NovelToon NovelToon
Paket Cinta

Paket Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Chicklit / Enemy to Lovers
Popularitas:793
Nilai: 5
Nama Author: Imamah Nur

Kabur dari perjodohan toksik, Nokiami terdampar di apartemen dengan kaki terkilir. Satu-satunya harapannya adalah kurir makanan, Reygan yang ternyata lebih menyebalkan dari tunangannya.

   Sebuah ulasan bintang satu memicu perang di ambang pintu, tapi saat masa lalu Nokiami mulai mengejarnya, kurir yang ia benci menjadi satu-satunya orang yang bisa ia percaya.

   Mampukah mereka mengantar hati satu sama lain melewati badai, ataukah hubungan mereka akan batal di tengah jalan?

Yuk simak kisahnya dalam novel berjudul "Paket Cinta" ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15. Jujur

Kata-kata itu tumpah begitu saja, meninggalkan Nokiami dengan mulut yang sedikit terbuka dan dada yang terasa kosong melompong. Pengakuan itu, yang selama ini ia kunci rapat-rapat di sudut tergelap hatinya, kini menggantung di udara sempit di antara dirinya dan Reygan, di dalam celah pintu lift yang membeku. Aroma mentol dari tabung salep di tangannya terasa menusuk lebih tajam, seolah menggarisbawahi setiap suku kata yang baru saja ia ucapkan.

Keheningan yang menyusul terasa lebih memekakkan daripada sirene alarm kebakaran. Pintu lift, yang tadinya hendak menutup, kini diam tak bergerak, seolah mesin itu pun ikut menahan napas. Satu-satunya suara adalah deru samar mekanismenya dan detak jantung Nokiami yang berdebar liar di rongga telinganya, sebuah genderang perang melawan penyesalan yang mulai merayap.

Reygan tidak bergerak. Pria itu berdiri kaku di dalam kotak logam, bahunya yang lebar membingkai celah sempit itu. Tangannya yang tadi terangkat untuk menekan tombol kini membeku di udara, beberapa sentimeter dari panel baja. Matanya yang biasanya tajam dan penuh cemoohan kini kosong, menatap lurus ke arah Nokiami tetapi seolah menembus dirinya, melihat sesuatu yang lain. Sebuah gambar, sebuah kenangan, sebuah pemahaman yang baru saja menghantamnya dengan kekuatan lokomotif.

Nokiami bisa melihat otot di rahang Reygan menegang, berkedut sekali. Ia melihat cara matanya sedikit menyipit, seolah mencoba memfokuskan kembali pandangannya pada kenyataan yang baru saja berubah bentuk. Topeng kurir pemarah yang selalu ia kenakan kini retak, memperlihatkan lapisan di bawahnya yang tidak pernah Nokiami duga ada. Bukan kelembutan, bukan pula simpati yang meluap-luap, melainkan sesuatu yang lebih mentah yaitu kebingungan murni.

Nokiami menelan ludah, rasa pahit memenuhi mulutnya. Ia sudah siap untuk apa pun. Hinaan. Ejekan. Sebuah komentar pedas tentang bagaimana ia pantas mendapatkannya, atau tuduhan bahwa ia hanya mencari perhatian. Ia sudah melatih dirinya selama bertahun-tahun untuk menerima serangan verbal semacam itu. Namun, keheningan ini ... keheningan ini adalah sebuah siksaan yang berbeda. Ini adalah ruang hampa di mana ia tidak tahu harus membangun pertahanan seperti apa.

“Lupakan saja,” bisik Nokiami akhirnya, suaranya serak. Ia ingin menarik kembali kata-katanya, menelannya bulat-bulat, menguncinya lagi di tempat yang aman.

“Aku … aku tidak seharusnya mengatakan itu. Itu Bukan urusanmu.”

Gadis itu mulai mundur selangkah, berniat menutup pintu dan mengakhiri interaksi yang terasa seperti menguliti diri sendiri di depan umum ini.

“Tunggu.”

Suara Reygan rendah, nyaris seperti geraman, tetapi tidak ada amarah di dalamnya. Hanya sebuah perintah pelan yang menghentikan gerakan Nokiami seketika.

Ia masih tidak menatap Nokiami sepenuhnya. Pandangannya turun ke tabung salep yang masih tergenggam erat di tangan gadis itu, lalu ke pergelangan kakinya yang bengkak, dan kembali ke wajahnya yang pucat. Seolah ia sedang merangkai kepingan-kepingan teka-teki yang selama ini berserakan. Tentang ulasan bintang satu yang penuh amarah, pesanan makanan yang tidak menentu, permintaan tolong untuk galon air, kebohongan ‘tunangan’ di lobi. Semuanya kini memiliki konteks baru yang suram.

“Jadi … semua ini,” Reygan memulai, suaranya masih serak, seolah ia harus memaksa pita suaranya untuk bekerja.

“Persembunyianmu ini bukan karena kau bangkrut atau diusir keluarga?”

“Bukan,” jawab Nokiami pelan.

“Aku punya cukup uang. Untuk sementara.”

“Dan kakimu ….”

“Aku tersandung koperku sendiri saat buru-buru kabur,” aku Nokiami, rasa malu kembali membakar pipinya. “Sangat tidak dramatis, aku tahu.”

Reygan akhirnya menghela napas, napas panjang dan berat yang seolah melepaskan seluruh udara dari paru-parunya. Ia menurunkan tangannya yang membeku dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya. Gerakan itu terasa sangat lambat, sangat hati-hati. Ia melangkah keluar dari lift, membiarkan pintunya menutup di belakangnya dengan suara desisan lembut.

Kini mereka kembali berdiri di koridor yang remang, hanya berdua. Situasinya terasa lebih intim, dan jauh lebih menakutkan.

