NovelToon NovelToon
DIARY OF LUNA

DIARY OF LUNA

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Cintapertama / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:616
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."

Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PEMBENARAN YANG SIA-SIA

Jam istirahat baru saja dimulai. Suara langkah-langkah siswa bergema di lorong, sebagian menuju kantin, sebagian lagi bercengkerama di halaman sekolah. Namun di tengah hiruk-pikuk itu, Arga justru melangkah ke arah yang berlawanan—menuju ruang BK yang terletak di ujung koridor lantai dua.

Tangannya terasa dingin, tapi langkahnya mantap. Ia berhenti di depan pintu berpelitur cokelat muda, menatap papan nama bertuliskan Bimbingan Konseling yang sedikit miring di atas kusen.

Dengan napas pelan, Arga mengangkat tangan dan mengetuk pintu tiga kali. Suara ketukan itu terdengar tegas, tapi mengandung ragu yang samar.

"Masuuuk!" Suara dari dalam menyambut.

Arga menggoyangkan daun pintu perlahan, lalu menyeretnya ke dalam. Suara engsel yang berdecit pelan terdengar, memecah keheningan di ruangan itu. Bau khas ruangan tertutup—campuran antara kertas, spidol, dan udara dingin dari pendingin ruangan—langsung menyambutnya.

“Permisi, Bu…” Suaranya terdengar pelan namun jelas. “Saya Arga, boleh saya masuk?”

“Silakan,” Ucap Bu Yanti lembut sambil berdiri dari balik mejanya. Langkahnya tenang saat ia berjalan menuju sofa di sudut ruangan, lalu duduk terlebih dahulu. Dengan isyarat tangan yang ramah, ia mempersilakan Arga untuk duduk di sofa seberang. "Ada apa Arga? Kamu... siswa baru di sekolah ini, bukan? Apa ada keluhan?"

Arga yang terduduk disana, meremas jemarinya sendiri di pangkuan, berusaha menenangkan diri dari perasaan gusar yang belum reda sejak pertengkarannya bersama Angel tadi pagi.

Bu Yanti menatapnya penuh perhatian, senyumnya tipis namun menenangkan. “Sekarang, coba kamu ceritakan pelan-pelan, ya. Ada apa, Arga?"

Arga menelan ludah, suaranya terdengar berat ketika akhirnya keluar. “Bu… ada hal yang harus Ibu tahu. Tentang fitnah yang selama ini ditujukan ke Luna.”

Bu Yanti memincingkan sebelah alisnya, Sedikit condong ke depan. Ekspresinya berubah dari lembut menjadi lebih serius, seolah mencoba menelaah maksud di balik kata-kata Arga. "Fitnah?" Ulangnya pelan, nada suaranya penuh kehati-hatian. “Maksud kamu, Arga?”

Arga mengangguk perlahan, menatap lantai sesaat sebelum kembali menatap Bu Yanti. “Iya, Bu. Selama ini semua orang percaya kalau Luna nyuri dompetnya Angel. Tapi itu nggak benar. Semuanya cuma rekayasa.”

Ruangan itu mendadak terasa lebih sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar di antara mereka.

Bu Yanti bersandar sedikit ke sandaran sofa, menatap Arga dengan pandangan tajam namun tenang. “Kamu yakin dengan apa yang kamu katakan ini?”

Arga menarik napas panjang sebelum kembali menatap Bu Yanti. “Saya bukan cuma yakin, Bu… saya denger sendiri gimana mereka ngomongin itu pagi tadi. Dan saya juga udah Ngomong langsung sama Angel.”

Bu Yanti mengerutkan kening, jemarinya saling bertaut di pangkuan.

“Saya nggak tahan lihat Luna terus disalahin. Jadi tadi, sebelum pelajaran dimulai, saya datangi mereka di lorong belakang kelas. Angel sendiri yang ngaku kalau semua itu cuma rencana supaya orang-orang percaya Luna pencuri.”

Hening sejenak. Bu Yanti menatap Arga lebih dalam, sorot matanya menelusuri ketulusan di wajah murid itu. “Kamu sadar, Arga, kalau yang kamu bilang ini bisa jadi hal besar?”

Arga mengangguk pelan. “Saya tahu, Bu. Tapi saya nggak bisa diem lagi. Luna nggak pantas diperlakukan kayak gitu.”

Hening sesaat menyelimuti mereka. Arga masih menunduk, menunggu tanggapan, sementara Bu Yanti hanya diam menatap meja di depannya. Detik berlalu perlahan, hingga akhirnya ia mengembuskan napas pendek dan bersuara.

“Urusan ini,” ucap Bu Yanti datar, “sudah Ibu anggap selesai.”

Arga mengangkat wajahnya, keningnya berkerut. “Selesai?” Ulangnya terkejut dan tak percaya.

Bu Yanti menautkan jemari di atas lutut, suaranya terdengar lebih tegas. “Dan satu lagi, Arga. Ini bukan urusan kamu. Ibu harap kamu tidak ikut campur lebih jauh.”

