Sebuah jebakan kotor dari mantan kekasih memaksa Jenara, wanita karier yang mandiri dan gila kerja, untuk melepas keperawanannya dalam pelukan Gilbert, seorang pria yang baru dikenalnya. Insiden semalam itu mengguncang hidup keduanya.
Dilema besar muncul ketika Jenara mendapati dirinya hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Gilbert, namun ia menyimpan rahasia kelam. Sejak remaja, ia didiagnosis mengidap Oligosperma setelah berjuang melawan demam tinggi. Diagnosis itu membuatnya yakin bahwa ia tidak mungkin bisa memiliki keturunan.
Meskipun Gilbert meragukan kehamilan itu, ia merasa bertanggung jawab dan menikahi Jenara demi nama baik. Apalagi Gilbert lah yang mengambil keperawanan Jenara di malam itu. Dalam pernikahan tanpa cinta yang dilandasi keraguan dan paksaan, Gilbert harus menghadapi kebenaran pahit, apakah ini benar-benar darah dagingnya atau Jenara menumbalkan dirinya demi menutupi kehamilan diluar nikah. Apalagi Gilbert menjalani pernikahan yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima Belas
“Oleh-oleh, Kak! Mana oleh-oleh dari London?” tagih Kinara, berbinar.
Jenara menyentuh kepala Kinara. “Tentu saja ada.”
Alexa, yang berada di belakangnya, sigap mengambil beberapa bungkusan dari bagasi.
“Wah, banyak sekali, Kak!” seru Kinara, matanya terbelalak melihat kotak-kotak bermerek. Ia membuka sebuah kotak berwarna burgundy. “Tas Mulberry? Bagus sekali!” Kinara lalu membuka sebuah kotak berwarna hitam. Kotak itu berisi kalung emas bermata biru yang sangat cantik. “Kak, ini sangat mahal!” Kinara terharu.
Jenara mengacak-acak rambut adiknya. “Apapun untuk kamu, Sayang. Suka?”
Kinara mengangguk dengan senang. Kalung emas bermata biru itu memang sangat cantik.
“Jenar, jangan terlalu memanjakan Kinara dengan barang-barang mewah, nanti dia kebiasaan,” ucap Widya, kekhawatiran terlihat di wajahnya.
Jenara berhenti berjalan. Ia menoleh perlahan ke arah Widya, tatapannya tajam dan menghakimi.
“Tante tak perlu berkomentar tentang hal itu. Saya punya hak penuh atas apa yang saya berikan pada adik saya.”
Jenara melangkah melewati Widya, memasuki rumah ayahnya. Kondisinya masih sama dengan terakhir kali dia pergi, klasik dan mewah.
Ayahnya sudah menunggu di ruang tengah, duduk di sofa kulit dengan buku filosofi di tangan. Arya menutup bukunya saat melihat Jenara.
“Jenara. Syukurlah kamu pulang. Ayah ingin bicara—”
Jenara tak ingin berlama-lama. Ia tidak ingin membahas masalah Albani atau masa lalunya. Ia langsung mengutarakan maksud kedatangannya.
Jenara langsung menyimpan map merah itu di depan meja. Map itu berisikan dokumen yang sudah dicetak rapi.
“Tolong segera tandatangani. Aku tidak punya banyak waktu,” ucap Jenara, cuek, seolah sedang berhadapan dengan salah satu manajernya.
Arya mengernyitkan dahi. Sopan santun Jenara benar-benar hilang.
“Apa kamu tidak memiliki sopan santun, Jena! Apa maksud kamu!” Arya sedikit kesal.
Arya mengambil map itu dan membaca isinya. Ekspresi terkejut di wajahnya perlahan berubah menjadi amarah. Isi dokumen itu adalah surat kuasa penyerahan perwalian pernikahan.
“Jenara Sanjaya! Apa kamu sudah tidak menganggap saya sebagai ayah kamu, hah! Apa maksudnya ini!” teriak Arya, nadanya tinggi. Widya berusaha menenangkan Arya agar tidak marah kepada Jenara.
Jenara memasang ekspresi datar. “Saya akan segera menikah. Jadi, tolong tandatangani saja surat itu. Dengan begitu, Anda tidak perlu repot-repot datang ke pernikahan saya. Lebih efisien, bukan?”
“Menikah? Dengan siapa? Kamu ini tunangan Albani, Jenara! Jangan macam-macam!”
“Tunangan? Sejak kapan? Bahkan saya tidak pernah menyetujui pertunangan apapun. Jika Anda mau, silahkan Anda saja yang bertunangan. Ini hidup saya, jangan coba mengatur,” balas Jenara, angkuh. Ia tidak membiarkan Arya mendominasi.
“Jenara!” Amarah Arya sudah tidak terkendali. Ia mengangkat tangannya, hendak menampar Jenara.
Tiba-tiba, Widya berhasil mencegah Arya. Ia memegang lengan suaminya kuat-kuat. “Mas Arya, jangan! Kendalikan dirimu!”