“Kenapa?” tanya Reygan.

Nokiami mengerutkan kening. “Kenapa apanya? Kenapa aku kabur?”

“Bukan.” Reygan menggeleng pelan, matanya akhirnya menatap lurus ke mata Nokiami. Tatapannya begitu intens hingga Nokiami merasa seolah sedang diinterogasi di bawah lampu sorot.

“Kenapa kau memberitahuku?”

Pertanyaan itu menusuk langsung ke inti masalah, melewati semua detail tentang Leo, lari, dan salep sialan itu. Pertanyaan itu bukan tentang ceritanya, melainkan tentang dirinya. Tentang Reygan.

Nokia terdiami. Kenapa ia memberitahunya? Ia tidak punya jawaban yang bagus. Ia bisa saja berbohong, mengatakan bahwa ia hanya butuh seseorang untuk meluapkan isi hatinya. Tetapi di hadapan tatapan Reygan yang menuntut kejujuran itu, kebohongan terasa sia-sia.

“Aku tidak tahu,” jawabnya jujur, suaranya nyaris berbisik.

“Mungkin … mungkin karena kamu yang ada di sini.”

“Banyak orang yang ada di sini. Ada petugas keamanan. Ada Bu Ratna si biang gosip. Kenapa aku?” desak Reygan, nadanya bukan menuduh, melainkan benar-benar ingin tahu. Seolah ia sedang memecahkan sebuah algoritma yang rumit.

“Karena …,” Nokiami mencari kata-kata yang tepat, “karena kamu memberikan salep itu.”

Reygan tampak bingung. “Aku sudah bilang itu jatuh.”

“Kita sama-sama tahu itu bohong,” potong Nokiami.

“Kamu melakukan sesuatu yang baik dengan cara yang paling canggung dan menyebalkan. Kamu mencoba menolong tapi berpura-pura tidak peduli. Itu … itu membuatku marah. Dan saat aku marah, aku tidak bisa berpikir jernih.”

Ia menarik napas, melanjutkan penjelasannya yang berantakan. “Dan kamu … kamu satu-satunya orang yang melihatku dalam kondisi paling buruk. Terkilir, panik, ketakutan di lobi. Kamu sudah tahu aku berantakan. Jadi, rasanya tidak ada lagi yang perlu disembunyikan darimu.”

Pengakuan itu terasa lebih memalukan daripada pengakuan tentang Leo. Mengakui bahwa ia, entah bagaimana, telah menaruh secuil kepercayaan pada musuh bebuyutannya.

Reygan mendengarkan setiap kata dengan saksama. Wajahnya masih sulit dibaca, tetapi cemoohan yang biasanya menghiasi bibirnya telah lenyap sama sekali. Ia bersandar di dinding koridor, melipat tangannya di dada, sebuah pose defensif yang kontras dengan tatapannya yang terbuka.

“Jadi, karena aku memberimu salep murahan, kau memutuskan untuk membebaniku dengan rahasia pelarianmu dari tunangan psikopatmu? Transaksi yang aneh,” gumamnya, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Nokiami. Ada sedikit sarkasme di sana, sisa-sisa dari dirinya yang lama, tetapi tidak ada gigitannya.

“Aku tidak membebanimu!” balas Nokiami cepat, merasa tersinggung. “Aku hanya menjelaskan. Kamu tidak perlu melakukan apa-apa. Lupakan saja semua yang kukatakan. Anggap saja aku mengigau.”

Ia berbalik, kali ini benar-benar berniat masuk ke dalam apartemennya dan mengunci pintu. Cukup sudah. Ia telah mempermalukan dirinya sendiri.

“Aku tidak bilang murahan,” kata Reygan tiba-tiba, suaranya kembali menghentikan langkah Nokiami.

Nokia menoleh, menatapnya dengan tidak mengerti. “Apa?”

“Salep itu,” lanjut Reygan, matanya tertuju pada tabung di tangan Nokiami. “Aku tidak bilang itu salep murahan. Itu salep mahal. Aku tahu harganya.”

Jantung Nokiami berdebar sedikit lebih kencang. Jadi, ia mengakuinya. Secara tidak langsung, ia mengakui bahwa ia sengaja membelinya.

“Lalu kenapa?” bisik Nokia. “Kenapa repot-repot?”

Reygan terdiam sejenak, tatapannya menerawang, seolah sedang menimbang sesuatu yang sangat berat di dalam benaknya. Perang di dalam dirinya terlihat jelas di wajahnya. Antara instingnya untuk lari dari segala bentuk kerumitan emosional dan sesuatu yang baru, sesuatu yang belum bisa ia beri nama, yang dipicu oleh pengakuan Nokiami.

Akhirnya, ia mendorong tubuhnya dari dinding. Ia berjalan mendekat, bukan dengan langkah tergesa-gesa seperti biasanya, tetapi dengan perlahan dan penuh pertimbangan. Ia berhenti tepat di depan Nokiami, begitu dekat hingga Nokiami bisa merasakan hawa dingin dari jaketnya yang basah oleh gerimis di luar.

Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengulurkan tangannya, bukan untuk mengambil kembali salep itu, tetapi ia membuka telapak tangannya. Sebuah isyarat tanpa kata.

Bingung, Nokiami ragu-ragu meletakkan tabung salep itu di telapak tangannya. Jari-jari mereka bersentuhan selama sepersekian detik, sebuah sengatan kecil dari kehangatan kulit di tengah dinginnya koridor.

Reygan mengambil tabung itu, memutarnya di antara jari-jarinya. Matanya tidak lagi menatap Nokia, melainkan fokus pada tulisan Athlon-Rub di kemasan itu.

“Kau tahu,” ucapnya dengan suara rendah dan datar, “ada alasan lain kenapa aku memilih merek ini.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!