Suasana di ruangan itu berubah menegang. Arga menatapnya tak berkedip, ada ketidakpercayaan yang jelas tergambar di matanya. “Ibu tahu, kan, siapa yang salah di sini? Kenapa Ibu diam saja? Ini bukan masalah ikut campur, Bu. Tapi kejujuran itu layak diperjuangkan oleh siapapun tanpa ada pihak yang harus terlibat."

Arga memposisikan duduknya, lebih condong ke arah Bu Yanti dengan tatapan penuh permohonan. "Kalau Ibu tidak bisa mengungkapkan kebenaran ini, biar saya. Tapi saya mohon, Bu. Tolong bu... tolong bersihkan nama baik Luna.”

Bu Yanti memalingkan wajah, menghela napas seolah berusaha menutup pembicaraan. Tapi bagi Arga, sikap itu justru seperti tembok tinggi yang menyembunyikan sesuatu.

Bu Yanti kembali menatap Arga, kali ini lebih tajam dari sebelumnya. "Arga, sekali lagi Ibu bilang... ini bukan urusan kamu."

“Jangan bilang…” Suara Arga menurun, getir dan kecewa bercampur. “Ibu nutupin ini karena Angel anak yayasan? Karena Ibu takut sama mereka?”

“Cukup, Arga,” Kata Bu Yanti, berusaha menahan nada suaranya agar tetap stabil. “Beraninya kamu bicara seperti itu. Kalau memang seperti yang kamu bilang… apa ada bukti untuk menunjukkan itu semua?”

Hening.

Pertanyaan itu menggantung di udara, terasa menampar lebih keras dari suara bentakan. Arga terdiam, matanya perlahan menunduk. Dalam hati, ia mengutuk kebodohannya sendiri—kenapa tadi ia tidak berpikir untuk merekam percakapan Angel dan teman-temannya? Semua terjadi begitu cepat, dibakar oleh emosi, tanpa sempat memikirkan bukti apa pun.

Rasanya perih ketika ia sadar, satu-satunya hal yang ia punya hanyalah kebenaran yang ia dengar sendiri—tanpa saksi, tanpa rekaman, tanpa bukti tertulis.

"Kamu lebih baik keluar dari ruangan Ibu sekarang juga.”

" Bu, tapi..."

"Keluar, Arga!"

Arga terdiam. Suara jam dinding kembali terdengar, berdetak pelan di antara keheningan yang berat. Ia menatap Bu Yanti beberapa detik, seolah masih berharap ada kejujuran yang bisa keluar dari sana—namun yang ia dapati hanyalah pandangan dingin dan datar.

Akhirnya, tanpa sepatah kata lagi, Arga berdiri. Kursi bergeser pelan menimbulkan suara seret di lantai. Ia menatap pintu, lalu melangkah pergi, meninggalkan ruangan yang kini terasa lebih sempit dan sesak dari sebelumnya.

Pintu ruang BK tertutup di belakangnya dengan suara klik pelan, namun bagi Arga, bunyi itu terdengar seperti sebuah keputusan yang menutup harapan.

Ia berdiri di depan pintu beberapa detik, menatap kosong ke arah lantai koridor yang sepi. Suara langkah siswa dari kejauhan terasa jauh berbeda—riang, ringan—sementara dadanya justru terasa berat.

Arga menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan rasa sesak yang menekan tenggorokannya. Udara siang itu hangat, tapi tubuhnya terasa dingin. Ia menatap tangannya sendiri, jemari yang tadi mengepal di depan Bu Yanti kini bergetar halus.

“Bukti…” Gumamnya lirih, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. “Padahal gue udah lihat semuanya dengan mata kepala gue sendiri.

“Haiiishh!” Gerutunya keras sambil mengacak-acak rambutnya sendiri dengan kesal. Rasa frustrasi menumpuk di dadanya, meledak lewat gerakan Tangannya yang tak tahu harus menyalurkan amarah ke mana.

“Sekolah macam apa ini?!” Serunya, suaranya memantul di lorong yang kosong. “Lebih buruk dari sekolah gue sebelumnya, ternyata…”

Ia mengembuskan napas berat, menunduk, menatap lantai dengan pandangan kosong. “Gue pikir pindah ke sini bakal lebih baik… ternyata cuma ganti tempat, tapi isinya sama aja—orang-orang yang tutup mata sama kebenaran.”

Arga memukul pelan dinding di sampingnya, bukan karena marah semata, tapi karena kecewa. Kecewa pada keadaan, pada orang-orang yang pura-pura tidak tahu, dan pada dirinya sendiri yang terlambat menyadari bahwa sekolah barunya tak sebersih yang ia bayangkan.

Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan napasnya, tapi kata-kata Bu Yanti masih terngiang di kepalanya—Apa ada bukti untuk menunjukkan itu semua? Dan entah kenapa, kalimat itu terasa lebih menyakitkan daripada tuduhan siapa pun.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!