya dilewatkan melalui lingkaran ke dua lengan Jeane lalu menarik tangan dan lengan Jeane ke bagian luar kain itu.

    Pria itu dengan suara rendah mengatakan sesuatu dalam bahasa Spanyol kepada Jeane, nadanya berolok olok. Jeane merasa darahnya mengalir deras dan panas dalam tubuhnya, syaraf syarafnya juga tegang karena sangat dekat dengan bahaya berujud pria itu.

    Tali lasso itu kemudian dikenakan melingkari bahu Jeane, lalu turun ke pinggangnya. "Kau mau apa?" Jeane terengah engah bertanya. Lalu mengalihkan pandangan matanya dari wajah penuh misteri itu kepada satu satunya orang yang dapat menjelaskan semua itu kepadanya. "Mengapa dia melakukan ini padaku?" tanyanya kepada pria Amerika itu.

    "Kau demikian bernafsu mau melarikan diri," jawab pria Amerika itu acuh tak acuh. "Maka diputuskan untuk memberikan kesempatan kepadamu untuk sedikit bergerak badan."

    Kepala Jeane menyentak kembali kepada sepasang mata kelam yang berkilat kilat itu. Sambil memegang ujung tali lasso itu, pria itu berjalan kembali kepada kudanya, lalu menaikinya. Sejenak ia duduk di atas pelana kudanya sambil memandang wajah Jeane yang tampak pucat. Kemudian ia memerintahkan kudanya untuk berjalan. Tali lasso itu mulai merentang ketat, dan Jeane cuma mempunya pilihan untuk berjalan mengikuti kuda itu atau diseret.

    Ke dua duanya adalah lebih baik daripada sentuhan menjijikkan dari pria pembunuh Edgar. Jeane memilih berjalan. Ke dua tangannya yang masih terikat itu menangkap lasso yang menarik dirinya, menggunakannya sebagai penyeimbang.

    Satu kilometer, dua kilometer, lebih...... Kakinya terasa bagai beban berat yang harus dilangkahkannya di atas tanah keras tidak rata itu. Debu yang memadati udara harus dihirupnya, karena debu itu terangkat dari tanah oleh kuda dan penunggangnya yang berjalan di depan. Peluh membuat rambutnya menempel pada lehernya. Wajahnya coreng moreng dengan debu dan keringat yang bercampur menjadi satu.

    Jeane memaksa dirinya berjalan terus, melampaui batas ketahanannya yang akan berujung maut. Ia semakin sering tersandung dan sempoyongan pada langkah langkah berikutnya, tetapi dia dikuatkan oleh kebencian pada pria berbahu lebar yang memegang ujung tali itu.

    Di atas segundukan rumput, Jeane tergelincir dan terjatuh di atas lututnya. Dalam posisi demikian tali itu menyeretnya di atas tanah kasar. Suatu jeritan kesakitan meluncur dari bibirnya setelah ia terseret hampir tiga meter sebelum tali itu mengendor.

    Sepasang sepatu bot penuh debu muncul dalam penglihatannya yang kabur. Dengan kesal Jeane mengangkat kepalanya. Wajah berjenggot dan penuh kejantanan dari pria penyiksanya seolah berenang dalam penglihatan matanya yang kabur karena air mata.

    Pria itu berdiri tinggi bagai menara. Sebuah kirbat berada di tangannya. Pria itu membuka tutup kirbat itu dan menawarkannya kepada Jeane. Jeane merasa tenggorokannya kering, bibirnya pecah pecah dan bengkak kekeringan.

    Sejenak lamanya Jeane memandang kirbat itu. Dilihatnya wajah kurus dan kelam itu. Jeane berusaha mendapatkan setetes ludah dalam mulutnya, untuk diludahkan ke wajah penyiksanya. Suatu usaha yang didorong oleh kebencian yang sangat......

    Pria itu memandangnya sejenak, kemudian sambil mengangkat bahu tangannya membawa kirbat itu ke mulutnya sendiri. Bunyi air mengalir dari tempat minum itu menyiksa Jeane hingga ke batas kegilaan, tubuhnya yang haus menjerit jerit melibat basahnya mulut pria itu ketika kirbat diturunkan. Harga diri seolah menguap dalam kehausan yang sangat. Seandainya pria itu menawarkannya lagi, Jeane pasti mau menerimanya dalam kegilaan.....

    Tetapi pria itu menutup kembali kirbat itu dan melangkah kembali kepada kudanya. Sambil menahan tangis, Jeane memandang punggung pria itu. Nyaris dikorbankannya harga diri dan menyerah pada pimpinan gerombolan bandit itu, yang menyanderanya tanpa mengenal ampun.

    Saat ini Jeane sudah berada di tepi histeria. Otak dan tubuhnya yang kelelahan cuma memerlukan suatu dorongan kecil untuk tergelincir ke dalam jurang histeria. Ia cuma dikuatkan oleh naluri untuk bertahan hidup, naluri itu pula yang membuatnya bertahan tegak.....

    Mata Jeane menyapu tempat mereka berada saat ini. Para penunggang kuda itu telah berhenti dan turun dari kuda masing masing, mengistirahatkan kuda dan diri mereka. Ya, mereka beristirahat bukan karena Jeane sudah tidak mampu melangkahkan kakinya sama sekali. Mereka berhenti di situ untuk mengistirahatkan kuda mereka.

    Jeane mengangkat mukanya, memandang garis pegunungan pada kaki langit itu, dengan matahari yang menyilaukan berada di atasnya. Lereng lereng pegunungan itu seolah tenggelam dalam bayangannya sendiri, mejadikannya tampak gelap dan menakutkan. Pegunungan itu tampak lebih dekat dari sebelumnya. Ataukah itu cuma khayalnya dalam kelelahan yang amat sangat itu? Sejak tadi mereka berjalan terus menanjak. Udara yang makin tipis juga menjelaskan mengapa pernapasannya memburu.

    Jeane menundukkan kepala, memejamkan mata. Ia sudah terlalu letih untuk berpikir. Rasanya diperlukan seluruh tenaga agar paru paru dan jantungnya tetap bekerja. Dalam keadaan setengah sadar dia mendengarkan pukulan denyut nadinya.

    Tidak ada bunyi lain yang memasuki pendengarannya...... juga tidak suara samar samar yang seperti berunding dalam bahasa yang asing baginya. Tidak terdengar ketukan kaki kaki kuda atau sabetan sabetan ekornya untuk mengusir lalat. Tidak ada apa apa yang menembus kabut yang menyelimuti panca inderanya, kecuali bunyi yang meyakinkan bahwa ia masih hidup.....

1
Atikah'na Anggit
kok keane...
julius: Barusan sudah diperbaiki kak. thx
julius: waduh... salah ketik. Mohon maaf ya kak? Terima kasih koreksinya, nanti segera diperbaiki 👌
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!