Pada saat yang bersamaan, Jenara tiba-tiba merasakan mual yang luar biasa. Perutnya bergejolak, rasanya ada yang ingin keluar dari perutnya.
Jenara tanpa pikir panjang berlari ke area dapur menuju wastafel. Ia memuntahkan semua sisa martabak manis dan rendang yang tadi ia makan dengan rakus.
Huekk... Huekk... Huekk
Rasa mual menyergap, hampir menguras seluruh tenaga Jenara.
Alexa yang baru selesai mengurus barang bawaan, sigap menemani Jenara. Alexa memijit tengkuk belakang Jenara agar lebih relaks, sementara Jenara terus muntah.
Di ruang tengah, Widya yang melihat Jenara mual dan mendengar keinginan Jenara yang tiba-tiba akan menikah, memikirkan satu kesimpulan yang mengerikan.
Widya berjalan mendekat ke Jenara, nadanya berubah menjadi lemah lembut. Dia tidak menghakimi, hanya sekadar ingin tahu.
“Jen,” tanya Widya, suaranya pelan. “Kamu hamil?”
Jenara menyeka mulutnya kasar, menatap Widya dengan tatapan jijik. “Kalau iya, memang kenapa? Merasa malu?”
Jawaban Jenara yang arogan dan menantang itu terdengar jelas di telinga Arya. Emosi Arya, yang baru saja berhasil dikendalikan Widya, kembali meledak.
Arya melepaskan diri dari pegangan Widya. Ia berjalan cepat, dan saat mencapai Jenara, ia langsung mendaratkan tamparan keras di wajah Jenara.
Plakkk!
Suara tamparan itu begitu keras. Saking kerasnya, bibir Jenara sobek dan mengeluarkan darah. Jenara terhuyung ke belakang, wajahnya menoleh ke samping.
“Mas Arya! Jangan kelewatan! Dia anakmu, Mas!” teriak Widya, syok.
“Tapi dia sudah membuat keluarga ini malu!” balas Arya, matanya merah karena amarah.
Widya kembali berusaha mengendalikan situasi. “Sabar dulu, Mas. Dengarkan penjelasan Jenara.”
Jenara mengangkat kepalanya, air mata yang tertahan karena rasa sakit dan amarah kini terlihat di matanya, tetapi ia menolak membiarkannya jatuh. Ia menatap Widya dengan kebencian.
“Tante tidak perlu mencari muka,” Jenara meludah, sedikit darah ikut keluar. “Saya tahu Anda sedang mengejek saya karena hamil di luar nikah. Anda pasti sangat senang.”
“Tidak, Jen! Tante tidak bermaksud seperti itu! Tante hanya khawatir!” Widya maju selangkah, tetapi Jenara mundur.
Arya, yang masih dipenuhi amarah, berteriak. “Katakan! Siapa yang menghamili kamu? Siapa bajingan yang berani menyentuh anakku!”
“Tidak perlu tahu!” jawab Jenara, membentak balik. “Sekarang cepat tanda tangani surat penyerahan perwalian itu! Aku sudah tidak banyak waktu!”
“Jenara!” Amarah Arya tak lagi terbendung. Khawatir Arya akan bertindak lebih jauh, Widya segera mendorong tubuh Arya masuk ke kamarnya, mengunci pintu. “Tunggu di dalam, Mas! Biarkan aku yang bicara dengan Jenara!”
Jenara, yang masih merasakan sakit dan pusing, berjalan meninggalkan dapur. Ia menuju kamar yang dulu. Kamarnya masih sama, bersih, dan rapi, seolah setiap hari dibersihkan.
Tak lama kemudian, Kinara masuk ke kamar Jenara. Kinara, yang sifatnya selalu ingin tahu, juga mendengar keributan dan tebakan Widya. Ia duduk di samping Jenara yang sedang mengompres pipinya.
“Kak, pipimu kenapa?” tanya Kinara, nadanya khawatir.
“Bukan apa-apa. Hanya kecelakaan kecil,” elak Jenara, suaranya serak.
Kinara menghela napas. “Aku tahu itu Ayah. Dan aku juga tahu… Kakak hamil, kan?”
Jenara menatap Kinara. Ia tidak bisa berbohong pada gadis ini. Ia mengangguk pelan.
“Ya. Kakak hamil,” jawabnya jujur.
Kinara memeluk Jenara erat. “Oh, Kakak! Kenapa tidak bilang? Aku akan selalu di pihak Kakak! Aku akan membantu Kakak!”
Kinara melepaskan pelukan. Wajahnya yang polos kini dipenuhi amarah.
“Kak, siapa yang sudah menghamili kamu? Pria brengsek mana yang bersikap kurang ajar dengan kakak kesayanganku? Akan aku sunat burung jahanamnya nanti!” ujar Kinara, matanya berkaca-kaca karena marah.
kesian anaknya kalo kenapa2 😭
btw jen, dia suamimu loo, bapak dari si bayi 😌